Rabu, 22 Desember 2010

Macam-Macam Kajian Prosa

Telaah atau kajian sastra dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui dan memahami apa yang ada di dalam karya sastra dan mengapa begitu. Ketika membaca suatu karya sastra diharapkan pembaca tidak hanya sampai pada sekadar tahu ceritanya melainkan harus sampai pula pada “nilai-nilai” apa yang dapat diperoleh dari karya sastra tersebut dan dapat menerima “keindahan” dan “daya tarik” setiap karya sastra yang dibacanya itu.
Berdasarkan objek telaahnya, telaah/kajian sastra dapat dibedakan atas:

A. Unsur Instrinsik
Kajian yang sasarannya berupa unsur-unsur pembangun karya sastra dari dalam. Arah kajian ini ialah pada keberadaan karya sastra sebagai struktur verbal otonom atau objek yang mandiri atau dunia yang lengkap dan selesai dalam dirinya sendiri (self object; world-in-itself). Telaah ini disebut juga kajian objektif.
B. Unsur Ekstrinsik
Kajian yang sasarannya berupa unsur-unsur pembangun karya sastra dari luar. Arah kajian ini dapat pada:
  • keberadaan karya sastra sebagai imitasi, refleksi dunia atau kehidupan manusia (sisebut kajian mimesis)
  • sebagai sesuatu yang dibangun untuk mencapai efek tertentu pada pembaca, baik estetis maupun etis (disebut kajian pragmatik)
  • sebagai produk imajinasi pengarang yang berpangkal pada persepsi, cipta, rasa, dan karsanya (disebut kajian ekspresif)

Berdasarkan pendekatannya, kajian sastra dapat dibedakan atas:
  1. Kajian Historis-Biografis : Telaah ini berangkat dari anggapan bahwa karya sastra merupakan refleksi dari kehidupan dan zaman yang dialami pengarang. Atas dasar itu, kajian ini lebih diarahkan pada adanya kesesuaian atau tidak—atau seberapa banyak kejadian atau peristiwa-peristiwa tertentu ada atau mempengaruhi suatu karya sastra.
  2. Kajian Moral-Filosofis : Kajian ini berpangkal dari dasar pikiran bahwa karya sastra itu merupakan media menyampaikan nilai-nilai, ajaran-ajaran religi maupun falsafah. Dengan demikian, arah telaah ini lebih ditujukan kepada upaya menemukan nilai-nilai moral atau pendidikan yang terdapat di dalam suatu karya sastra.
  3. Kajian Formalitas : Telaah ini berangkat dari dasar pikiran bahwa karya sastra itu terdiri dari bentuk dan isi. Yang dimaksud dengan bentuk ialah semua unsur yang dimanfaatkan untuk menyampaikan isi. Sementara itu yang dimaksud dengan isi ialah segala hal yang terdapat di dalam bentuk. Bertolak dari pikiran itu, sasaraan telaah lebih ditujukan kepada bagaimana bentuk karya sastra yang ditelaah tersebut dan apa yang hendak disampaikan oleh karya sastra bersangkutan.
  4. Kajian Strukturalisme : Telaah ini berangkat dari dasar pendapat bahwa karya sastra itu merupakan sebuah sistem. Setiap unsur pembangun karya sastra itu berkait dengan unsur lain. Masing-masing unsur hanya bermakna dalam keterkaitannya dengan unsur lain. Dengan dasar itu, arah telaah ini ditujukan untuk melihat bagaimana keterkaitan atau jalinan antarunsur pembangun karya sastra yang ditelaah tersebut.
  5. Kajian Semiotis : Telaah ini berangkat dari dasar pikiran bahwa sastra itu merupakan salah satu sistem tanda yang bermakna yang menggunakan medium bahasa. Sementara itu bahasa sendiri sebenarnya juga mempunyai sistem tanda yang bermakna. Oleh karena itu, maka sastra dikatakan sebagai sistem tanda sekunder sedangkan bahasa sebagai sistem tanda primer. Dalam memahami sastra dengan pendekatan semiotik, hal yang harus diperhatikan adalah bahwa arti yang dapat diungkapkan dari sastra bukan semata-mata datang dari konvensi sastra, tetapi untuk memahami sastra pembaca harus memahami kode bahasa, kode sastra, dan kode budaya.
  6. Kajian Sosiologis : Telaah ini berangkat dari dasar pikiran bahwa ada keterkaitan antara sastra dan masyarakat. Atas dasar itu, kajian sosiologis biasanya lebih diarahkan kepada (misal) sejauh mana sastra mencerminkan kehidupan masyarakat pada saat karya sastra itu muncul, apa fungsi karya sastra itu bagi masyarakat, dan bagaimana dampak karya sastra itu bagi masyarakat pembacanya.
  7. Kajian Resepsi Estetika : Telaah ini berangkat dari dasar pikiran bahwa yang menentukan makna karya sastra itu adalah pembaca. Respon pembaca sangat ditentukan oleh pengetahuannya mengenai sastra, latar belakang pendidikannya, budayanya, keyakinannya, dan sebagainya. Dengan demikian, maka hasil kajian seseorang terhadap suatu karya sastra dapat berubah-ubah. Jadi, berdasarkan pendekatan ini sebuah teks tidak memiliki arti objektif.
  8. Kajian Psikologis :Telaah/kajian ini memiliki 4 kemungkinan:
  • studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi
  • studi proses kreatif
  • studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra
  • studi dampak karya sastra pada pembaca (psikologi pembaca)
Check it out !!!

Selasa, 21 Desember 2010

Menenal Resensi

Pada dasarnya, keterampilan menulis resensi tidak datang secara otomatis, melainkan harus melalui latihan dan praktik yang banyak dan teratur. Selain itu, menulis resensi merupakan suatu proses perkembangan. Seperti halnya, dengan kegiatan menulis pada umumnya, menulis resensi menuntut pengalaman, waktu, kesempatan, latihan, dan keterampilan- keterampilan khusus, serta pengajaran langsung menjadi seorang peresensi.
Dalam menulis resensi, peresensi perlu memperhatikan pola tulisan resensi. Ada tiga pola tulisan resensi buku, yaitu meringkas, menjabarkan, dan mengulas. Meringkas (sinopsis) berarti menyajikan semua persoalan buku secara padat dan jelas. Menjabarkan berarti mendeskripsikan hal-hal menonjol dari sinopsis yang sudah dilakukan. Bila perlu bagian-bagian yang mendukung uraian dikutip.
Mengulas berarti menyajikan ulasan sebagai berikut: (1) isi pernyataan atau materi buku sudah dipadatkan dan dijabarkan kemudian diinterpretasikan, (2) organisasi atau kerangka buku, (3) bahasa, (4) kesalahan cetak, (5) komparasi dengan buku-buku sejenis, baik karya pengarang sendiri maupun pengarang lain, dan (6) menilai, mencakup kesan peresensi terhadap buku terutama keunggulan dan kelemahan buku (Samad, 1997:5—6).
Hakikat Resensi
Dunia perbukuan di tanah air semakin marak pada tahun-tahun terakhir. Para penulis, baik yang sudah profesional maupun pemula, berlomba-lomba untuk mengirimkan tulisannya ke penerbit. Beberapa penerbit pun tidak segan-segan untuk mengumumkan secara terbuka akan kebutuhannya terhadap naskah. Perkembangan aktivitas perbukuan pun dibarengi dengan perkembangan media massa.
Media massa berani memberikan ruang untuk para pembaca yang ingin menuangkan gagasan, pikiran, atau perasaan. Hal ini dibuktikan dengan adanya kolom surat pembaca, artikel, dan opini untuk edisi harian. Sedangkan tiap minggu tersedia kolom cerpen, humor, dan resensi. Hal ini tentunya merupakan pertanda budaya menulis di Indonesia mulai tumbuh dan berkembang.
Akan tetapi, perkembangan budaya menulis di tanah air belum sepenuhnya dibarengi dengan budaya membaca. Sebagian besar masyarakat Indonesia belum mengetahui dan memahami pentingnya membaca. Hal ini seolah menjadi dua sisi mata uang. Namun, dari sudut pandang lain akan menjadi sebuah simbiosis mutualisme antara budaya menulis dengan budaya membaca.
Mengapa bisa dikatakan seperti itu? Dunia perbukuan yang ramai memberi peluang banyaknya buku yang diterbitkan dengan tema serupa. Hal tersebut akan mengakibatkan masyarakat pembaca kebingungan untuk membeli dan membaca buku-buku tersebut. Di sinilah letak hubungan yang saling menguntungkan tersebut. Para penulis yang peduli dengan keadaan ini berusaha untuk memecahkan masalah tersebut dengan menyusun resensi. Bentuk tulisan resensi akan sangat membantu para pembaca yang kebingungan ingin memilih, membeli, atau sekedar membaca buku-buku yang terbit tersebut.
Resensi merupakan salah satu bentuk tulisan jurnalistik yang bertujuan untuk mendeskripsikan dan memberi pertimbangan kepada pembaca mengenai sebuah buku yang baru diterbitkan. Secara sederhana, resensi dapat dianggap sebagai bentuk tulisan yang merupakan perpaduan antara ringkasan dan ikhtisar berisi penilaian, ringkasan isi buku, pembahasan, atau kritik terhadap buku tersebut. Bentuk tulisan ini bergerak di subyektivitas peresensinya dengan bekal pengetahuan yang dimilikinya tentang bidang itu. Resensi memiliki bagian-bagian penting di dalamnya, diantaranya judul resensi, identitas buku, bagian pembuka resensi yang memaparkan kepengarangan, tema, golongan buku, isi atau tubuh resensi yang memaparkan ikhtisar, ulasan serta kutipan, dan kelemahan juga kelebihan buku, dan bagian penutup.
Resensi berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata kerja revidere atau recensere yang artinya melihat kembali, menimbang atau menilai. Arti yang sama untuk istilah tersebut dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah review, sedangkan dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah recensie. Tiga istilah tersebut mengacu pada hal yang sama, yakni mengulas sebuah buku.
Merujuk pada pengertian secara istilah tersebut, WJS. Poerwadarminta (dalam Romli, 2003:75) mendefinisikan resensi secara bahasa sebagai pertimbangan atau perbincangan tentang sebuah buku yang menilai kelebihan atau kekurangan buku tersebut, menarik-tidaknya tema dan isi buku, kritikan, dan memberi dorongan kepada khalayak tentang perlu tidaknya buku tersebut dibaca dan dimiliki atau dibeli. Perbincangan buku tersebut dimuat di surat kabar atau majalah. Pendapat ini diperkuat oleh Samad (1997:1) yang menyatakan bahwa tindakan meresensi buku dapat berarti memberikan penilaian, mengungkap kembali isi buku,
membahas, atau mengritik buku.
Pendapat yang berbeda diungkapkan oleh Saryono (1997:56) mengenai definisi resensi, yaitu sebuah tulisan berupa esai dan bukan merupakan bagian suatu ulasan yang lebih besar mengenai sebuah buku. Isinya adalah laporan, ulasan, dan pertimbangan baik-buruknya, kuat-lemahnya, bermanfaat-tidaknya , benar-salahnya, argumentatif- tidaknya buku tersebut. Tulisan tersebut didukung dengan ilustrasi buku yang diresensi, baik berupa foto buku atau foto copi sampul buku.
Dari beberapa pendapat di atas mengenai definisi resensi, dapat disimpulkan bahwa resensi adalah suatu karangan atau tulisan yang mencakup judul resensi, identitas buku, pembukaan dengan memaparkan kepengarangan, tema, golongan buku, isi atau tubuh resensi yang memaparkan ikhtisar, ulasan serta kutipan, dan kelemahan juga kelebihan buku, dan penutup kepada khalayak tentang perlu tidaknya buku tersebut dibaca, dimiliki, atau dibeli.
Check it out !!!

Kamis, 09 Desember 2010

Definisi Artikel

Artikel mmerupakan karya tulis lengkap, misalnya laporan berita, surat kabar, dan sebagainya (KBBI 2002: 66), atau bisa juga sebuah karangan/prosa yang di muat dalam media massa, yang membahas isu tertentu, persoalan, atau kasus yang berkembang dalam masyarakat secara lugas (Tartono 2005:84).
Ada beberapa pengertian lain dari artikel:
Artikel merupakan karya tulis atau karangan, karangan non fiksi, karangan tak tentu panjangnya, karangan yang bertujuan untuk meyakinkan, mendidik, atau menghibur, sarana penyampaiannya adalah surat kabar, majalah, dsb, wujud karangan berupa berita atau “kharkas” (Pranata 2002: 120)
Jenis-jenis berdasarkan dari siapa yang menulis dan fungsi atau kepentingannya (Tartono 2005: 85-86). Berdasarkan penulisnya, ada artikel redaksi dan artikel umum. Artikel redaksi ialah tulisan yang di garap oleh redaksi dibawah tema tertentu yang menjadi isi penerbit. Sedangkan artikel umum merupakan tulisan yang ditulis oleh umum. Sedangkan dari fungsinya atau kepentingannya, ada artikel khusus dan artikel sponsor. Artikel khusus adalah nama lain dari artikel redaksi. Sedangka artikel sponsor ialah artikel yang membahas atau memperkenalkan sesuatu.
Pada dasarnya, ada beberapa jenis model penulisan artikel. Model-model tersebut bisa di kelompokkan kepada tingkat kerumitannya. Model yang paling mudah ialah model penulisan populer. Tulisan populer biasanya tulisan ringan yang tidak “njelimet” atau rumit dan bersifat hiburan. Selain itu, bahasa yang digunakan juga cenderung bebas (perhatikan, misalnya bahasa yang digunakan di majalah). Model yang paling sulit ialah penulisan ilmiah. Model ini mensyaratkan  objektivitas dan kedalaman pembahasan, dukungan informasi yang relevan,  dan  biasa yang di harapkan menjelaskan “ mengapa” atau “bagaimana” suatu perkara itu terjadi, tanpa pandang bulu dan eksak (Soesono 1982 :2). Dari aspek bahasa, tentu saja tulisan ilmiah mensayaratkan bahasa yang baku,  ada satu model penulisan yang berada di tengah-tengahnya. Model tersebut di kenal dengan penulisan ilmiah populer dan merupakan perpaduan penulisan populer dan ilmiah. Istilah ini mengacu pada tulisan yang bersifat ilmiah, namun di sajikan dengan cara penuturan yang mudah dimengerti (Soesono 1982:6 Creste 2005 : 171). Meskipun bersifat ilmiah (karena memakai metode ilmiah), bukan berarti tulisan yang di hasilkan di tujukan kalangan akode misi. Sebaliknya, artikel ilmiah populer di tujukan kepada para pembaca umum, dan kita perlu membedakan antara kosakata ilmiah dan populer. Kata-kata populer merupakan kata-kata yang akan di pakai dalam komunikasi sahari-hari, sedangkan kata-kata yang biasa di pakai oleh  kaum pelajar terutama dalam penulisan ilmiah, pertemuan-peretmuan resm, diskusi-diskusi khusus disebut kata-kata ilmiah (Kepaf 2004 : 105-106).
Langkah-langkah dalam menulis artikel:
  • Menguji gagasan
Prinsip paling dasar dari  melakukan kegiatan menulis adalah menentukan atau memasatikan topik atau gagasan apa yang hendak di bahas. Jika, sudah di tentukan gagasannya, kita bisa melakukan sejumlah pengujian.
(georgina dalam Pranata 2002:124;band nadeak 1989:44)
  • Pola penggarapan artikel
Ketika hendak menulis artikel, kita tidak hanya diperhadapkan pada satu kemungkinan. Soesono (1982:16-17) memaparkan setidaknya lima pola yang bisa di gunakan untuk menyajikan artikel tersebut. Pola pemecahannya antara lain:
  • Pola pemecahan topik :
 Pola ini untuk memcah  topik yang masih berada dalam lngkup pembicaraan yang menjadi subtopik / bagian yang lebih sempit ligkupnya kemudian di analisa.Pola dan pemecahannya : pola ini lebih da hulu mengemukakan masalah yang masih berada dalam lingkup pokok bahasan yang diberi dengan jelas. Kemudian menganalisa pemecahan masalah yang di kemukakan.
  • Pola kronologi : pola ini menggambarkan topik yang menurut urut-urut dan peristiwa yang terjadi.
  • Pole pendapat : pola ini bisa di pakai jika penulis yang bersangkutan hendak mengemukakan pendapatnya sendiri tentang  topik yang di kerjakan.
  • Pola perbandingan : pola ini membandingkan dua aspek atau lebih dari suatu topik dan menunjukkan persamaan dan perbedaannya. Pola pembandingan paling sering di gunkan untuk menyusun tulisan.
Menulis bagian pendahuluan
Untuk bagian pendahuluan, ada tujuh macam bentuk pendahuluan yang bisa digunakan (Soesono 1982 : 42).  Dengan dari tujuh bentuk pendahuluan dapat menjadi alternatif untuk mengawali penulisan artikel.
  • Ringkasan
Pendahuluan yang berbentuk ringkasan mengemukakan isi tulisan secara garis besar
  • Pernyataan yang menonojol
Pertanyaan yang berisi tentang ketertarikan atau kekaguman agar bertujuan untuk membuat pembaca merasa tertarik
  • Pelukisan
Pendahuluan yang melukiskan suatu fakta, kejadian, atau hal untuk membuat pembaca ingin tahu / ikut membayangkan bersama penilisan apa-apa yang hendak disajikan dalam artikel.
  • Anekdot
Pembukaan jenis ini menawan karena memberi selingan kepada non fiksi seolah-olah menjadi fiksi
  • Pertanyaan
Pendahuluan ini memberikan rangsangan keingintahuan sehingga dianggap pendahuluan yang bagus / baik.
  • Kutipan orang lain
Pendahuluan berupa kutipan seseorang dapat langsung menyentuh rasa si pembaca, sekaligus membawanya ke pokok bahasan yang akan dikemukakan dalam artikel itu
  • Amanat langsung
Pendahuluan berbentuk amanat langsung kepada pembaca agar akan terasa lebih akrab karena seolah-olah tertuju kepada perorang-orangan.
Menulis bagian pembahasan atau  tubuh utama
Untuk ini di sarankan bagiannya di pecah menjadi beberapa bagian masing-masing di batasi dengan subjudul-subjudul. Selain memberi kesempatan agar pembaca beristirahat sejeak.  Subjudul itu juga bertugas sebagai  penyegar, pemberi semangat baca yang baru (Soesono 1982: 46). Oleh karena itu, ada baiknya subjudul tidak di tulis secara kaku.
Menutup artikel
Dalam sebuah artikel bagian yang menentukan adalah penutup. Bagian ini biasanya memuat simpulan dari isi tulisan secara keseluruhan,  bisa saja berupa saran, imbalan, ajakan dan sebagainya (Tartono 2005:88)
Pemeriksaan isi artikel
Ketika selesai menulis artikel, hal selanjutnya yang perlu kita lakukan ialah melakukan pemeriksaan menyeluruh. Untuk memastikan bahwa tulisan yang kita hasilkan kita baik, kita harus rajin memeriksa tulisan kita. Untuk  memudahkan mengoreksikan artikel, beberapa pertanyaan dapat membantu kita dalam menjawab (Pranata 2002:129-130)
Untuk pembukaan, misalnya apakah kalimat pembuka bisa menarik pembaca? Dapatkah pembaca mulai mengerti ide yang kita tuangkan ? jika tulisan kita cenderung serius, adakah kata-kata yang tidak sepantasnya dikatakan?
Untuk isi / tubuh, apakah kalimat mendukung sudah benar-benar mendukung pembukaan ?  apakah masing-masing kalimat berhubungan dengan ide pokok ? dan lain lain.
Untuk kesimpulan, apakah mencangkup semua ide tulisan ? bagaimana sikap / tindakan kita terhadap kata-kata dalam kesimpulan yang di buat ?
Jika kita memberikan respon “tidak” untuk tiap pertanyaan, berarti kita perlu mengecek / merevisi ulang artikel dengan mengganti dan menulis bagian yang salah.
Check it out !!!

Selasa, 07 Desember 2010

Contoh Pembuka Berita Di TV

  1. Liputan6 Malam SCTV 26-11-2010 :
Saudara bagi anda yang masih belum tidur atau sibuk online dan berchating-chating hingga tengah malam ini saya Jeremi Teti menemani anda gengan sejumlah liputan dari dalam negri dan manca negara, ada laporan album baru George Groban. Saudara inilah liputan6 malam selengkapnya.

  1. Redaksi Malam Trans7 07-12-2010 :
Salam jumpa, redaksi malam awal pecan hadir dengan informasi terpilih sepanjang hari ini. Saya Juanita Maharani berikit informasi pertama.

  1. Seputar Indonesia Siang RCTI 07-12-2010 :
Hallo pemirsa, ruang informasi anda siang hari ini akan kami sugukan ratusan TKI terluntah-luntah di kolong jembatan di Arab Saudi. Saya Gustav Aulia inilah seputar Indonesia siang.

  1. Global Malam GlobalTV 27- 11- 2010
Selamat malam saudara, saya Risca Indah selama satu jam kedepan dengn informasi pilihan dari berbagi daerah inilah global malam untuk anda.

  1. Reportase Sore TransTV 07-12-2010
Selamat sore, Reportase Sore liburan hadir menemani anda saya Zulfikar Naghi dan saya Anisa Sulandana. informasi penting dan menarik telah kami siapkan untuk anda.

  1. Liputan6 Siang SCTV 19-11-2010 :
Selamat siang saudara, kembali liputan6 siang hadiar menghantarkan informasi aktual daintaranya, masyarakat berunjuk rasa di kedutaan Arab Saudi di Jakarta menuntut tindakan tegas terhadap penyiksa TKW Sumiati, di Seleman tim SAR mulai menggunakan alat berat mencari korban letusan Merapi yang tertimbun material vulkanik. Saya Juanita Wiratmaja, dan inilah liputan6 siang.

  1. Sigi SCTV 03-11-2010 :
Apakabar saudara, sigi infestigasi kembali menjumpai anda. Setiap tahunyahampir Rp.60.000.000.000.000 pajak dari cukai rokok yang didapat pemerintah, gurihnya bisnis rokok mengantarkan pemilik pabrik rokok kederetan orang terkaya di dunia , tetapi mengapa petani tembakau tidak bias merasakan keuntungan, apa peyebabnya?, dan apa yang harus dilakukan pemerintah untuk menolong harkat hidup petani tembakau. Inilah sigi infestigasi selengkapnya.

  1. Buser SCTV 19-11-2010 :
Selain cuplikan pencurian universitas gunadarma masih ada sejumlah informasi lain diantaranya 3 orang tewas, dan 2 orang kritis usai pesta miras oplosan, serta kasus pembunuhan buruh peternak ayam di Probolinggo Jawa Timur di kupas dalam segmen buser. Saudara inilah segmen buser selengkapnya bersama saya Artika Racman.

  1. Liputan6 Petang SCTV 19-11-2010 :
Selamat sore saudara, kami sudah menyiapkan sejumlah laporan actual untuk anda salah satunya menyusul menurunya aktifitas gunung merapi zona bahaya gunung merapi hari ini diturunkan, selain itu juga ada informasi menrik mengenai adu kreatif para guru menerapkan teknik belajar yang efektif dan mengasikan. Saya Juanita Wiratmaja, dan inilah liputan6 petang selengkapnya.
Check it out !!!

Jumat, 03 Desember 2010

Bahasa Indonesia di Mata Dunia

Bahasa merupakan media untuk menyampaikan pesan atau informasi dari satu individu kepada individu lain atau lebih. baik itu secara lisan maupun tulisan. Pernyataan tersebut sangat benar dan sudah menjadi aksioma. Satu orang pun tidak ada yang akan membantah dengan pernyataan tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari hampir semua aktifitas kita menggunakan bahasa, baik menggunakan bahasa lisan, bahasa tulisan maupun bahasa tubuh. Bahkan saat tidur pun terkadang kita tanpa sadar menggunakan bahasa.
Sebuah bangsa pasti memiliki bahasa, walaupun ada beberapa bangsa yang meminjam bahasa dari bangsa lain. Kita sebagai masyarakat bangsa Indonesia sangat beruntung memiliki bahasa Indonesia, walaupun sebenarnya bahasa Indonesia berakar dari bahasa Melayu Riau. Akan tetapi, sekarang bahasa Indonesia adalah bahasa Indonesia, dan bahasa Melayu adalah bahasa Melayu, dua bahasa yang serumpun tapi tidak sama. Bahasa Indonesia berkembang dengan sendirnya sesuai dengan aturannya, dan bahasa Melayu berdiri sendiri menuju perkembangannya. Setujukah Anda bila bahasa Indonesia bukan bahasa Melayu?
Kita sebagai pemilik bahasa Indonesia bukanlah bermaksud atau bersikap seperti “kacang yang lupa akan kulitnya”, melupakan bahasa Melayu sebagai cikal bakal bahasa Indonesia. Mungkin tanpa bahasa Melayu, bahasa Indonesia tidak akan pernah ada. Akan tetapi, kita ingin memposisikan bahasa Indonesia pada posisinya, seperti yang telah termaktub dalam Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda mengikrarkan tiga hal yang sakral dalam sejarah dan proses kemerdekaan Indonesia, satu diantaranya adalah “Menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Menjunjung berarti menurut, menaati dan memuliakan (KBBI). Menjunjung tinggi bahasa Indoensia, berarti menaati dan memuliakan bahasa Indonesia sebagai bahasa peratuan dan nasional Indonesia. Demikianlah sumpah yang diikrarkan oleh pemuda-pemudi bangsa Indonesia pada tahun 1928. Bagaimana dengan pemuda-pemudi Indonesia sekarang??
Melihat kondisi pemakai bahasa Indonesia sekarang, sepertinya cape deh harus menggunakan bahasa Indonesia yang berkelit dan selalu berpedoman kepada yang baik dan benar.
Yang penting apa yang ingin kita sampaikan orang mengerti dan paham, mau pake bahasa campur aduk kek, saya mau pake bahasa Indonesia campur bahasa Inggris kek,campur lagi dengan bahasa daerah kek, toh yang baca juga paham. Cape deh, please dong jangan diperbesar masalah-masalah kecil kayaki gini”.
Benar dan pantaskah bila kita sebagai pemilik bahasa Indonesia berasumsi demikian? Masyarakat Indonesia pada umumnya dwibahasawan. Akan tetapi, bukan berarti kita bisa seenaknya mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa lain tanpa mengindahkan aturan dan kaidah yang ada. Bersikap positiflah terhadap bahasa Indonesia, karena bahasa yang kita gunakan menunjukkan kepribadian kita sebagai bangsa Indonesia. Jepang dan Prancis adalah contoh negara yang sangat taat dan menghargai bahasanya sendiri.
Pernahkah kita berpikir bahasa Indonesia esok akan menjadi bahasa peradaban dunia?
Bukan hal yang mustahil bahasa Indonesia esok akan menjadi bahasa perdaban dunia, bahasa yang digunakan sebagai bahasa internasional. Dilihat dari struktur dan pembacaan bahasa Indonesia yang sangat sederhana, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang tidak sulit untuk dipelajari. Suatu bukti yang meyakinkan bila esok bahasa Indonesia akan menjadi bahasa peradaban dunia, lebih dari 50 negara di Dunia telah mempelajari dan menjadikan bahasa Indonesia sebagai satu diantara mata pelajaran di sekolah mereka. Kita sebagai pemilik bahasa Indonesia harus banggga karena bahasa kita dipelajari bangsa lain. Mengapa kita harus belajar bahasa asing, bila bahasa kita kelak mampu menjadi bahasa Internasional dan bahasa peradaban dunia?
Jawaban dari pertanyaan tersebut ada pada diri kita sebagai pemilik dan pengguna bahasa Indonesia. Kita harus konsisten dan bersikap positif terhadap bahasa Indonesia. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sebenarnya tidak sulit, yang membuat sulit karena kita telah terbiasa dengan kesalahan yang ada dan selalu cape’ untuk mempelajarinya dengan segala kerendahan hati. Kita selalu beranggapan, “untuk apa mempelajari bahasa Indonesia, bukankah kita orang Indonesia yang secara otomatis mengerti menggunakan bahasa Indonesia”. Bilamana pendapat ini terus berkembang, pupus sudah harapan kita menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa perdaban dunia.
Hidup bahasa Indonesia!
Check it out !!!

Kajian Novel Larasati

 
Check it out !!!

Kamis, 02 Desember 2010

Penyair

Binhard Nurrohmat pernah menulis ”Jika diadakan sensus maka rekor tertinggi jumlah penulis sastra kita selama ini adalah penyair. Makhluk yang satu ini begitu populer, sarat legenda serta mitos dalam dunia penulisan sastra kita selama ini, dibandingkan makhluk lain bernama novelis maupun kritikus."

Penyair selalu dianggap representasi yang paling lazim dari kesusastraan atau mungkin juru bicara kebudayaan. Sebenarnya makhluk macam apakah penyair itu? Menurut Saini KM, "Penyair itu adalah ia yang berumah di sebuah kuil di tengah hutan. Ia merupakan kayu dalam pembakaran, Ia pergi pada inti kehidupan”.

Wayan Sunarta menganggap penyair sebagai penyusun kata-kata yang sedang menenun dunia dan kehidupan untuk dirinya dan pembaca. Puisi menurutnya adalah ular kundalini yang bersemayam dalam diri setiap manusia. Adalah anugerah yang tidak ternilai. Membaca puisi dalam diri adalah membaca semesta kehidupan. Mencintai puisi adalah mencintai kehidupan. Sebab kehidupan adalah puisi yang sesungguhnya. Sutardji Calsum Bachri bahkan mengutip ayat Al-Quran untuk menjelaskan betapa mulianya kedudukan Penyair. Katanya, QS As-Syuaara secara tepat mendefinisikan profesi penyair, "Mereka terus mengembara di tiap-tiap lembah dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakannya."

Jagad kepenyairan Indonesia saat ini sangat menarik untuk dicermati. Ratusan bahkan ribuan nama baru terus bermunculan. Ribuan teks terus ditulis dan berhamburan ke berbagai kolom sastra di koran, majalah, dan buku-buku antologi puisi. Pilihan lainnya adalah radio dan internet.


Setiap hari di Indonesia puisi-puisi berhamburan dengan nama penyair yang berjumlah ratusan. Di antaranya ada yang mengejutkan dan ada yang mampu menghentak perhatian. Tak terhitung dari mereka dimuat di media massa cetak. Sebahagian kecil di internet. Jumlah paling banyak tersebar dari kalangan remaja. Namun lebih banyak yang memilih bersembunyi di sela-sela buku harian ketimbang memproklamirkan diri sebagai penyair. Jenis makhluk yang terakhir bisa ditebak adalah mereka yang pemalu tapi siapa tahu sebenarnya potensial lebih layak disebut sebagai penyair?

Lalu yang manakah sebagai mainstream puisi mutakhir Indonesia? Mungkin hal yang lazim meski pongah bila seseorang merasa sudah berhasil setelah puisinya dimuat satu media atau telah mendapat legitimasi dari komunitas-komunitas tertentu dan merasa gagal bila tak ada satu media pun yang memuatnya. Di satu sisi, koran dan kemunitas tertentu juga telah mematahkan idealisme kerja kreatif yang difference. Mungkin saja akibatnya tak lama lagi peta perjalanan sejarah perpuisian tanah air kembali ke titik nadir. Namun ribuan penyair itu pasti tak akan tinggal diam. Sebenarnya mereka adalah makhluk pilihan yang menyusun tatanan dunia melalui kata. Meski ada yang menyebut dirinya sebagai sekedar penyair rombeng, penyair kampung, penyair teri dan sebagainya. Rumah kreatifitas para penyair yang alamiah akan tetap tersusun dari batu bata kata-kata.
Check it out !!!

Rabu, 01 Desember 2010

Catatan Buat Emak


Penulis : Ahmad Tohari
Penerbit : Gramedia Jakarta, PT
Tgl Terbit : 1995
Halaman : 174 hal
Jenis Cover : Soft Cover
Dimensi (LxP) : 11 x 18 cm
Bahasa : Bahasa Indonesia
Kondisi Buku : Buku Bekas (Cukup)
Harga : Rp 20.000,-

Sudah Terjual


SINOPSIS : Di tangan Ahmad Tohari kehidupan desa adalah sebuah sungai yang tenang. Dalam arus yang diam itu justru tersimpan misteri dan teka- teki yang tak tampak dari permukaan: palung, bongkahan batu bahkan mungkin buaya air tawar yang ganas. Hampir semua cerita Tohari berlatar kehidupan desa yang seperti ini. Desa adalah sebuah lanskap yang kompleks dan ruwet sekaligus.

Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk merupakan puncak pencapaian sastra Tohari sejauh ini. Bercerita tentang Srintil dan Rasus, Ronggeng memotret sebuah masa ketika Indonesia memasuki zaman gelap politik 1965. Ini novel yang lengkap: konflik kejiwaan para tokoh yang beragam, huru-hara politik, hilangnya sebuah tradisi, terdesaknya kehidupan desa.

Novel pertama bercerita tentang kemunculan tokoh Srintil sebagai ronggeng yang sudah lama hilang dari Dukuh Paruk. Pedukuhan yang sepi itu pun kembali bergairah. Seorang ronggeng sudah lahir, karena memang ia tak bisa diciptakan. Srintil menjadi primadona yang menyelamatkan Dukuh Paruk dari kehilangan tradisi.

Karena disuguhkan dengan gaya dongeng, Tohari pun tak segan menyelipkan romantika Cinderella. Misalnya, ketika Srintil gundah akan menempuh upacara penyerahan keperawanan kepada seseorang yang memberi harga paling tinggi. Ia pun “selamat” karena liang daranya diserahkan kepada Rasus yang dicintai dan mencintainya. Setelah itu adalah hidup Srintil sebagai ronggeng dan pencarian Rasus menemukan ibu yang tak pernah dikenalnya.

Jilid kedua memasuki masa politik ketika seseorang bernama Bakar muncul di Dukuh Paruk. Tohari mencitrakan orang komunis ini dengan sangat tipikal: tak ada gairah syahwat, dingin, dan kepalanya dipenuhi oleh teori juga semangat merebut kembali hak-hak rakyat, sesuatu yang agak berbeda dibanding, misalnya, dalam tokoh-tokoh Sri Sumarah, Para Priyayi atau Bawuk dari Umar Kayam.

Bakar melarang tayub karena itu joged borjuis yang melemahkan revolusi. Kesenian ronggeng pun kehilangan ciri utamanya ketika disuguhkan hanya untuk memeriahkan rapat dan kampanyekampanye partai. Orang Dukuh Paruk pun bimbang seraya diamdiam menaruh harapan pada janji- janji yang digelorakan Bakar tentang “sama rata sama rasa.”

Keadaan berbalik. PKI gagal merebut kekuasaan. Orang Dukuh Paruk pun dituding sebagai antek-antek komunis. Lintang kemukus berpijar di angkasa menandakan sebuah malapetaka. Mereka diburu dan ditahan tanpa pengadilan atau dibantai. Tak terkecuali Srintil. Ia diborgol dan dimasukkan ke sel yang asing. Nasibnya berakhir tragis di rumah sakit jiwa. Rasus, sementara itu, bimbang karena ia kini datang ke kampungnya untuk menangkap saudara dan teman-temannya. Sebagai tentara ia harus menjalankan perintah. Tetapi cintanya kepada Srintil mengalahkan itu semua. Ia datang menolong dan mengeluarkan Srintil dari rumah sakit.

Ada ambiguitas Tohari yang sangat kentara. Ia ingin meluruskan sejarah bahwa benar telah terjadi pembantaian orang yang dicap PKI, sekaligus ia juga mengutuk PKI yang telah merampas kesenian masyarakat. Sebab, setelah 1965, seni tayub punah di seluruh Jawa.

Ronggeng merupakan kesenian yang menyebar hampir di seluruh Jawa dan Betawi dengan bentuk dan nama yang berlainan. Dalam Sejarah Jawa yang terkenal, Stamford Raffles yang berkuasa antara tahun 1811-1816, sudah menulis bahwa ronggeng merupakan kesenian yang sudah tumbuh berabad-abad di Jawa dan sangat populer di kalangan petani. Kesenian ini digelar untuk mensyukuri panen yang melimpah.

Fakta dan fiksi dalam cerita Tohari ini melebur dalam cerita. Bahwa tayub dimanfaatkan Lekra merebut dukungan rakyat memang pernah terjadi. Pembantaian orang yang dicap komunis sudah lama menjadi bahan penelitian para ahli. Tohari menyusupkan pengalaman batinnya sendiri ke dalam cerita itu. Hasilnya adalah sebuah novel yang kaya.
Check it out !!!

Penulis Ronggeng Dukuh Paruk

Lelaki kelahiran Tinggarjaya Banyumas 13 Juni 1948 ini telah melalangbuana dalam hal pekerjaan. Berbagai macam profesi telah digelutinya sejak muda. Namun akhirnya kembali juga ke kampung halamannya yang teduh di Tinggarjaya. Tenang dengan dunia tulis menulis.
Ijazah terakhirnya adalah sebuah SMA di Purwokerto dan kemudian bekerja di majalah Keluarga dan Amanah, pernah pula mencicipi menjadi karyawan sebuah bank milik pemerintah. Ia mengaku tidak betah tinggal di Jakarta yang sibuk berbeda jauh dengan suasana desa dan pilihannya kemudian adalah menetap di kampung halaman, mengurus sebuah pesantren dan tetap menulis.
Bersama istri tercinta yang seorang guru Sekolah Dasar telah dikaruniani tiga orang anak. Ketiganya kini telah mengenyam pendidikan tinggi yaitu satu di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta dan dua di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Menurut pengakuannya Ahmad Tohari menulis karya sastra karena mengejawantahkan kemarahan atau kegelisahannya terhadap para pemimpin yang belum juga membuktikan komitmennya kepada orang-orang kecil.  Menurutnya, para pemimpin negeri menganggap kepemimpinan itu suatu keberuntungan yang datang dari atas berupa wahyu, sehingga kekuasaannya ditafsirkan sebagai hak-hak istimewa yang dampaknya muncul sebagai korupsi.
Beliau pun sadar betul kalau dirinya tidak memiliki kekuatan yang besar untuk mengubah keadaan masyarakat. Maka disalurkannya kemarahan dan kegelisahannya itu ke dalam karya sastra dengan harapan bisa sedikit memberikan pencerahan bagi masyarakat untuk mewujudkan kehidupan yang penuh rahmat di bumi nusantara ini.
Karya-karya Ahmad Tohari sarat makna dengan pesan moral yang begitu mendalam. Novel pertamanya Di Kaki Bukit Cibalak mendobrak kesewenang-wenangan penguasa (dari tingkas desa sampai kabupaten) yang digambarkan hanya ABS (Asal Bapak Senang). Sikap ini menutupi kebobrokan yang sesungguhnya manakala ada salah seorang warga yang miskin sakit-sakitan tak mendapat bantuan apa-apa dari perangkat desa, sedang kepala desa sibuk mengutak-atik kekayaan koperasi desa untuk mengembalikan modal waktu pencalonannya dulu sebagai kepala desa. Karena munculnya seorang pemuda yang berani mendobrak birokrasi maka gegerlah desa hingga ke kantor kabupaten. Dan intrik pun berlaku untuk menyingkirkan pemuda yang dianggap membahayakan kedudukannya sebagai kepala desa.
Bahkan setidaknya ada lima novel yang dihasilkan oleh Ahmad Tohari yang mengangkat setting geger politik 1965. Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Kubah, dan Lingkar Tanah Lingkar Air.  Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk bercerita tentang seorang penari ronggeng yang karena ketidaktahuannya (kesederhaannya dimanfaatkan pihak lain) terseret ke dalam pertikaian politik, diklaim oleh pihak tertentu sebagai bagian dari komunis. Akibatnya kehidupannya sangat tidak normal bahkan di bagian endingnya si tokoh menjadi gila. Adapun pada Kubah Ahmad Tohari mengisahkan pertobatan mantan tahanan politik yang hendak kembali ke masyarakat, namun susah untuk duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan yang lainnya, bukan karena penolakan kaum kerabat tapi beban mental yang dirasakannya karena pernah mengkhianati saudaranya sendiri. Maka seorang kyai memberikan jalan dengan memberikan kepercayaan membuat kubah masjid di desanya. Akhir yang membahagiakan.
Lain lagi ketika menyoroti pertikaian politik yang menjerumuskan tokoh-tokoh muslim dalam pemberontakan DI/TII. Ahmad Tohari membidik bahwa peperangan yang terjadi sebenarnya bukanlah keinginan para pelakunya untuk mengadakan pemberontakan terhadap pemerintah yang sah, akan tetapi karena fitnah pihak lain yang diduga adalah komunis. Pihak komunis sengaja memanas-manasi pertikaian antara hizbullah dengan TNI yang berujung pada keterpeksaan beberapa orang itu disematkan kata pemberontak.
Perkembangan selanjutnya setelah masa revolusi terlewati dan masuk era orde baru, maka tulisan-tulisan Ahmad Tohari pun tetap kritis terhadap kondisi sosial masyarakat. Masalah korupsi yang menggurita saat itu tak luput dari kegeramannya hingga lahirlah novel sindiran dengan Judul Bekisar Merah yang berlanjut dengan Belantik (Bekisar merah 2). Keduanya bertutur tentang kesewenang-wenangan ekonomi. Karena memiliki kekuasaan dan harta yang lebih, bisa memperlakukan orang miskin semuanya saja.
Lebih tegas Ahmad Tohari dalam mengungkap perilaku korupsi adalah dalam novelnya Orang-orang Proyek. Novel ini benar-benar menelanjangi perilaku orang-orang yang terlibat dalam proyek, menggerogoti proyek hingga setiap proyek selalu terjadi mark up. Adanya tokoh yang mencoba mendobrak kebiasaan ini akhirnya terpental keluar dan memilih jalan di dunia pendidikan yang dengan harapan tak sebobrok di tempat yang lainnya.
Ahmad Tohari telah lega melunasi ketidakberdayaaan masa mudanya yang tak sempat menyelesaikan studinya di perguruan tinggi dengan menyekolahkan ketiga anaknya hingga sarjana.
Dalam kehariannya yang bertempat tinggal tak jauh dari jalan raya antara banyumas Cilacap memudahkan siapapun untuk bersilaturrahim. Ahmad Tohari lebih senang yang datang bertamu adalah anak muda dengan membawa bahan diskusi tentang sastra dan kehidupan, dari pada hangar binger politik. Hal yang sebenarnya agak aneh jika menengok tulisan-tulisannya sebagian besar mengulas tentang pergulatan politik. Bisa jadi beliau mengharapkan peran serta pemuda tak hanya secara teoritis yang mengkritisi kekuasaan dari segi kekuasan pula namun bagiaman mengkritisi dari segi para penulis, karena para penulis selalu menemukan caranya sendiir untuk mengkritisi kondisi social masyarakat di sekitarnya.
Sebagai penulis telah banyak prestasi yang telah diraih oleh Ahmad Tohari. Disamping berupa novel beliau juga menulis cerpen yang dikumpulkan dalam Senyum karyamin. Juga banyak menulis kolom di harian Suara Merdeka yang salah satunya dibukukan dengan judul Mas Mantri Menjenguk Tuhan. Tahun 1990 mengikuti International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat, tahun 1995 menerima hadiah sastra Asean.
Ada ciri khusus jika membicarakan karya-karya Ahmad Tohari. Beliau sangat piawai menggambarkan cita rasa desa, hingga ke reluing-relungnya, sehingga bagi siapa saja yang membaca terutama novel-novelnya seolah merasakan langsung suasana yang dibangun dalam karya sastranya.
Hingga saat ini telah puluhan orang yang mengangkat karya-karya Ahmad Tohari ke dalam karya ilmiah baik untuk seminar maupun skripsi. Dan beberapa novelnya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, Jerman, Jepang dan Inggris.
Check it out !!!

Rangkuman Ronggeng Dukuh Paruk

 
Check it out !!!

Selasa, 30 November 2010

Pengertian Kritik Sastra

   
           Istilah ”kritik” (sastra) berasal dari bahasa Yunani yaitu krites yang berarti ”hakim”. Krites sendiri berasal dari krinein ”menghakimi”; kriterion yang berarti ”dasar penghakiman” dan kritikos berarti ”hakim kasustraan”.
            Kritik sastra dapat diartikan sebagai salah satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra sebagai karya seni.
      Abrams dalam Pengkajian sastra (2005: 57) mendeskripsikan bahwa kritik sastra merupakan cabang ilmu yang berurusan dengan perumusan, klasifikasi, penerangan, dan penilaian karya sastra.
            Pengertian kritik sastra di atas tidaklah mutlak ketetapannya, karena sampai saat ini, belum ada kesepakatan secara universal tentang pengertian sastra. Namun, pada dasarnya kritik sastra merupakan kegiatan atau perbuatan mencari serta menentukan nilai hakiki karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran sistematik yang dinyatakan kritikus dalam bentuk tertulis.
      Membaca secara mendalam keberagaman pengertian sastra yang tersuguh dari beberapa sumber yang diberikan sebagai tugas pemenuhan mata kuliah Naqd Adabi, terdapat sebuah gambaran dalam benak penulis, muncul sebuah matrikulasi wilayah sastra, yang sangat mudah untuk dihafalkan, dipahami dan dimengerti, sebagaimana  berikut:
Ilmu Sastra

Teori Sastra                 Sejarah Sastra              Kritik sasra

1.      Teori sastra merupakan bidang studi sastra yang membicarakan:
a.       pengertian-pengertian dasar tentang sastra,
b.      hakekat sastra,
c.       prinsip-prinsip sastra,
d.      latar belakang, jenis-jenis sastra, dan
e.       susunan dalam karya sastra dan prinsip-prinsip tentang penilaian sastra.
2.      Sejarah Sastra merupakan bidang studi sastra yang membicarakan;
a.       membicarakan tentang perkembangan sastra,
b.      ciri-ciri dari masing-masing tahap perkembangan karya sastra tersbut,
c.       situasi sosial masyarakat dan idologi yang semuanya,
3.      Kritik sastra yang dalam eksistnsinya sendiri turut serta membicarakan;
a.       analisis,
b.      interpretasi, dan
c.       menilai karya sastra.
­            Ketiganya memiliki hubungan yang erat dan saling mengait. Sebagaimana teori sastra yang sudah pasti membutuhkan kerja sama dengan sejarah sastra. Sejarah satra yang tidak bisa dipisahkan dari teori dan kritik sastra, begitu juga dengan kritik sastra yang membutuhkan adanya teori dan sejaarah sastra.
            Apabila diperhatikan hal di atas, maka akan diperoleh sebuah kesimpulan bahwa sebuah karya sastra tidak akan mampu dipahami, dihayati, ditafsirkan dan dinilai secara sempurna tanpa adanya itervensi dari ketiga bidang ilmu sastra tersebut. Sebuah teori sastra tidak akan pernah sempurna jika tidak dibantu oleh sejarah dan kritik sastra; begitu juga dengan sejarah sastra yang tidak dapat dipaparkan, jika teori dan kritik sastra tidak jelas; dan kritik sastra tidak akan mencapai sasaran, apabila teori dan sejarah sastra tidak dijadikan tumpuan.
            Analisis merupakan hal yang sangat penting dalam kritik sastra. Sebagaimana Jassin dalam Pengkajian Sastra menjelaskan bahwa kritik sastra ialah baik buruknya suatu hasil kasustraan dengan memberi alasan-alasan mengenai isi dan bentuknya.
            Dengan demikian, kritik sastra adalah kegiatan penilaian yang ditunjukkan pada karya sastra atau teks. Namun, melihat kenyataan bahwa setiap karya sastra adalah hasil karya yang diciptakan pengarang, maka kritik sastra mencakup masalah hubungan sastra dengan kemanusiaan. Namun, sasaran utama kritik sastra adalah karya sastra atau teks tersebut dan makna bagi krtikus tersebut, bukan pada pengarangnya. Seorang kritikus sastra mengungkapkan pesan dalam satu bentuk verbal dengan bentuk verbal yang lain, mencoba menemukan pengalaman estetis persepsi tentang realitas yang hendak disampaikan oleh pengarang. Pengamatannya terhadap cara penggunaan bahasa, terhadap kode-kode bahasa yang digunakan.
            Dalam hal ini, tampak adanya hubungan antara liguistik dengan kritik sastra. Dimana bagi seorang linguistik, kode itu sendiri dan cara kode dibangun didalam teks yang menjadi perhatian utamanya. Baginya makna itu penting jika dapat menjelaskan bagaimana kode-kode itu dibentuk.
            Panuti Sudjiman mendeskripsikan bahwa stilistika yang merupakan bagian dari linguistik, memusatkan perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa, terutama bahasa dalam kesusastraan,  memiliki peran penting karena stilistika dianggap menjembatani kritik sastra di satu pihak dan linguistik dipihak lain.  Hubungan tersebut tercipta karena:
1.      Stilistika mengkaji atau melakukan kritik terhadap karya sastra (di pihak lain).
2.      Stilistika mengkaji wacana sastra dengan oreintasi linguistik.
3.      Stilistika mengkaji cara sastrawan dalam menggunakan unsur dan kaidah bahasa serta efek yang ditimbulkan oleh penggunaannya itu.
4.      Stilistika meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra, ciri yang membedakannya dengan wacana nonsastra, dan
5.      Stilistika meneliti deviasi dan distorsi terhadap pemakaian bahasa yang normal (dengan metode kontras) dan berusaha menemukan tujuan estetisnya sebagai sarana literer. Dengan kata lain, stilistika meneliti fungsi puitik bahasa.
            Ia menambahkan bahwa hubugan kritik sastra dengan analisis stilistika bukan berarti berperpretensi menggantikan kritik sastra. Justru sebaliknya, kritik sastra tidak berpretensi menggantikan kritik sastra serta membuka jalan untuk kritik sastra yang efektif. Pengkajian stilistik tidak bermaksud mematikan intuisi karya sastra. Analisis stilistik justru berusaha menggantikan subjektivitas dan inpresionisme yang digunakan oleh kritikus sastra sebagai pedoman dalam mengkaji karya sastra dengan suatu pengkajian yang relatif lebih obyektif dan ilmiah.
            Jelaslah, bawa stilistika berupaya menujukkan bagaimana unsur-unsur suatu teks berkombinasi membentuk suatu pesan dan menemukan ciri yang benar-benar memberikan efek tertentu kepada pembaca (pendengar), tidak sekedar menghitung frekuensi penggunaan sarana-sarana stilistik dalam suatu karya sastra
B.  Aktivitas Kritik Sastra
            Dari pengertian kritik sastra di atas, terkandung secara jelas aktivitas kritik sastra. Secara rinci. Aktivitas kritik sastra mencakup 3 (tiga) hal, yaitu menganalisis, menafsirkan, dan menilai.
            Analisis adalah menguraikan unsur-unsur yang membangun karya sastra dan menarik hubungan antar unsur-unsur tersebut. Sementara menafsirkan (interpretasi) dapat diartikan sebagai memperjelas/memperjernih maksud karya sastra dengan cara: (a) memusatkan interpretasi kepada ambiguitas, kias, atau kegelapan dalam karya sastra, (b). memperjelas makna karya sastra dengan jalan menjelaskan unsur-unsur dan jenis karya sastra. Seorang kritikus yang baik tidak lantas terpukau terhadap apa yang sedang dinikati atau dihayatinya, tetapi dengan kemampuan rasionalnya seorang kritikus harus mampu membuat penafsiran-penfsiran sehingga karya sastra itu datang secara utuh.
            Jan Van Luxmburk dkk. dalam Pengkajian Sastra (2005: 58-59) membedakan enam jenis pokok penafsiran sebagaimana berikut:
1.      penafsiran yang bertitik tolak dari pendapat bahwa teks sudah jelas.
2.      penafsiran yang berusaha  untuk meyusun kembali arti historik.
3.      penafsiran heurmenetik, yaitu keahlian mnginterpretasi karya sastra yang berusaha memperpadukan masa lalu dan masa kini.
4.      tafsiran-tafsiran dengan sadar disusun dengan bertitik tolak pada pandangannya  sendiri mengenai sastra
5.      tafsiran-tafsiran yang bertitik pangkal pada sutu problematik  tertentu, misalnya permasalahan psikologi atau sosiologi
6.      tafsiran yang tidak langsung berusaha agar secara memadai sbuah teks diartikan. Pendekatan yang berkiblat pada pembaca disebut estetika-represif. Jika teks yang brsangkutan tidak untuk atau mempunyai versi yang berbeda, trlebih dahulu hrus dilakukan penafsiran filologis.
            Adapun aktivitas yang ketiga yaitu penilaian. Penilaian dapat diartikan menunjukkan nilai karya sastra dengan bertitik tolak dari analisis dan penafsiran yang telah dilakukan. Dalam hal ini, penilaian seorang kritikus sangat bergantung pada aliran-aliran, jenis-jenis, dan dasar-dasar kritik sastra yang dianut/dipakai/dipahami seorang kritikus.
C.  Fungsi Kritik Sastra
            Dalam mengkritik karya sastra, seorang kitikus tidaklah bertindak semaunya. Ia harus melalui proses penghayatan keindahan sebagaimana pengarang dalam melahirkan karya sastra. Karena kritik sastra sebagai kegiatan ilmiah yang mengikat kita pada asas-asas keilmuan yang ditandai oleh adanya kerangka, teori, wawasan, konsep, metode analisis dan objek empiris.[8]
            Setidaknya, ada beberapa manfaat kritik sastra yang perlu untuk kita ketahui, sebagaimana berikut;
  • Kritik sastra berfungsi bagi perkembangan sastra
Dalam mengkritik, seeorang kritikus akan menunjukkan hal-hal yang bernilai atau tidak bernilai dari suatu karya sastra. Kritikus bisa jadi akan menunjukkan hal-hal yang baru dalam karya sastra, hal-hal apa saja yang belum digarap oleh sastrawan. Dengan demikian, sastrawan dapat belajar dari kritik sastra untuk lebih meningkatkan kecakapannya dan memperluas cakrawala kreativitas, corak, dan kualitas karya sastranya. Jika sastrawan-sastrawan mampu menghasilkan karya-karya yang baru, kreatif, dan berbobot, maka perkembangan sastra negara tersebut juga akan meningkat pesat, baik secara kualitas maupun kuantitas. Dengan kata lain, kritik yang dilakukan kritikus akan meningkatkan kualitas dan kreativitas sastrawan, dan pada akhirnya akan meningkatkan perkembangan sastra itu sendiri.
  • Kritik sastra berfungsi untuk penerangan bagi penikmat sastra
Dalam melakukan kritik, kritikus akan memberikan ulasan, komentar, menafsirkan kerumitan-kerumitan, kegelapan-kegelapan makna dalam karya sastra yang dikritik. Dengan demikian, pembaca awam akan mudah memahami karya sastra yang dikritik oleh kritikus.
­Di sisi lain, ketika masyarakat sudah terbiasa dengan apresiasi sastra, maka daya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra akan semakin baik. Masyarakat dapat memilih karya sastra yang bermutu tinggi (karya sastra yang berisi nilai-nilai kehidupan, memperhalus moral, mempertajam pikiran, kemanusiaan, kebenaran dll).
  • Kritik sastra berfungsi bagi ilmu sastra itu sendiri
Analisis yang dulakukan kritikus dalam mengkritik harus didasarkan pada referensi-referensi dan teori-teori yang akurat. Tidak jarang pula, perkembangan teori sastra lebih lambat dibandingkan dengan kemajuan proses kreatif pengarang. Untuk itu, dalam melakukan kritik, kritikus seringkali harus meramu teori-teori baru. Teori-teori sastra baru yang seperti inilah yang justru akan mengembangkan ilmu sastra itu sendiri, dimana seorang pengarang akan dapat belajar melalui kritik sastra dalam memperluas pandangannya, sehingga akan berdampak pada meningkatnya  kualitas karya sastra.
            Fungsi kritik sastra di atas akan menjadi kenyataan karena adanya tanggung jawab antara kritikus dan sastrawan serta tanggungjawab mereka dalam memanfaatkan kritik sastra tersebut.
            Dengan demikian, tidak perlu diragukan bahwa adanya kritik yang kuat serta jujur di medan sastra akan membawa pada meningkatnya kualitas karya sastra. Karena sastrawan akan memiliki perhitungan sebelum akhirnya dipublikasikannya karya sastra tersebut. Oleh sebab itu, ketiadaaan kritik pada medan sastra akan membawa pada munculnya karya-karya sastra yang picisan.
            Raminah Baribin menambahkan, bahwasanya tidak semua kritik sastra dapat menjelaskan fungsinya, oleh sebab itu kritik sastra harus memiliki tanggung jawab atas tugasnya serta mampu membuktikan bahwa dengan adanya kritik yang dilakukan oleh kritikus mampu memberikan sumbangan yang berharga terhadap pembinaan dan pengembangan sastra. Karnanya kritik sastra berfungsi apabila;
1)      disusun atas dasar untuk meningkatkan dan membangun sastra,
2)      melakukan kritik secara objektif, menggunakan pendekatan dan metode yang jelas, agar dapat dipertangungjawabkan
3)      mampu memperbaiki cara berpikir, cara hidup, dan cara bekerja sastrawan,
4)      dapat menyesuikan diri dengan ruang lingkup kebudayaan dan tata nilai yang berlaku, dan
5)      dapat membimbing pembaca untuk berpikir kritis dan dapat meningkatkan apresiasi sastra masyarakat.
D.  Esai Sastra
            Esai adalah karangan pendek mengenai suatu masalah yang kebetulan menarik perhatian untuk diselidiki dan dibahas. Pengarang mengemukakan pendiriannya, pikirannya, cita-citanya, atau sikapnya terhadap suatu persoalan yang disajikan. Dengan kata lain, esai sastra adalah karang pendek yang merupakan laporan hasil eksplorasi penulis tentang karya atau beberapa karya sastara yang sifatnya lebih banyak menekankan sensasi dan kekaguman penelaah tentang hasil hasil bacaannya atau hasil belajarnya.
           
            Arief Budiman dalam Kritik dan Penilaian (1993: 10) menarik pengertian esai sebagai karangan yang sedang panjangnya, yang membahas persoalan secara mudah dan sepintas lalu dalam bentuk prosa.
            Esai sastra sebagai bagian dari kritik sastra yang mempunyai ciri dan karakteristik sendiri. Hal ini dimaksudkan agar kita dapat membedakan yang mana kritik dan yang mana esai sastra ketika disuatu waktu kita membutuhkan referensi untuk kepentingan penelitian ataupun penambah wawasan dalam mengasah karya esai kita. dalam hal ini esai sastra hanya bersifat mengemukakan masalah atau persoalan kepada khalayak ramai, dan bagaimana penelesaian tersebut terarah kepada pembaca. Sedangkan kritik sastra adalah penilaian terhadap suatu karya sastra melalui proses dengan menggunakan kriteria tertentu.
            Kiranya seperti itu, sedikit uraian yang mampu penulis sajikan. Namun jauh dari itu smua penulis masih menyadari, akan adanya kesalahan. Oleh karena itu, segala konstruktif untuk kesempurnaan ini, akan senantiasa penulis sambut dan selalu penulis harapkan.
Check it out !!!

Sabtu, 27 November 2010

Bekisar Merah

Check it out !!!

Laskar Pelangi

Check it out !!!

Ronggeng Dukuh Paruk

 
Check it out !!!

Pandangan Positivis Tentang Ronggeng Dukuh Paruk

Check it out !!!

Rabu, 17 November 2010

Makalah Morphologi Oleh Rezqi Soewarno

A. Proses Morfologis, Apa Itu ?
Proses morfologis ialah cara pembentukan kata-kata dengan menghubungkan morfem yang satu dengan yang lain (Samsuri, 1982:190). Atau, proses yang dialami bentuk-bentuk lingual dalam menyusun kata-kata (Ahmadslamet, 1982:58). Lebih jelas, proses morfologis ialah proses pembentukan kata-kata dari satuan lain yang merupakan bentuk dasarnya (Ramlan, 1983:44).
B. Macam-macam Proses Morfologis
Samsuri (1982:190) menuliskan bahwa proses morfologis itu ada lima macam, yakni: (1) afiksasi, (2) reduplikasi, (3) perubahan intern, (4) suplisi, dan (5) modifikasi kosong. Sedangkan Verhaar (1984:64) dan Ramlan (1983:46) menambahkan satu lagi yaitu komposisi atau pemajemukan. Keenam proses morfologis tersebut terjadi pada bahasa-bahasa yang ada di dunia. Pada bagian ini, penulis hanya akan memaparkan kilas. Sedangkan pada bagian lain, akan dipaparkan secara rinci yakni proses morfologis yang ada pada bahasa Indonesia. Agar lebih jelas, secara sekilas akan dipaparkan satu persatu.
1) Afiksasi
Afiksasi atau proses pembubuhan imbuhan ialah pembentukan kata dengan cara melekatkan afiks pada bentuk dasar. Hasil afiksasi disebut kata berafiks atau kata berimbuhan. Contohnya: ber- pada berkembang, -el- pada telunjuk, -an pada lemparan, dan per-an pada perjanjian. Paparan lebih rinci akan dibahas pada afiksasi bahasa Indonesia.
2) Reduplikasi
Reduplikasi ialah proses pembentukan kata dengan cara suatu bentuk dasar. Proses morfologis semacam ini merupakan salah satu cara pembentukan kata yang paling banyak pada bahasa-bahasa di dunia. Sebagai contoh: buku menjadi buku-buku, bali menjadi bola-bali (bahasa Jawa), adanuk menjadi adadanuk ‘panjang’ (bahasa Agta). Paparan reduplikasi ini juga lebih jauh dan rinci akan dibahas pada reduplikasi bahasa Indonesia.
3) Perubahan Intern
Perubahan intern ialah pembentukan kata dengan cara mengubah struktur fonem dasar sehingga menghasilkan bentuk baru, sebagai contoh perhatikanlah satuan-satuan berikut!



Tunggal
/fut/
/mæn/

Waktu Sekarang
/ran/
/teyk/
Jamak
/fiyt/
/mεn/

Waktu Lampau
/ræn/
/tuk/
Arti
‘kaki’
‘laki-laki’

Arti
‘lari’
‘mengambil’



Bentuk jamak (kata benda) maupun waktu lampau (kata kerja) tidak dapat kita ambil bagian mana yang menyatakan makna tersebut. Namun dari contoh di atas, kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa yang menyatakan makna jumlah ialah perubahan /u/ menjadi /iy/ dan /æ/ menjadi /δ/ pada kata foot menjadi feet dan man menjadi men atau /a/ menjadi /æ/ dan /ey/ menjadi /u/ pada kata run menjadi ran atau teek menjadi took. Oleh karena itu, proses morfolois seperti itu disebut perubahan intern (intern modification).
4) Suplisi
Suplisi merupakan salah satu proses morfologis yang menyebabkan adanya bentuk yang sama sekali baru. Bentuk dasar dan bentuk turunannya tidak terdapat persamaan sedikitpun. Untuk contoh ini, kita ambil dari bahasa Inggris.
Waktu Kini
/gow/
/æ/
Waktu Lampau
/wεnt/
/w∂z/
Arti
‘pergi’
‘adalah’
Dari dua contoh di atas kita dapat menarik suatu kesimpulan bahwa bentuk go dan am untuk waktu kini (sekarang) berubah menjadi went dan was untuk menyatakan waktu lampau. Bentuk lampau tersebut seoolah-olah bukan perubahn dari bentuk kini, seolah-olah begitulah adanya. Proses morfologis seperti itu dinamakan suplisi.
5) Modifikasi Kosong
Komposisi atau pemajemukan adalah proses pembentukan kata dengan cara menggabungkan dua buah bentuk atau satuan dasar(bentuk asal) atau lebih. Sebagai contoh perhatikanlah bentuk-bentuk berikut.
                  flower + sun          sunflower
                  mata + sapi            mata sapi (telur)
Masalah komposisi ini akan lebih terinci dipaparkan pada komposisi dalam bahasa Indonesia.
Setelah macam-macam proses morfologis dipaparkan secara sekilas, berikut ini akan dipaparkan secara sekilas, berikut ini akan dipaparkan proses morfologis yang ada dalam bahasa Indonesia secara terinci. Proses morfologis yang dimaksudkan ialah afiksasi (proses pembubuhan afiks), reduplikasi (proses pengulangan), dan komposisi (proses pemajemukan).

C. Afiksasi dalam Bahasa Indonesia
Afiksasi sering pula disinonimkan dengan proses pembubuhan afiks. Seperti telah dijelaskan, afiksasi merupakan salah satu proses morfologis. Afiksasi dalam bahasa Indonesia sangat memegang peranan penting. Hal itu didasarkan pada suatu kenyataan, bahwa bahasa Indonesia termasuk rumpun bahasa aglutinatif.
Afiksasi yaitu penggabungan akar (istilah lain untuk morfem bebas) atau pokok kata dengan afiks (Samsuri, 1982:190). Namun Ramlan (1983:47) lebih lanjut menyebut afiksasi itu sebagai pembubuhan afiks pada suatu satuan (bentuk), baik tunggal maupun kompleks untuk membentuk kata. Hasil afiksasi disebut kata berafiks atau kata berimbuhan. Lubis (1954:39) dan Anshar (1969:9) menyebutkan dengan istilah kata bersambungan.
Dari dua pernyataan di atas, kita dapat mengambil satu perbedaan pengertian yang dilontarkan oleh Samsuri dan Ramlan. Perbedaan bukan terletak pada peristiwa afiksasinya, tetapi terletak pada bentuk dasarnya. Samsuri menyebutkan bahwa bentuk dasar yang dilekati afiks berupa akar (bentuk tunggal bebas atau morfem bebas) dan pokok kata, sedangkan Ramlan, menyebutnya bentuk tunggal maupun kompleks. Dalam hal ini, penulis sependapat dengan Ramlan, bahwa pada dasarnya afiksasi dalam bahasa Indonesia.tidk ahanya dibentuk dari bentuk dasar yang bermorfem tunggal, tetapi bisa pula bentuk kompleks. Agar lebih jelas perhatikanlah korpus berikut.



Afiks
Bentuk Dasar
Hasil
Tunggal
Kompleks
peN-
peN-an
per-an
ber-
-an
di-kan (?)
meN-kan (?)
temu
tampil
-
-
makan
-
-
-
-
-
tanggung jawab
pakaian
-
berhenti
satu padu
ke samping
penemu
penampilan
pertanggungjawaban
berpakaian
makanan
diberhentikan
menyatupadukan
mengesampingkan



Dengan memeprhatikan contoh yang berada dalam korpus, nyatalah bahwa bentuk dasarkata berafiks bahasa Indonesia mungkin berupa bentuk tunggal (temu, tampil, makan), mungkin kompleks (tanggung jawab, pakaian, berhenti, satu padu, ke samping). Bentuk dasar kata berafiks mungkin berupa: morfem bebas atau istilah Samsuri akar, seperti makan, mungkin berupa pokok kata seperti juang; mungkin berupa kata berafiks seperti pakaian, berhenti; mungkin gabungan kata seperti tanggung jawab; atau mungkin frase seperti ke samping.
Berdasarkan kenyataan di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa afiksasi atau pembubuhan afiks ialah pembentukan kata baru dengan carameletakkan afiks atau imbuhan pada suatu bentuk dasar, baik bentuk tunggal maupun kompleks.
Proses afiksasi dalam bahasa Indonesia, dibedakan menjadi empat macam. Pertama, proses pelatakkan afiks di muka bentuk dasar yang bisa disebut prefiksasi (prefixation; proses pembubuhan awalan); contoh: ke- + kasih menjadi kekasih. Kedua, proses pelatakkan afiks di tengah-tengah bentuk dasar yang biasa biasa disebut infiksasi (infixation; proses pembubuhan sisipan); contoh –el- + tunjuk menjadi telunjuk. Ketiga, proses peletakkan aiks pada akhir bentuk dasar yang biasa disebut sufiksasi (suffxation; proses pembubuhan akhiran); contoh: -an + genang menjadi genangan. Keempat, proses pembubuhan afiks dengan cara membubuhkan afiks di awal dan di akhir (mengapit) bentuk dasar sekaligus disebut konfiksasi ambifikasi (konfixation; ambifixation; proses pembubuhan imbuhan gabungan), seperti: ke-an + mati menjadi kematian (Verhaar, 1984:60).


1) Afiks atau Imbuhan
Jika kita membicarakan afiksasi, maka kita tidak bisa memisahkannya dengan afiks atau imbuhan itu sendiri. Artinya, pembicaraan afiksasi atau proses pengimbuhan harus selalu diikuti oleh pembicaraan afiks atau imbuhan itu sendiri. Keraf (1982:93) menyebutnya, hubungan keduanya seperti ikan dengan air.
Pada bagian terdahulu, telah dijelaskan bahwa afiks disebut bentuk ikat secara morfologis (baca kembali bentuk bebas dan bentuk ikat). Ahmadslamet (1981:59) mendefinisikan afiks sebagai satuan atau bentukan yang merupakan morfem ikat yang selalu hadir dengan keadaan bergabung dengan bentukan lainnya dalam membentuk bentukan lainnya yang lebih besar. Afiks ialah satuan (ter-)ikat yang dalam suatu kata merupakan unsur yang bukan kata dan bukan pokok kata yang memiliki kesanggupan melekat pada satuan lain untuk membentuk kata.untuk menjelaskan pengertian di atas, perhatikanlah contoh berikut!



Afiks
Bentuk Dasar
Kata Berafiks
ber-
di-
-an
-i
-kan
-el-
peN-an
jalan
tendang
kunjung
duduk
masuk
tapak
nanti
berjalan
ditendang
kunjungan
duduki
masukkan
telapak
penantian



Berdasarkan tebel di atas jelas terlihat bahwa afiks (ber-, di-, -an, -i, -kan, -el-, peN-an; dan banyak lagi) kalau berdiri sendiri tidak mempunyai arti apa-apa. Bentuk tersebut (afiks) tidak dapat beriri sendiri dalam tuturan biasa. Afiks baru mempunyai arti atau makna jika mereka digabungkan pada bentuk lain seperti terlihat pada korpus di atas.
Dapat dilihat pada korpus di atas, afiks berfungsi membentuk kata-kata baru. Bahkan menurut Ramlan, afiks pun selain membentuk kata, juga membentuk pokok kata seperti pada duduki dan masukkan. Oleh karena itu ada pula yang menyebut bentuk-bentuk seperti itu dengan istilah pokok kata kompleks. Ahmadslamet (1982:90) tidak sependapat dengan istilah pokok kata untuk contoh seperti itu sebab pokok kata diartikan sebagai morfem ikat. Bentuk-bentuk seperti itu bisa hadir dalam tuturan biasa atau dalam kalimat secara bebas, seperti: “Buku itu sudah saya masukkan ke dalam tas.” Atau “Jangan anda duduki kursi itu.”. bentuk seperti itu beliau namakan kata kerja yang memiliki cirri khusus.
Ada bentuk lain yang mirip afiks seperti di-, ke-, dari, -lah pada di pinggir (jalan), ke sudut, dari kota, makanlah; juga bentuk-bentuk seperti: ku-, -ku, -mu, -nya, -isme pada kutarik, bajuku, dagumu, hidungnya, patriotisme. Golongan pertama disebut morfem ikat secara sintaksis dan yang kedua disebut klitik. Coba kaji ulang bahasan bentuk bebas dan bentuk ikat 2.4.
Berdasarkan paparan di atas, dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa afiks atau imbuhan merupakan bentuk satuan terikat yang jika dilekatkan pada bentuk dasar akan mengubah makna bentuk tersebut.


2) Macam-macam Afiks
Afiks dapat diklasifikasikan menjadi bermacam-macam. Hal itu akan sangat bergantung pada segi tinjauannya. Macam afiks dapat ditinjau dari posisi atau letaknya, asalnya, serta produktif tidaknya.


a) Macam Afiks Ditinjau dari Letaknya
Dari letak atau posisi melekatnya, afiks dapat dibagi menjadi empat macam yaitu prefiks atau awalan, infiks atau sisipan, sufiks atau akhiran, dan konfiks atau imbuhan gabungan (ada pula yang menyebutnya ambifiks, imbuhan ganda).
Prefiks atau awalan ialah afiks atau imbuhan yang dilekatkan pada awal bentuk dasar. Infiks atau sisipan yaitu afiks atau imbuhan yang dilekatkan di tengah-tengah bentuk dasar. Sufiks atau akhiran yaitu afiks atau imbuhan yang dilekatkan sesudah bentuk dasar. Konfiks atau imbuhan gabungan yaitu afik atau imbuhan yang mengapit bentuk dasar dengan cara melekat secara bersama-sama yang membentuk satu fungsi dari satu arti. Untuk dapat mengetahui afiks-afiks bahasa Indonesia secara jelas, lihatlah korpus berikut.





Prefiks
Infiks
Sufiks
Konfiks
meN-
Ber-b
di-
peN-
pe-
per-
se-
ke-
ter-
a-
maha-
para
pra-
-el-
-er-
-em-
-kan
-an
-i
-nya
-wan
-man
-wati
-is
meN-kan
ber-an
ber-kan
se-nya
per-an
peN-an
di-kan
ke-an
meN-i



b) Macam Afiks Ditinjau dari Asalnya
Ditinjau dari asalnya, afiks bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu afiks asli dan afiks dari bahasa asing. Afiks asli ialah afiks-afiks yang emmang merupakan bentukan atau afik dari bahasa Indonesia itu sendiri, sedangkan afiks asing ialah afiks yang berasal atau hasil pungutan dari bahasa asing yang kini telah menjadi bagian sistem bahasa Indonesia.
Untuk menyatakan suatu afiks bahasa asing telah diterima menjadi afiks bahasa Indonesia, apabila afiks tersebut sudah mampu keluar dari lingkungan bahasa asing dan sanggup melekat pada bentuk dasar bahasa Indonesia. Ramlan (1983:52) memberikan gambaran afiks –in dan –at pada kata muslimin dan muslimat merupakan afiks bahasa Arab, belum dapat digolongkan ke dalam afiks bahasa Indonesia, meskipun di samping muslimin dan muslimat ada bentuk muslim. Namun demikian, kedua afiks tersebut belum mampu melekat pada bentuk dasar bahasa Indonesia lainnya. Kedua afiks tersebut hanya mampu melekat pada bentuk dasar bahasa Arab. Berbeda dengan afiks maha- yang berasal dari bahasa Sangsekerta misalnya, ia mampu melekatkan diri pada bentuk-bentuk dasar bahasa Indonesia seperti: murah, besar, adil, bijaksana, pengasih, pengampun, guru, siswa.
Afiks-afiks yang berasal dari bahasa asing dapat kita kelompokan: pra-, para-, -wan, -wati, -man, a-, -is, -nda/-da. Afiks-afiks sepeti: meN-, ber-, di-, peN-, pe-, per-, se-, ke-, ter-, -el-, -er-, -em-, -kan, -an, -i, -nya, meN-kan, meN-i, ber-an, ber-kan, se-nya, peN-an, per-an, di-kan, ke-an merupakan afiks-afiks asli bahasa Indonesia.


c) Macam Afiks Ditinjau dari Produktifitasnya
Jika kita perhatikan afiks-afiks yang telah yang telah diuraikan pada bagian terdahulu, ada afiks terbatas sekali penggunaannya dan ada yang memiliki kemampuan melekat pada satuan lain yang lebih besar. Afiks –da, misalnya, hanya melekat secara terbatas pada bentuk-bentuk yang menyatakanmakna kekeluargaan, seperti: ayahanda, ibunda, pamanda, adinda, kakanda. Contoh lain afiks-afiks –el-, -er-, dan –em- hanya melekat pada bentuk-bentuk yang sudah ada, tidak mampu menghasilkan bentuk atau kata-kata baru. Di lain pihak seperti afiks meN-, secara distributive mampu menghasilkan kata-kata baru begitu produktif, seperti terlihat pada kata-kata, melayar, melebar, melangkah, menjadi, membengkak, membisu, menjawab, mencabik-cabik, mengangkat, mengangkut, menyanyi, menyapu, menyisir, menghunus, mengintai, mengebom, mengecat, mengetik, dan banyak lagi. Golongan afiks yang pertama disebut afiks yang improduktif, sedangkan golongan yang kedua afiks yang produktif.
Berdasarkan contoh di atas, dapatlah disimpulkan bahwa afiks improduktif ialah afiks yang tidak distributive, yang tidak memiliki kemampuan untuk melekatkan diri pada bentuk lain yang lebih banyak, terbatas pada satuan-satuan tertentu, sedangkan afiks produktif merupakan kebalikan afiks improduktif ialah afiks yang distributive yang besar kesanggupannya melekatkan diri pada morfem-morfem lain lebih banyak.
Ramlan (1983:55) menyatakan afiks-afiks pra-, a-, -el-, -er-, -em-, -is, -man, dan  -wi merupakan afiks-afiks yang improduktif. Afiks-afiks yang tergolong produktif yaitu peN-, meN-, ber-, di-, ke-, ter-, per-, se-, maha-, para-, -kan, -an, -i, -wan, meN-kan, ber-kan, per-an, peN-an, di-kan, ke-an, ber-an, se-nya.


D. Reduplikasi atau Proses Pengulangan dalan Bahasa Indonesia
Proses pengulangan atau reduplikasi merupakan proses morfo1ogis yang banyak terjadi pada bahasa-bahasa di dunia. Reduplikasi ialah proses pengulangan bentuk yang terjadi pada keseluruhan bentuk dasar atau sebagian saja, mungkin diikuti oleh variasi fonem atau pun tidak. Bentukan yang terjadi dari hasil reduplikasi disebut kata ulang (Ahmadslamet, 1980:61; Pamlan,1983:55) sedangkan bentuk (satuan) yang diulang disebut bentuk dasar (Ramlan, 1983:55).
Sebagai gambaran untuk mempertegas definisi di atas, perhatikan korpus di bawah ini.
Bentuk Dasar
duduk
berjalan
anak
lauk
Kata Ulang
duduk-duduk
berjalan-jalan
anak-anakan
lauk pauk


1) Masalah Bentuk Dasar Kata Ulang
Kalau kita tinjau berbagai buku tata bahasa, di antara mereka terdapat perbedaan dalam mengklasifikasikan atau membagi-bagi kata. Sebagai contoh, kata berjalan-jalan oleh Gorys Keraf (1982:120) dan Alisahbana (l954:68) dimasukan ke dalam macam kata ulang berimbuhan, sedangkan Slametmulyana (1957:38), Ramlan (1983:57), dan Ahmadslamet (1982:61) menggolongkannya ke dalam kata ulang sebagian.
Perbedaan pengklasifikasian atau penggolongan sperti di atas disebabkan oleh bedanya sistem konsepsi (Parera, 1980:40). Keraf dan Aliisjahbana berdsarkan pada konsepsi kata dasar, sedangkan Slametulyana, Ramlan, dan Ahmadslamet. berlandaskan pada bentuk dasar. Kata dasar merupakan istilah dalam tata bahasa tradisional yang maknanya hampir sama dengan bentuk bebas yakni kata yang belum mengalami perubahan atau penambahan. (Alisahbana, 1954:6). Umumnya kata dasar bahasa Indonesia dan juga semua bahasa yang sekeluarga dengan bahasa Indonesia terjadi dari dua suku kata (Keraf,1982:51) .
Dengan berbedanya konsepsi dalam membahas pengulangan, maka jelaslah hasilnya pun akan berbeda. Berdasarkan hasil teori, saya cenderung terhadap pendapat yang menggunakan bentuk dasar sebagai konsepsi penggolongan pengulangan. Dengan perkataan lain, bentuk dasar pengulangan mungkin merupakan bentuk (satuan) yang bermorfem tunggal mungkin pula jamak.


2) Menentukan Bentuk Dasar Kata Ulang
Untuk mementukan bentuk dasar suatu kata ulang, Ramlan, (1983:57) rnenggunakan dua prinsip. Kedua prinsip tersebut ialah:
a) Reduplikasi (pengulangan) pada dasarnya tidak mengubah golongan atau jenis kata. Dengan berpegang pada prinsip tersebut dapatlah ditentukan jika kata ulang itu termasuk jenis kata kerja, maka bentuk dasarnya pun kata kerja. Jika kata ulang tersebut termasuk kata benda, maka bentuk dasarnya pun kata benda. Perhatikan contoh-contah berikut!
berkata-kata (k. kerja): bentuk dasarnya berkata (kata kerja) bukan kata (kata benda)
gunung-gunung (k. benda): bentuk dasarnya gunung (kata benda)
kemerah-merahan (k. sifat): bentuk dasarnya merah (k. sifat )
melemparkan (k. kerja): bentuk dasarnya melempar (k. kerja)
pemikiran-pemikiran (k. benda) : bentuk dasarnya pemikiran (k. benda)
b) Bentuk dasar kata ulang selalu berupa bentuk (satuan) yang terdapat dalam penggunaan bahasa. Contohnya:
mempertahan-tahankan           : bentuk dasarnya mempertahankan bukan memertahan
                                                  karena tidak terdapat di dalam pemakaian bahasa
rnengata-ngatakan                   : bentuk dasarnya mengatakan
berdesak-desakkan                  : bentuk dasarnya berdesakkan


Pada kata ulang menulis-nuliskan, ada dua kemungkinan sebagai bentuk dasarnya. Pertama bentuk dasarnya mungkin menulis diulang menjadi menulis-nulis, setelah itu mendapat afiks -kan menjadi menulis-nuliskan. Kedua, bentuk dasarnya mungkin menuliskan diulang menjadi menulis-nuliskan.


3) Macam-macam Pengulangan
Pengulangan dalam bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi empat macam. Pembedaan ini ditinjau dari cara mengulang suatu bentuk dasarnya. Berikut ini paparan keempat macam pengulangan tersebut.


1) Pengulangan Utuh atau Pengulangan Seluruhnya
Pengulangan utuh atau pengulangan seluruhnya yaitu pengulangan seluruh bentuk dasar, tanpa perubahan fonem dan juga tidak berkombinasi dengan proses afiksasi. Hasilnya disebut kata ulang seluruhnya atau kata ulang utuh, istilah Keraf (1982:119) dwilingga, sedangkan Parera (1982:52) menyebutnya bentuk ulang simetris.
Contohnya:
tong → tong-tong
buku → buku-buku
kebaikan → kebaikan-kebajkan
pembangunan → pembangunan-pembangunan


2) Pengu1angan Sebagian
Pengulangan sebagian ialah proses pembentukan kata dengan cara mengulang sebagian bentuk dasarnya, Perhatikanlah contoh berikut!
tamu → tetamu
laki → lelaki
ditarik → ditarik-tarik
dilemparkan → dilempar-lemparkan
tumbuhan → tumbuh-tumbuhan


Berdasarkan contoh-contoh di atas, kita dapat menarik suatu kesimpulan bahwa pengulangan sebagian pada bentuk dasar bermorfem tunggal, yang diulang hanya suku kata awalnya (lelaki, tetangga). Vokal suku kata yang diulang mengalami pelemahan dan bergeser ke posisi tengah menjadi é pepet (contoh lain: luasa menjadi leluasa; luhur menjadi leluhur). Pengulangan sebagian yang, bentuk dasarnyab bentuk kompleks, cenderung hanya mengulang bentuk asalnya (ditarik-tarik, dilempar-lemparkan, tumbuh-tumbuhan, yang diulang tarik, lempar, tumbuh).
Parera (1982:53) memperkenalkan istilah lain, yaitu bentuk ulang regresif dan bentuk ulang progresif. Pengertian itu akan menjadi jelas dengan melihat korpus berikut.


Bentuk Ulang
Regresif
Bentuk Dasar
Progresif
dorong
sepak
tolong
mendorong
menyepak
menolong
mendorong
menyepak
terbatuk
berbeda
berganti
perlahan
pertama






dorong
nyepak
batuk
beda
ganti
lahan
tama







Jadi apakah bentuk ulang regresif dan bentuk ulang progresif? Sebuah bentuk ulang disebut bentuk ulang regresif, jika dalam bentuk ulang tersebut dapatt ditemukan atau tampak “dasar kata” (bentuk asal, pen.). Sedangkan bentuk ulang progresif adalah sebuah bentuk ulang yang mengulang sebagian bentuk dasar dan bentuk itu terikat kepada bentuk dasar. Tampak jelas dari contoh-contoh di atas, bentuk dasar yang berafiks meN- pada umumnya mengalami bentuk ulang regresif dan kadang-kadang progresif. Bentuk dasar yang berafiks ter-, ber-, dan per- pada umumnya mengalami bentuk ulang progresif (Parera, 1982:53). Pada bentuk ulang regresif, tampaklah bahwa bentuk dasar yang diulang letaknya di belakang “morfem ulang”, sedangkan bentuk ulang progresif bentuk dasar yang diulang terletak di depan “morfem ulang”.


3) Pengu1anan Serempak dengan Afiksasi
Pengulangan golongan ini dilakukan dengan cara mengulang seluruh bentuk dasar sekaligus dengan afiksasi dan bersama-sama mendukung satu fungsi dan satu arti. Misalnya kata anak-anakan. Berdasarkan prinsip ke-2, yang menyatakan bahwa ”bentuk dasar kata ulang merupakan satuan atau bentuk yang terdapat dalam bahasa,” kita dapat menentukan bahwa bentuk dasarnya anak, bukan anakan. Anakan tidak terdapat dalam penggunaan bahasa Indonesia,
Berdasarkan penjelasan di atas, kita mencoba mencari proses terbentuknya kata anak-anakan. Pertama bentuk dasar anak-anakan mungkin anak-anak, lalu mendapat imbuhan menjadi anak-anakan. Kedua bentuk dasar anak-anakan bentuk dasarnya anak diulang dengan mendapat afiks -an sekaligus.
Berdasarkan faktor arti, alternatif pertama tidaklah mungkin. Pengulangan anak menjadi anak-anak mempunyai makna atau arti banyak, sedangkan pada kata anak-anakan makna tersebut tidak ada. Yang ada adalah arti atau makna ‘menyerupai apa yang tersebut pada bentuk dasar’. Jelaslah bahwa satu-satunya alternatif ialah kata anak-anakan terbentuk dari bentuk dasar anak yang diulang serempak dengan melekatnya afiks –an. Contoh lainnya lihatlah berikut ini!
kereta → kereta-keretaan
hijau → kehijau-hijauan
cantik → secantik-cantiknya
Dengan melihat contoh di atas, Prawirasumantri (1986:7) merumuskan reduplikasi serempak dengan afiksasi tiga macam yaitu: (1) R-an (Peduplikasi + afiks -an), (2) ke-an (Reduplikasi + afiks ke-an), dan (3) se-R-nya (Peduplikasi + afiks se-nya).


4) Pengulangan dengan Perubahan Fonem
Pengulangan dengan perubahan fonem ialah pengulangan seluruh bentuk dasar dengan disertai adanya perubahan fonem bentuk dasar yang diulangnya, baik vokal maupun konsonan. Perhatikan contoh berikut!
gerak → gerak-gerik
serba → serba-serbi
lauk → lauk-pauk
ramah → ramah-tamah
sayur → sayur-mayur
Parera (1982:55) menyebutnya dengan istilah lain yaitu bentuk ulang vokal dan bentuk ulang konsonan. Beliau meninjau dari segi struktur. Bentuk ulang vokal ialah pengulangan terhadap vokal-vokal bentuk dasar sedangkan bunyi-bunyi konsonan mengalami variasi atau berselisih dengan bunyi-bunyi konsonan bentuk dasar. Bentuk ulang konsonan sebaliknya dan bunyi ulaing vocal yaitu pengulangan konsonan-konsonan dan bentuk dasar dan bunyi-bunyi vokal mengalami variasi atau berselisih dengan bunyi-bunyi vokal bentuk dasar. Agar pengertian tersebut jelas, perhatikan contoh-contoh berikut.
Bentuk Dasar
Bentuk Ulang
Bunyi yang Diulang
Vokal
Konsonan
serba
warna
balik
gerak
ramah
lauk
cerai
tegap
ramah-tamah
lauk-pauk
cerai-berai
tegap-begap
serba-serbi
warna-warni
bolak-balik
gerak-gerik
s, r, b
w, r, n
b, l, k
g, r, k
a, a
a, u
e, ai
e, a


Dapatlah dilihat bahwa penggolongan ini melihat apa yang diulang. Empat contoh pertama menunjukkan bahwa yang diulang adalah bunyi-bunyi konsonan, bentuk ulangnya disebut bentuk ulang konsonan, (yang diulang adalah a, r, b pada serba-serbi, w, r, n pada warna-warni, b, 1, k pada bolak-balik, g r, k pada gerak-gerik), sedangkan empat contoh berikutny memperlihatkan bahwa yang diulangnya adalah vokal-vokal bentuk dasar, itu termauk bentuk ulang vokal (yang diulangnya ialah: a, a pada ramah-tamah, a, u pada 1auk-pauk, e, ai pada cerai—berai, dan e, a pada tegap-begap).
4) Bentuk-bentuk Lain yang Mirip Kata Ulang
Pada suatu malam, ada seseorang yang berteriak,  Maling! Maling! atau Kebakaran! Kebakaran!. Ada seoran pedagang mengucapkan, “Pisang! Pisang! Kacang ! Rokok! Rokok!. Dengar pula nyanyian, “Boleh, boleh, boleh, dipandang, asal jangan, jangan dipegang!”.
Jika dilihat secara sekilas, bentuk-bentuk di atas tampaknya sama dengan kata ulang (Parera menyebutnya bentuk ulang). Memang secara struktur, bentuk-bentuk tersebut dapat dikembalikan pada bentuk dasar masing-masing, akan tetapi ada kaitan rnakna di antara unsur-unsurnya. Dalam hal ini kata-kata yang diulang ini mempunyai otonomi sendiri-sendiri. Hubungan makna unsur-unsur yang diulang itu tidak ada. Bentuk-bentuk seperti itulah yang kadang-kadang membuat kita tersesat. Bentuk-bentuk itu terdiri atas beberapa kata, berbeda dengan kata ulang termasuk satu kata. Bentuk-bentuk itu disebut ulangan kata.
Perhatikan pula bentuk-bentuk seperti: cumi-cumi, lobi-lobi, ani-ani, kupu-kupu. Bentuk-bentuk ini pun tampaknya seperti kata ulang. Namun kalau kita kaji lebih jauh, bentuk-bentuk seperti ini tidak mempunyai bentuk dasar. Cumi, lobi, ani, kupu tidak ada dalam penggunaan bahasa, oleh karena itu tidak mungkin merupakan bentuk dasar. Bentuk-bentuk seperti teramasuk kata dasar atau kata yang bermorfem tunggal.
Bentuk lain yang sering dikacaukan dengan kata ulang antara lain bentuk-bentuk seperti: simpang-siur, sunyi-senyap, lalu-lalang, beras-petas. Effendi (1958:44), misalnya menyebutkan bentuk-bentuk seperti itu termasuk kata ulang berubah bunyi. Kalau kita menyebutkan bentuk-bentuk seperti itu kata ulang, mungkinkah siur, senyap, lalang, dan petas masing-masing perubahan dan simpang, sunyi, lalu, dann beras? Perubahan-perubahan seperti itu sukar dijelaskan dan secara deskriptif hal itu tidak mungkin. Oleh karena itu, Ramlan (1983:51) menggolongkan bentuk-bentuk seperti itu masuk kata majemuk yang salah satu unsurnya berupa morfem unik, yakni morfem-morfem yang hanya mampu berkombinasi dengan satu bentuk tertentu .


E. Komposisi atau Pemajemukan dalam Bahasa Indonesia
Pembicaraan tentang kata majemuk dan pemajemukan sampai sekarang belum pernah memuaskan semua pihak. Faktor-faktor yang terlibat di dalamnya tidak selalu dapat dijelaskan secara kebahasaan. Di antara penulis tata bahasa, ada yang mencoba menjelaskannya dari sudut arti yang dikandungnya, ada pula yang rnencoba menjelaskan dari segi struktur dengan menentukan ciri-cirinya (Ahmadslamet, 1982:65), bahkan ada pula yang menggabungkan kedua segi tinjau tersebut.
Kalau kita membaca buku-buku tata bahasa, lebih terlihat adanya pertentangan tentang pembahasa pemajemukan dan tata majemuk. Golongan pertama yang rnengatakan bahwa kata majemuk itu ada dalam bahasa Indonesia seperti Slametmulyana (1957) dalam bukunya Kaidah Bahasa Indonesia II, St. Takdir Alisyahbana (1953) dalam bukunya Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia Jilid II, Gorys Keraf (1982) dalam bukunya Tata Bahasa Indonesia untuk SLA, dan Ramlan (1983) dalam bukunya Ilmu Bahasa Indonesia, Morfologi, Suatu Tinjauan Deskritif. Golongan kedua, A.A. Fokker (1972) dalam Sintaksis Indonesia terjemahan Jonhar dan Jos Daniel Parera dalam bukunya Pengantar Linguistik Umum Bidang Morfologi Seri B (Parera, 1980:59).
Yang tidak setuju mengemukakan argumentasi bahwa konsep yang diberikan terhadap penamaan kata majemuk tidak sesuai dengan contoh-contoh fakta kebahasaan yang dikemukakan. Contoh-contoh yang diajukan tidak mendukung definisi kata majemuk yang berbunyi, “gabungan dua kata atau lebih yang merupakan satu kesatuan.dan menimbulkan pengertian baru”. Contohnya kamar mandi dan semangat juang, tidak memperlihatkan adanya kesatuan baik secara struktur maupun semantis. Secara struktur di antara kata-kata tersebut sebenarnya masih dapat disisipkan kata-kata lain. Di antara kamar mandi masih dapat disisipkan kata untuk sehingga menjadi kamar untuk mandi, pada semangat juang dapat disispkan bentuk-bentuk dalam dan bentuk ber- sehingga menjadi selamat dalam berjuang. Secara semantis, gabungan kamar mandi dan semangat juang tidak memperlihatkan adanya makna yang benar-benar baru yang benar-benar berbeda dengan makna dasar unsur-unsurnya. Pada gabungan kamar mandi masih terasa makna kamar dan pada semangat juang masih tarkandung makna semangat (Sitindoan, l984:99).
Parera (1980:60) mengemukakan alasan lain, ditilik dari segi definisi terlihat adanya kontadiksi dalam definisi tersebut. Yang dimaksud oleh beliau yakni satu kata yang terdiri dari dua kata atau lebih. Secara matematis, 1+1 = 1 atau 1+1+1 = 1. Dalam hal ini, definisi tersebut kekurangan satu konsep yang lain yaitu konsepsi kata. Satu kata ditambahi satu kata yang nilainya sama pastilah hasilnya dua kata, dan bukan satu kata seperti definisi, “kata majemuk ialah kata yang terdiri dari dua kata atau lebih yang mengandung satu pengertian”.
Keberatan lain yang dikernukakan Parera terhadap pendapat yang ada yaitu dalam membahasa kata majemuk bahasa Indonesia, terdapat pencampuradukan aspek makna dan aspek bentuk dalam satu definisi, karena pada akhirnya aspek makna yang akan menjadi pedoman dan dominan dalam analisis bahasa kita. Itu berbahaya.
Di sini, penulis tidak akan mempertentangkan dua golongan secara mendetail. Terlepas dan setuju atau tidaknya ada kata majemuk dalam bahasa Indonesia, penulis akan mengernukakan pendapat yang menyetujui adanya pendapat kata majemuk dalam bahasa Indonesia. Hal ini penulis lakukan karena pendapat ini banyak dikutip dan dipergunakan sebagai pedoman bahan pengajaran di sekolah-sekolah. Berikut ini, penulis akan memaparkan pendapat Ramlan (1983), yang ditunjang oleh Prawirasumantri (1986), Ahmadslamet (I982), dan Badudu (1976).


1) Pengertian Pemajemukan dan Kata Majemuk
Pemajemukan yaitu proses morfologis yang berupa perangkaian (bersama-sama) dua buah bentuk dasar (bentuk asal) atau lebih yang menghasilkan satu kata (Prawirasumantri, 1986:10), Hasil proses pemajemukan disebut kata majemuk, Ramlan (1983:67) mendefinisikan kata majemuk yakni kata yang terdiri dari dua kata atau lebih sebagai unsurnya. Sedangkan Badudu (1976: 8) mendefinisikannya, gabungan dua buah morfem dasar atau lebih yang mengandung (memberikan) suatu pengertian baru. Kata majemuk tidaklah menonjolkan arti tiap kata, tetapi gabungan kata tersebut bersama-sama membentuk suatu makna.
Dan definisi yang dikemukakan ada perbedaan pengertian kata majemuk menurut Ramlan dengan Badudu, Jika Ramlan mendefinisikan kata mjemuk, “kata yang terdiri dan dua kata atau lebih”, maka kata-kata seperti beras-petas, lalu-lalang, simpang-siur yang oleh Ramlan dimasukkan ke dalam kata majemuk, hal itu tidak dapat dipertahankan lagi. Benarkah petas, lalang, dan siur termasuk kata? Jelas tidak benar. Supaya kata-kata seperti itu dapat digolongkan ke dalam kata majemuk, maka definisi kata majemuk ialah “ kata yang dihasilkan dengan cara menggabungkan dua buah bentuk dasar atau lebih yang berbeda”. Sedangkan proses pemajemukan atau komposisi dapat didefinisikan, proses penggabungan dua buah bentuk dasar atau lebih yang berbeda untuk menghasilkan sebuah kata baru.


2) Ciri-ciri Kata Majemuk
Ramlan (1983:67), Prawirasumantri (1986:11), dan Ahmadslamet (1982:66) menerangkan, sekilas kata majemuk sukar dibedakan dan bentuk lingual atau satuan gramatik yang berupa konstruksi predikatif, yakni suatu konstruksi yang terdini atas subjek dan predikat, dan konstruksi endosentris yang atributif yakni frase yang rnempunyai distribusi yang sama dengan salah satu atau semua unsurnya.
Agar perbedaannya jelas, analisislah bentuk kamar mandi dan adik mandi. Tampaknya dua bentuk tersebut sama, karena sama-sama dibangun oleh KB + KK. Akan tetapi kalau kita analisis, kedua bentuk tersebut mempunyai sifat yang berbeda. Bentuk kamar mandi bukanlah konstruksi predikadif atau frase endosentris yang atributif, tetapi merupakan sebuah kata benda. Berbeda dengan bentuk adik mandi , ia merupakan sebuah konstruksi predikatif (adik sebagai subjek dan mandi sebagai predikat). Kamar mandi termasuk kata majemuk, sedangkan mandi bukan kata majernuk.
Berdasarkan penjelasan di atas, Ramlan (1983:69) mengemukakan ciri-ciri kata majemuk sebagai berikut.


l) Gabungan dua buah bentuk dasar (bentuk asal) atau lebih yang salah satu atau semua unsurnya berupa pokok kata termasuk kata majemuk.
Pokok kata yaitu bentuk lingual atau satuan gramatik yang tidak dapat berdiri sendiri dalam tuturan biasa dan secara gramatis tidak memiliki sifat bebas tetapi dapat dijadikan bentuk dasar sutu kata kompleks. Bentuk yang terdiri dari bentuk dasarnya yang berupa morfem bebas dengan pokok kata atau pokok kata semua, maka gabungan tersebut pastilah termasuk kata majemuk. Contohnya: kolam renang, medan tempur, temu karya, tanggung jawab.
2) Unsur-unsur kata majemuk tidak mungkin dipisahkan atau tidak mungkin diubah strukturnya.
Untuk memperjelas ciri tersebut, perhatikanlah dan bandingkan bentuk-bentuk yang berada dalam korpus.





I
II
kamar mati
meja makan
rumah sakit
kaki tangan
kamar kecil
tangan kanan
tikus mati
adik makan
burung sakit
kaki dan tangan
kamar yang kecil
tangan yang kanan



Bentuk-bentuk yang ada pada lajur I merurakan kata majemuk, sedangkan lajur II bukan kata majemuk. Bentuk kamar mati tidak dapat dipisahkan. menjadi kamar yang mati, begitu pula. dengan meja dengan meja makan, rumah sakit, kaki tangan, kamar kecil, tangan kanan. Bentuk-bentuk itu juga tidak dapat ditukar tempatnya menjadi mati kamar, makan meja, sakit rumah dan seterusnya. Bentuk-bentuk kaki tangan, kamar kecil, dan tangan kanan mungkin bisa dipisahkan oleh bentuk atau satuan yang atau dan seperti terlihat pada kolorn II, namun arti atau makna yang dikandungnya akan berubah sama sekali. Tangan kanan pada lajur I artinya ‘orang kepercayaan’ sedangkan tanan (yang) kanan pada lajur II artinya “anggota badan dari siku ke ujung jari yang ada di sebelah kanan’. Bentuk-bentuk yang ada pada lajur I itulah yang disebut dengan kata majemuk.
Akhirnya, perlu disinggung lagi di sini bentuk yang terdiri atas bantuk dasar dan morfem unik yakni morfem yang tidak pernah hadir dalam pemakaian bahasa kecuali dalam keadaan berkombinasi dengan bentuk tertentu. Gabungan seperti itu disebut kata majemuk yang salah satu bentuk dasarnya berupa morfem unik. Contoh kata majemuk. yang mengandung morfem unik ialah tumpah ruah, simpang siur, sunyi senyap, terang benderang, gelap gulita, lalu lalang, kering kerontang, tua bangka, tua renta, muda belia. Tentukan mana yang termasuk morfem uniknya?
Lebih terinci Keraf (1982:125) menyatakn cirri-ciri kata majemuk sebagai berikut:
1) Gabungan itu membentuk suatu arti.
2) Gabungan itu dalam hubungannnya ke luar membentuk satu pusat, yang menarik
    keterangan-keterangan atas kesatuan itu, bukan atas bagian-bagiannya.
3) Biasa terdiri atas kata-kata dasar.
4) Frekuensi pemakaiannya tinggi.
5) Terutama kata-kata majemuk yang bersifat endosentris, terbentuk menueur hukum
    DM (Diterargkan mendahului menerangkan).


3)Macam-macam Kata Majemuk
Kata majemuk dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kata majemuk endosentris dan eksosentris. Kata majemuk endosentris yaitu kata majemuk yang konstruksi distribusinya sama dengan kedua (ketiga) atau salah satu unsurnya. Kata majemuk eksosentris, sebaliknya, yaitu kata majemuk yang konstruksinya itu berlainan distribusinya dan salah satu unsurnya (Samsuri, 1982:200). Untuk menjelaskan hal itu, beliau mengemukakan contoh bentukan rumah sakit dan jual beli, yang kedua-duanya merupakan kata majemuk. Yang pertama kata majemuk endosentris, sedangkan yang kedua eksosentris. Perhatikanlah:
l) a.Rumah sakit itu baru dibangun.
b.Rumah itu baru dibangun.
Melihat contoh di atas, jelaslah bahwa rumah berdistribusi sama dengan rumah sakit, sehingga selain kalimat l.a. kalimat 1.b. pun ada dalam bahasa Indonesia. Dengan perkatan lain satuan rumah dapat menggantikan satuan rumah sakit.
2) a. Kedua orang itu mengadakan jual beli.
b. Kedua orang itu mengadakan jual. *)
c. Kedua orang itu mengadakan beli. *)
Tanda *) berarti kalimat 2.b. dan 2,c. tidak ada dalam bahasa Indonesia. Jelaslah distribusi jual beli berlainan distrubusinya dengan jual ataupun beli. Itulah yang disebut kata majemuk eksosentris.
Kata majemuk endosentris dapat dibedakan menjadi: kata majemuk koordinatif yaitu kata majemuk yang unsur-unsurnya mempunyai hubungan yang setara atau sederajat, misalnya: budi bahasa (Suwarso, 1979:38); kata majemuk atributif atau subordinatif yaitu kata majemuk yang salah satu unsurnya menjadi penjelas atau atribut unsur lainnya, misalnya: rumah sakit, orang tua (Suwarso, 1979:38) ; dan kata majemuk yang salah satu unsurnya berupa morfem unik, misalnya: lalu lalang (Ramlan, l983:50).




Check it out !!!