Kamis, 14 Oktober 2010

Faktor Yang Mempengaruhi Kecepatan Membaca

Tujuan membaca seseorang akan menentukan kecepatan bacanya. Berbicara tentang hubungan kecepatan membaca dengan tujuan yang dikehendaki dari kegiatan membacanya itu, akan terjadilah apa yang dinamakan fleksibilitas kecepatan baca. Yang dimaksud fleksibilitas kecepatan baca adalah kelenturan tempo baca pada saat membaca sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan membacanya tersebut.
Jika tujuan membacanya hanya sekedar ingin menikmati karya sastra secara santai, pembaca dapat memperlambat tempo kecepatan bacanya. Kalau pembaca menginginkan informasi menyeluruh tentang kejadian hari ini dengan segera, tentu ia akan meningkatkan kecepatan bacanya. Pembaca akan berusaha menemukan ide-ide utama atau gagasan-gagasan penting saja dan menghiraukan hal-hal kecil atau rincian-rincian khusus dalam bacaannya tersebut.
Pada tahap-tahap awal, tingkat kecepatan baca erat kaitannya dengan faktor kesiapan membaca (reading readness). Burron dan Claybaugh (1977) mengajukan enam hal yang dipandang penting dalam mempertimbangkan reading readness. Keenam hal tersebut meliputi:
(a) (a) fasilitas bahasa lisan;
(b) latar belakang pengalaman;
(c) diskriminasi auditori dan diskriminasi visual;
(d) intelegensi;
(e) sikap dan minat;
(f) kematangan emosi dan sosial.
Butir a, c, dan f (fasilitas bahasa lisan, diskriminasi auditori dan visual, dan kematangan emosi dan sosial) merupakan bekal bagi pembaca pemula dalam belajar membaca; sementara butir b, d, dan e (latar belakang pengalaman, intelegensi, dan sikap dan minat) dipandang sebagai faktor yang mempengaruhi kemampuan membaca pada tingkat lanjut. Dari ketiga faktor yang disebut terakhir yang dipandang sebagai faktor yang mempengaruhi kecepatan baca pada tingkat lanjut, memang ada hal penting yang perlu dicatat.
Hasil penelitian Yap (1978), misalnya, menunjukkan bukti bahwa faktor intelegensi tidaklah terlalu berkontribusi terhadap kemampuan membaca seseorang. Faktor ini hanya berurun sekitar 25%; sementara yang paling besar urutannya terhadap kemampuan membaca adalah faktor intensitas membaca, yakni sebesar 65%. Faktor ini berkenaan dengan faktor sikap dan minat, yakni sikap, kebiasaan, minat, dan motivasi membaca termasuk di dalamnya latar belakang pengalaman membaca. Sisanya, sebesar 10% merupakan urutan dari faktor lain-lain.
Heilman (1972) dan Alexander (1983) menyodorkan pandangan yang sama mengenai faktor-faktor reading readness. Namun, Alexander tampaknya memberikan rincian yang lebih detil mengenai hal ini, mengingat language development dirincinya lagi pada kemapuan-kemampuan yang lebih spesipik. Kemampuan-kemampuan dimaksud meliputi pengembangan konsep kosakata, pemahaman makna kata, pemahaman konsep-konsep linguistik, keterampilan analisis kata, dan lain-lain.
Ommagio (1984) berpendapat bahwa pemahaman bacaan bergantung pada gabungan dari pengetahuan bahasa, gaya kognitif, dan pengalaman membaca. Dalam mencapai pemahaman bacaan, Ommagio tampaknya lebih menyoroti faktor pembacanya. Jika pembaca memiliki dan menguasai ketiga faktor di atas, maka proses pemahaman bacaan tidak akan mendapat hambatan yang berarti.
Pendapat senada juga dilontarkan oleh Harjasujana (1992). Menurutnya, sekurang-kurangnya terdapat lima hal pokok yang dapat mempengaruhi proses pemahaman sebuah wacana. Kelima faktor tersebut meliputi:
(a) (a) latar belakang pengalaman,
(b) kemampuan berbahasa,
(c) kemampuan berfikir,
(d) tujuan membaca, dan
(e) berbagai afeksi seperti motivasi, sikap, minat, keyakinan,
dan perasaan.

Harjasujana pun tampaknya lebih menyoroti aspek pembacanya ketimbang aspek lainnya dalam menyoroti masalah faktor-faktor pemengaruh KEM seseorang.

Williams (1984) mengomentari perihal faktor yang mempengaruhi pemahaman bacaan itu sebagai berikut. Ketidak tahuan akan bahasa dapat menghalangi pemahaman. Meskipun pengetahuan bahasa itu penting, namun bagaimana menumbuhkan keinginan membaca jauh lebih penting. Selanjutnya, beliau mengaitkan hal tersebut dengan keterbacaan wacana (readability). Menurutnya, materi bacaan yang disuguhkan dengan bahasa yang sulit menyebabkan bacaan itu sulit dipahami dan mengakibatkan frustasi bagi pembacanya. Keterbacaan menurutnya, tidak hanya bergantung kepada bahasa teks, melainkan juga bergantung pada pengetahuan pembaca tentang teks serta bagaimana ketekunan dan ketajaman membacanya.
Antara minat baca dan keterbacaan wacana terdapat hubungan timbal-balik. Ketiadaan minat baca menyebabkan keengganan membaca pada pembacanya. Salah satu faktor yang menyebabkan keengganan membaca ini adalah faktor keterbacaan wacana. Teks yang memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi relatif lebih mudah dibaca. Sebaliknya, teks yang memiliki tingkat keterbacaan yang rendah relatif lebih sulit dibaca.
Faktor tingkat keterbacaan yakni tingkat mudah-sukarnya bacaan bagi peringkat pembaca tertentu juga mempengaruhi kecepatan baca seseorang. Bahan bacaan yang tidak sesuai dengan peringkat pembacanya dianggap mempunyai tingkat keterbacaan yang rendah. Bahan bacaan yang demikian tentu saja tidak dapat dicerna dengan mudah dalam waktu yang relatif cepat. Pembaca membutuhkan waktu yang relatif lama untuk mencerna bahan bacaan seperti itu. Sebaliknya, bahan bacaan yang memiliki tingkat keterbacaan yang layak dengan pembacanya, atau bahkan cenderung di bawah kemampuan pembacanya, akan dilahapnya dalam waktu yang relatif cepat.
Faktor minat dan motivasi seseorang dalam membaca juga turut berpengaruh terhadap kecepatan bacanya. Minat dan motivasi yang tinggi, baik terhadap bahannya maupun terhadap kegiatan membacanya, akan berefek positif terhadap kecepatan baca seseorang.
Selain dipengaruhi faktor-faktor di atas, kecepatan membaca juga dipengaruhi oleh faktor kebiasaan. Yang dimaksud dengan faktor kebiasaan di sini adalah kebiasaan-kebiasaan buruk yang biasanya dilakukan pada saat membaca (membaca dalam hati/pemahaman).
Kebiasaan-kebiasaan buruk antara lain:
(a) (a) membaca dengan vokalisasi (suara nyaring);
(b) membaca dengan gerakan bibir;
(c) membaca dengan gerakan kepada;
(d) membaca dengan menujuk baris bacaan dengan jari, pena, atau alat lainnya;
(e) membaca dengan mengulang kata, atau baris bacaan (regresi);
(f) membaca dengan subvokalisasi (melafalkan bacaan dalam batin atau pikiran);
(g) membaca kata demi kata;
(h) membaca dengan konsentrasi yang tidak sempurna;
(i) membaca hanya jika perlu/ditugasi/dipaksa saja (insidental).

Faktor lain yang mempengaruhi kecepatan efektif membaca adalah penguasaan teknik-teknik membaca yang tepat sesuai dengan tujuan, bahan, dan jenis membacanya. Teknik-teknik membaca yang umum dikenal orang adalah:
a) Teknik baca-pilih atau selecting, yaitu membaca bahan bacaan atau bagian-bagian bacaan yang dianggapnya relevan atau mengandung informasi yang dibutuhkan pembaca. Dalam hal ini, sebelum melakukan kegiatan membaca tersebut, pembaca telah melakukan pemilihan/seleksi bahan terlebih dahulu.
b) Teknik baca-lompat atau skipping, yaitu membaca dengan loncatan-loncatan. Maksudnya, bagian-bagian bacaan yang dianggap tidak relevan dengan keperluannya atau bagian-bagian bacaan yang sudah dikenalnya/dipahaminya tidak dihiraukan. Bagian bacaan yang demikian dilompati untuk mencapai efektivitas dan efisiensi membaca.
c) Teknik baca-layap atau skimming atau dikenal dengan istilah membaca sekilas, yaitu membaca dengan cepat atau menjelajah untuk memperoleh gambaran umum isi buku atau bacaan lainnya secara menyeluruh. Selain itu, teknik ini juga dapat dipergunakan sebagai dasar memprediksi (menduga), apakah suatu bacaan atau bagian-bagian tertentu dari bacaannya itu berisi informasi tertentu. Seorang pembaca yang menggunakan teknik skimming hanya memetik ide-ide pokok bacaan atau hal-hal penting atau intisari suatu bacaan. Teknik ini dipergunakan untuk memenuhi tujuan-tujuan berikut:
1) Mengenali topik bacaan; misalnya mengenali kesan umum suatu buku untuk melihat relevansi isi bacaan dengan keperluan pembacanya atau memilih suatu artikel dari majalah/surat kabar untuk kliping.
2) Mengetahui pendapat orang (opini). Setelah pembaca mengetahui topik yang dibahas, dia juga ingin mengetahui pendapat penulisnya terhadap masalah tersebut. Suatu kesimpulan itu biasanya diletakkan pada bagian akhir bacaan.
3) Mengetahui bagian penting tanpa harus membaca seluruh bacaan. Pembaca hanya melihat seluruh bacaan itu untuk memilih ide-ide yang dianggapnya penting dan baik, tetapi tidak membacanya secara lengkap.
4) Mengetahui organisasi penulisan, urutan ide pokok, hubungan antar bagian guna mencari atau memilih bahan yang perlu dipelajari atau prlu diingat.
5) Menyegarkan apa yang pernah dibaca, misalnya dalam mempersiapkan ujian atau seramah.
d) Teknik baca-tatap atau scanning atau dikenal juga dengan istilah sepintas, yaitu suatu teknik pembacaan sekilas cepat tetapi teliti dengan maksud untuk memperoleh informasi khusus/tertentu dari bacaan. Pembaca yang menggunakan teknik ini akan langsung membaca bagian tertentu dari bacaannya yang berisi informasi/fakta yang diperlukannya tanpa menghiraukan bagian-bagian lain yang dianggapnya tidak relevan. Teknik scanning biasa digunakan untuk hal-hal berikut:
1) mencari nomor telepon;
2) mencari makna kata tertentu dalam kamus;
3) mencari keterangan tentang suatu istilah pada ensiklopedia;
4) mencari entri atau rujukan sesuatu hal pada indeks;
5) mencari definisi sebuah konsep menurut para pakar tertentu;
6) mencari data-data statistik;
7) mencari acara siaran TV, daftar perjalanan, dokter jaga, dan sebagainya.

Keempat teknik membaca di atas, pada umumnya jarang dipergunakan dalam bentuk tunggal atau berdiri sendiri, melainkan dipadukan dengan teknik-teknik lainnya. Bahkan sering terjadi keempat teknik ini dipergunakan sekaligus secara bergiliran dalam suatu kegiatan membaca. Yang penting bagi pembaca adalah bagaimana dia dapat memilih, menentukan, dan menggunakan teknik membaca yang tepat/cocok denan sifat informasi yang diperlukannya sehingga memenuhi tuntutan efektifitas dan efisiensi membaca.
Di samping teknik-teknik membaca di atas, kita juga perlu menguasi metode-metode membaca yang efektif dan efisien. Metode-metode tersebut misalnya membaca frase, metode SQ3R, metode PQ3R, metode PQRST, dan lain-lain. Pembicaraan tentang metode membaca dapat dilihat pada buku-buku lain.
Dari sekian banyak pendapat mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan membaca, pendapat Pearson dipandang sebagai cermin dari kesimpulan pendapat-pendapat di atas. Menurut beliau, faktor-faktor yang mempengaruhi pemahaman bacaan dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yakni faktor dalam (internal) dan faktor luar (eksternal). Faktor-faktor dalam meliputi kompetensi bahasa, minat, motivasi, dan kamampuan membaca. Faktor-faktor yang termasuk faktor dalam tersebut bersumber pada diri pembaca. Faktor luar dibaginya lagi menjadi dua kategori, yakni (a) unsur dalam bacaan, dan (b) sifat-sifat lingkungan baca. Unsur dalam bacaan berkaitan dengan keterbacaan dan faktor organisasi teks. Sifat lingkungan baca berkenaan dengan fasilitas, guru, model pengajaran, dan lain-lain (Pearson, 1978; Hafni, 1981).

Jika pengklasifikasian faktor-faktor pemengaruh kecepatan baca tersebut kita buat skematiknya, maka akan tampak skema seperti berikut ini.
Factor dalam - kompetensi bahasa
(internal) - minat dan motivasi
- sikap dan kebiasaan
Factor-faktor pemengaruh kecepatan baca - intelegensi/kemampuan
- unsure dalam bacaan
Keterbacaan wacana
Organisasi teks/tulisan
Factor luar
(eksternal) - sifat lingkungan baca
Fasilitas
Guru
Model PBM dll.
Check it out !!!

Pengertian & Sejarah Keterbacaan


Keterbacaan merupakan alih bahasa dari readability. Bentuk realidability merupakan kata turunan yang dibentuk oleh bentuk dasar readable, artinya “dapat dibaca” atau “terbaca”. Konfiks ke-an pada bentuk keterbacaan mengandung arti “hal yang berkenaan dengan apa yang disebut dalam bentuk dasarnya”. Oleh karena itu, kita dapat mendefinisikan “keterbacaan” sebagai hal atau ihwal terbaca-tidaknya suatu bahan bacaan tertentu oleh pembacanya. Jadi, keterbacaan ini mempersoalkan tingkat kesulitan atau tingkat kemudahan suatu bahan bacaan tertentu bagi peringkat pembaca tertentu
Keterbacaan merupakan ukuran tentang sesuai-tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran/kemudahan wacananya. Untuk memperkirakan tingkat keterbacaan bahan bacaan banyak dipergunakan orang berbagai formula keterbacaan. Perkiraan-perkiraan tentang tingkat kemampuan membaca berguna terutama bagi para guru yang mempunyai perhatian terhadap metode pemberian tugas membaca atau bagi pemilihan buku-buku dan bahan bacaan lainnya yang layak dibaca.
Tingkat keterbacaan biasanya dinyatakan dalam bentuk peringkat kelas. Oleh karena itu, setelah melakukan pengukuran keterbacaan sebuah wacana, orang dapat mengetahui kecocokan materi bacaan tersebut untuk peringkat kelas tertentu, misalnya peringkat enam, peringkat empat, peringkat sepuluh, dan sebagainya
Faktor-faktor yang mempengaruhi keterbacaan masih selalu menjadi objek penelitian para ahli. Perhatian terhadap masalah tersebut, dimulai sejak berabad-abad yang lalu. Klare (1963) menjelaskan bahwa Lorge (1949) pernah bercerita tentang upaya Talmudists pada tahun 900 berkenaan dengan keterbacaan wacana. Dia menentukan tingkat kesulitan wacana berdasarkan kriteria kekerapan kata-kata yang digunakan.
Meskipun kajian tentang keterbacaan itu sudah berlangsung berabad-abad, namun kemajuannya baru tampak setelah statistik mulai ramai digunakan. Teknik statistik itu memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi faktor-faktor keterbacaan yang penting-penting untuk menyusun formula yang dapat dipergunakan untuk memperkirakan tingkat kesulitan wacana. Menurut Klare (1963) kajian-kajian terdahulu menunjukkan adanya keterkaitan dengan keterbacaan. Gray dan Leary mengidentifikasi adanya 289 faktor yang mempengaruhi keterbacaan, 20 faktor di antaranya dinyatakan signifikan.
Dewasa ini sudah ada beberapa formula keterbacaan yang lazim digunakan untuk memperkirakan tingkat kesulitan sebuah wacana. Formula-formula keterbacaan yang terdahulu, memang bersifat kompleks dan menuntut pemakainya untuk memiliki kecermatan mengitung berbagai variabel. Penelitian yang terakhir membuktikan bahwa ada dua faktor yang berpengaruh terhadap keterbacaan, yakni: (a) panjang-pendeknya kalimat dan (b) tingkat kesulitan kata. Pada umumnya, semakin panjang kalimat dan semakin panjang kata-kata, maka bahan bacaan dimaksud semakin sukar. Sebaliknya, jika kalimat dan katanya pendek-pendek, maka wacana dimaksud tergolong wacana yang mudah.
Formula-formula keterbacaan yang dewasa ini sering digunakan untuk mengkukur keterbacaan wacana, tampaknya berkecenderungan kepada dua tolok ukur tadi. Panjang pendek kalimat dan kesulitan kata merupakan dua faktor yang utama yang melandasi alat-alat pengkukur keterbacaan yang mereka ciptakan. Formula-formula keterbacaan yang mengacu pada kedua faktor-faktor tersebut, misalnya formula keterbacaan yang dibuat Spache, Dale dan Chall, Gunning, Fry, Raygor, Flesh, dan lain-lain.
Check it out !!!

Cara Mengukur Grafik Fry

Setiap kali terdengar kabar akan diberlakukannya suatu kurikulum baru, banyak pihak yang buru-buru mengambil ancang-ancang. Namun tidak sedikit pula yang tercengang-cengang, atau malahan berang. Yang segera mengambil ancang-ancang tiada lain tentu adalah pihak yang sangat tergantung, bertumpu, atau boleh juga dikatakan memanfaatkan, keberadaan suatu kurikulum. Pihak ini, siapa lagi, kalau bukan penerbit buku pelajaran dan tentu juga adalah pihak sekolah yang terimbas langsung. Sedangkan yang seringkali menjadi tercengang-cengang biasanya adalah masyarakat biasa, sementara yang berang adalah orang tua dari siswa yang mau tidak mau harus menyisihkan atau menyiapkan lagi sejumlah dana bagi keperluan belanja buku-buku pelajaran yang dianggap perlu dimilikinya.
Jumlah kalimat: 5
Jumlah suku kata:270
Hasil kali jumlah suku kata: 270 x 0,6 = 160
Grafik Fry umur: 11 Tahun
Grafik Fry Kelas : 6 SD
Check it out !!!

Sabtu, 02 Oktober 2010

Danarto

Danarto. Bukan dari kultur pesantren atau keluarga yang islami ia dibesarkan. Ia mengaku termasuk orang-orang Islam abangan dalam sebuah wawancara di JIL (Jaringan Islam Liberal). Sampai usia 26 tahun ia tak mengenal apa yang namanya ritual shalat, apalagi mengaji kitab suci Islam, al-Qur’an. Perubahan itu datang ketika ia mulai berumur 27 tahun. Di sebuah hamparan sawah di Garut, ia mulai terilhami. Padi-padi yang bersemi dan air yang mengalir, menumbuhkan kesadaran baru pada dirinya. “Andai bibit padi ini diguyur air satu tong, dia tentu bisa hanyut dan mati. Makanya harus disiram secara perlahan-gemericik.” Ungkapnya. Pancaran keagungan Tuhan yang Maha Penyayang, mulai meresapi dirinya. Sejak saat itu, orang yang sering berkemeja putih dalam kesehariannya ini, mulai melaksanakan rukun Islam kedua, shalat.

Danarto adalah anak seorang mandor pabrik tebu di Sragen. Jakio Harjodinomo dan Siti Aminah, demikian nama ayah dan bundanya. Tanggal 27 Juni 1941 ia dilahirkan. Dengan pekerjaan sebagai mandor dibantu Aminah yang berjualan batik, ayah Danarto tidak mengalami kesulitan dalam memberikan bekal pendidikan bagi anaknya. Pendidikan dari SD, sampai perguruan tinggi dapat dinikmati Danarto dengan baik. Tahun 1958—1961 Danarto hijrah ke Yogyakarta untuk melanjutkan studinya di ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) dan mengambil seni lukis sebagai bidangnya.

Selain seni lukis, Danarto memang dianugerahi bakat dalam bidang seni sastra. Pada tahun 1959—1964 ia bergabung dengan Sanggar Bambu Yogyakarta untuk dapat menumpahkan hasrat dramawannya. Dia sering ambil bagian dalam pagelaran drama yang diadakan Rendra dan Arifin C. Noor, meski sekedar menangani rias dekorasi.

Tahun 1969, Danarto mengadu nasib ke Jakarta. Dan terdampar di TIM (Taman Ismail Marzuki), dengan terlebih dahulu menjadi tukan poster sebelum akhirnya menjadi pengajar di IKJ (Institut Kesenian Jakarta) pada tahun 1973. Pada tahun-tahun inilah karya monumentalnya tercipta, kumpulan cerpen-cerpennya diterbitkan pada tahun 1974 dengan judul Godlob. Godlob sendiri adalah judul cerpen Danarto yang pernah dimuat majalah Horison pada tahun 1968. Dari nama cerpen inilah kumpulan cerpen yang diterbitkan oleh Rombongan “Dongeng dari Dirah” diberi judul Godlob.

Adam Makrifat adalah antologi cerpen Danarto berikutnya. Meraih penghargaan antologi cerpen terbaik dari Yayasan Buku Utama, tahun 1982. Beberapa bulan sebelumnya, cerpen Adam Makrifat sendiri memperoleh penghargaan sebagai cerpen terbaik dari Dewan Kesenian Jakarta.

Berhala juga menyusul sebagai antologi cerpen terbaik pada tahun 1987, juga oleh Yayasan buku Utama. Selanjutnya, di tahun-tahun berikut, Danarto menelurkan Gergasi (1996), Asmaraloka (1999, sebuah novel), dan Setangkai Melati di Sayap Jibril (2000). Karya terbarunya adalah antologi cerpen dengan judul “Kacapiring” yang terbit pertengahan 2008.

Hampir setiap karya yang diciptakan Danarto adalah karya-karya yang bernuansa mistis, dengan gaya surealis bebasnya. Baru-baru ini dalam panggung sastrawan Indonesia Danarto lebih dikenal sebagai Sastrawan Realis Magis, meski agaknya kurang tepat jika membaca karya-karya Danarto awal, semisal Adam Makrifat, dengan keliaran imajinasinya. Penyematan sebagai seorang realis magis diberikan Akmal Nassery dari Tempo, berdasarkan antologi cerpen terbarunya, Kacapiring. Baik sebagai seorang surealis atau realis, Danarto masih tetap berjalan pada lintasan spiritualitas, menjadi salah satu pelopor sastra religius bersama orang-orang seperti Abdul hadi W.M.

“Saya mengalami pangalaman spiritualitas yang luar biasa pada tahun 1968. Saya bangun pagi di rumah orang kaya di Dago, Bandung. Lantas saya dapatkan Tuhan ada di mana-mana. Supir yang Tuhan, kucing yang Tuhan, ayam yang Tuhan, dan lain-lain.” (Wawancara dengan JIL). Corak pengalaman spiritual khas wahdatul wujud, di mana Danarto merasa nyaman dengannya. Hanya satu realitas, Tuhan semata.

Dalam hal ini, Danarto termasuk orang-orang yang begitu beruntung. Pengalaman spiritual sampai sejauh ini pada umumnya adalah satu hal yang diupayakan dengan usaha yang keras. Bahkan dalam beberapa kasus, membutuhkan semacam ritual-ritual yang begitu berat dilaksanakan, shalat malam, tapa brata, dan puasa misal. Danarto hampir-hampir tidak melalui itu.

Setahun sebelumnya, setelah mendapatkan penyingkapan di Dago, Danarto mengalami pengalaman spiritual yang tak kalah dahsyat. Dia mendengar seluruh alam bertakbir mengiringi takbirnya. Ketika untuk pertama kali dia mengenal dan mengamalkan shalat.

Pengalaman-pengalaman inilah yang setidaknya membekas dalam karya-karyanya. Terutama dalam antologi keduanya, Adam Makrifat.

Ada beberapa alasan mengapa antologi Adam Ma’rifat di pilih penulis untuk mewakili kespiritualan karya-karya Danarto. Pertama, di antara beberapa karya Danarto Adam Ma’rifat lah yang keseluruhan cerpen di dalamnya mengandung tampakan spiritualitas (‘Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat’, ‘Adam Ma’rifat’, ‘Megatruh’, ‘Lahirnya Sebuah Kota suci’, Ngung Ngung Cak Cak dan ‘Bedoyo Robot Membelot’).

Kedua, mungkin kumpulan cerpennya yang lain juga tak kalah dalam hal substansi spiritualitasnya, sebut saja misalnya, Gergasi dan Setangkai Melati di Sayap Jibril, atau bahkan Godlob. Sayangnya untuk antologi cerpen Godlob dan dua lainnya penulis belum sempat membaca karya ini secara keseluruhan, karena kurangnya sumber bacaan. Dan hal inilah yang menjadi salah satu alasan penulis lebih memilih Adam Ma’rifat.

Sekilas disebut di atas, Adam Ma’rifat merupakan kumpulan cerpen Danarto yang kedua setelah Godlob. Terdiri dari enam buah cerpen, yang hampir semuanya terlihat sebagai hasil imajinasi yang begitu liar.
Dalam ‘Mereka toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat’, menjadi cerpen pembuka dalam antologi ini, kita akan menemukan Jibril yang begitu usil mengurusi kehidupan manusia. “Akulah Jibril, yang pada suatu hari melihat sebuah sekolah dasar yang anak-anaknya sedang mampat pikirannya, maka kutukikkan layang-layang……tepat di tengah atap itu: breg-brag-kada-brag beberapa genting aku perintahkan jatuh,…..”

Adam Ma’rifat lebih nampak sebagai sebuah karya sufistik. Kesadaran tentang aku yang sering dilambangkan dengan cahaya. “Akulah cahaya yang meruntun-runtun dengan kecepatan 300.000 kilometer per jam,………..lalu kau bertanya siapakah dirimu itu? Dirimu adalah penyelidikanmu sedang diriku adalah rahasiaku:….”

Megatruh mungkin dapat dikatakan cerpen yang paling nyeleneh di antara cerpen lainnya dalam Adam Ma’rifat. Tokoh aku senam pagi, bercengkerama bersama kadal dan batang pisang. Kemudian mengalami pengalaman spiritual bersama setelah pertemuan tiga sahabat ini dengan zat asam. Jika dalam cerpen Adam Ma’rifat penekannya pada manifestasi Allah, bahwa semua adalah pengejawantahan-Nya, dalam Megatruh penekanan ada pada pengalaman seorang salik pada suluk.

Bagian paling sulit dalam kumpulan Adam Ma’rifat ada pada cerpen selanjutnya, bagian keempat. Dengan judul seperti not tangga lagu, disertai bunyi ngung dan cak. Setting ceritanya sendiri nampak sebagai pementasan tari Kecak. Dengan melihat struktur bahasa yang dipakai, agaknya Danarto hendak bilang bahwa dengan kata-kata apapun seseorang dapat merasakan aura spiritualitas. Pengulangan kata “ngung”, “cak”, “klui”, atau apapun itu bisa saja menghidupkan nuansa spiritualitas dalam diri seseorang. Tak harus melulu nama-nama Allah yang biasa digunakan, karena setiap kata yang dikenali manusia pada dasarnya mewakili nama-nama-Nya.

“Lahirnya Sebuah Kota Suci” bicara tentang waktu dan pengalaman spiritualitas. Rumah si tukang reparasi jam yang tiba-tiba menjadi begitu terkenal dan sakral, setiap orang yang datang ke sana akan dapat mengalami pengalaman yang dahsyat, suatu yang asing. Keterasingan pada sesuatu yang melampaui waktu, dialami dan sedang melanda umat manusia. Kesadaran akan apa yang seharusnya disadari telah menjadi asing, sekaligus dirindukan.

Kalau mau dibaca dari awal, cerpen satu hingga lima, pertama Danarto menunjukkan sebab musabab manusia lupa pada fitrahnya, kesadaran pada Allah, yang dikarenakan lingkungan dan proses pewarisan pemahaman yang tidak membebaskan. Kedua, Danarto pada Adam Ma’rifat mencoba mengenalkan kembali sosok Allah. Ketiga, pada cerpen-cerpen berikut hingga “Lahirnya Kota Suci” aspek pengalaman dengan segala atributnya diperkenalkan kembali oleh Danarto. Dan terakhir dalam, “Bedoyo Robot Membelot” akan ditemui kondisi ketidaksadaran, kefanaan 17 penari dan R.A. Soelistyami Proboningrat. Meski nampak juga samar-samar Danarto ingin menyampaikan bahwa shalat dan yang membawanya bukan lagi menjadi suatu yang diperhatikan umat Islam, dilupakan.

Berhala juga menyusul sebagai antologi cerpen terbaik pada tahun 1987, juga oleh Yayasan buku Utama. Selanjutnya, di tahun-tahun berikut, Danarto menelurkan Gergasi (1996), Asmaraloka (1999, sebuah novel), dan Setangkai Melati di Sayap Jibril (2000). Karya terbarunya adalah antologi cerpen dengan judul “Kacapiring” yang terbit pertengahan 2008.

Baru-baru ini dalam panggung sastrawan Indonesia, Danarto lebih dikenal sebagai Sastrawan Realis Magis, meski agaknya kurang tepat menyebut tokoh satu ini demikian jika membaca karya-karya awalnya, semisal Adam Makrifat, dengan keliaran imajinasinya. Penyematan sebutan sastrawan realis magis pada Danarto diberikan Akmal Nassery dari Tempo, berdasarkan antologi cerpen Kacapiring.

Dalam beberapa hal, dengan melihat karya-karya yang dihasilkan, memang Danarto lebih tepat disebut sebagai seorang realis. Namun, dalam hal lainnya, menyebut dia demikian menjadi nampak begitu dilematis, mengingat karya-karyanya seperti yang disebut Umar Kayam (pengantar Antologi Berhala, 1987) lebih sering melampaui batas-batas realis, absurd, bahkan layak disebut surealis. Sebut saja cerpen Megatruh dalam Adam Ma’rifat yang begitu nyeleneh. Membawa pembaca pada acara senam pagi tokoh aku, bersahabat dengan kadal dan pohon pisang. Pada batas aktivitas senam tokoh aku, cerpen ini nampak realis, namun ketika tokoh kadal dan pohon pisang muncul karakteristik surealisnya pun terlihat, apalagi setelah tokoh zat asam hadir.

Dengan begitu mudahnya Danarto keluar masuk dunia real dan absurd. Hampir-hampir Danarto tidak pernah melepaskan karakter ini dalam setiap cerpennya. Sesekali memulai cerpennya dengan realitas yang tidak jauh dari kehidupan sehari-hari, sesaat kemudian pembaca bisa saja dibawa pada dunia antah brantah yang mungkin sulit dikenali. Dari sinilah Umar Kayam (dalam pengantar Berhala, 1987) tidak mengkategorikan Danarto sebagai satrawan realis maupun surealis, namun di antaranya.

Pengalaman-pengalaman spiritual yang pernah dialaminya, mungkin menjadi sebuah pijakan tersendiri untuk menyebutnya sebagai seorang surealis. Seperti yang disebutkan pada wawancaranya dengan JIL. “Saya mengalami pangalaman spiritualitas yang luar biasa pada tahun 1968. Saya bangun pagi di rumah orang kaya di Dago, Bandung. Lantas saya dapatkan Tuhan ada di mana-mana. Supir yang Tuhan, kucing yang Tuhan, ayam yang Tuhan, dan lain-lain.” Ungkapnya. Pengalaman-pengalaman sejenis ini, terurai dalam cerpen-cerpennya, yang lebih sering tercampur dengan persoalan-persoalan sosial membuat pembaca terasa memasuki dunia lain sekaligus begitu dikenal, seorang realis sekaligus surealis.

Pengalaman-pengalaman mistis yang pernah dikenalkan Ibn Arabi, atau Hamzah Fansuri, begitu lekat dengan karya-karyanya, menyajikan pandangan satu warna pada dunia tentang kesatuan segala sesuatu, ditambah kultur Jawa, menjadikan karya-karya Danarto nampak begitu lain dari yang lain, meski tidak semua.

Baik sebagai seorang surealis atau realis, atau bahkan sastrawan di antara kedua sebutan itu, Danarto berjalan pada lintasan spiritualitas, menjadi salah satu pelopor sastra religius atau magis Indonesia bersama orang-orang seperti Abdul hadi W.M..
Check it out !!!