Selasa, 30 November 2010

Pengertian Kritik Sastra

   
           Istilah ”kritik” (sastra) berasal dari bahasa Yunani yaitu krites yang berarti ”hakim”. Krites sendiri berasal dari krinein ”menghakimi”; kriterion yang berarti ”dasar penghakiman” dan kritikos berarti ”hakim kasustraan”.
            Kritik sastra dapat diartikan sebagai salah satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra sebagai karya seni.
      Abrams dalam Pengkajian sastra (2005: 57) mendeskripsikan bahwa kritik sastra merupakan cabang ilmu yang berurusan dengan perumusan, klasifikasi, penerangan, dan penilaian karya sastra.
            Pengertian kritik sastra di atas tidaklah mutlak ketetapannya, karena sampai saat ini, belum ada kesepakatan secara universal tentang pengertian sastra. Namun, pada dasarnya kritik sastra merupakan kegiatan atau perbuatan mencari serta menentukan nilai hakiki karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran sistematik yang dinyatakan kritikus dalam bentuk tertulis.
      Membaca secara mendalam keberagaman pengertian sastra yang tersuguh dari beberapa sumber yang diberikan sebagai tugas pemenuhan mata kuliah Naqd Adabi, terdapat sebuah gambaran dalam benak penulis, muncul sebuah matrikulasi wilayah sastra, yang sangat mudah untuk dihafalkan, dipahami dan dimengerti, sebagaimana  berikut:
Ilmu Sastra

Teori Sastra                 Sejarah Sastra              Kritik sasra

1.      Teori sastra merupakan bidang studi sastra yang membicarakan:
a.       pengertian-pengertian dasar tentang sastra,
b.      hakekat sastra,
c.       prinsip-prinsip sastra,
d.      latar belakang, jenis-jenis sastra, dan
e.       susunan dalam karya sastra dan prinsip-prinsip tentang penilaian sastra.
2.      Sejarah Sastra merupakan bidang studi sastra yang membicarakan;
a.       membicarakan tentang perkembangan sastra,
b.      ciri-ciri dari masing-masing tahap perkembangan karya sastra tersbut,
c.       situasi sosial masyarakat dan idologi yang semuanya,
3.      Kritik sastra yang dalam eksistnsinya sendiri turut serta membicarakan;
a.       analisis,
b.      interpretasi, dan
c.       menilai karya sastra.
­            Ketiganya memiliki hubungan yang erat dan saling mengait. Sebagaimana teori sastra yang sudah pasti membutuhkan kerja sama dengan sejarah sastra. Sejarah satra yang tidak bisa dipisahkan dari teori dan kritik sastra, begitu juga dengan kritik sastra yang membutuhkan adanya teori dan sejaarah sastra.
            Apabila diperhatikan hal di atas, maka akan diperoleh sebuah kesimpulan bahwa sebuah karya sastra tidak akan mampu dipahami, dihayati, ditafsirkan dan dinilai secara sempurna tanpa adanya itervensi dari ketiga bidang ilmu sastra tersebut. Sebuah teori sastra tidak akan pernah sempurna jika tidak dibantu oleh sejarah dan kritik sastra; begitu juga dengan sejarah sastra yang tidak dapat dipaparkan, jika teori dan kritik sastra tidak jelas; dan kritik sastra tidak akan mencapai sasaran, apabila teori dan sejarah sastra tidak dijadikan tumpuan.
            Analisis merupakan hal yang sangat penting dalam kritik sastra. Sebagaimana Jassin dalam Pengkajian Sastra menjelaskan bahwa kritik sastra ialah baik buruknya suatu hasil kasustraan dengan memberi alasan-alasan mengenai isi dan bentuknya.
            Dengan demikian, kritik sastra adalah kegiatan penilaian yang ditunjukkan pada karya sastra atau teks. Namun, melihat kenyataan bahwa setiap karya sastra adalah hasil karya yang diciptakan pengarang, maka kritik sastra mencakup masalah hubungan sastra dengan kemanusiaan. Namun, sasaran utama kritik sastra adalah karya sastra atau teks tersebut dan makna bagi krtikus tersebut, bukan pada pengarangnya. Seorang kritikus sastra mengungkapkan pesan dalam satu bentuk verbal dengan bentuk verbal yang lain, mencoba menemukan pengalaman estetis persepsi tentang realitas yang hendak disampaikan oleh pengarang. Pengamatannya terhadap cara penggunaan bahasa, terhadap kode-kode bahasa yang digunakan.
            Dalam hal ini, tampak adanya hubungan antara liguistik dengan kritik sastra. Dimana bagi seorang linguistik, kode itu sendiri dan cara kode dibangun didalam teks yang menjadi perhatian utamanya. Baginya makna itu penting jika dapat menjelaskan bagaimana kode-kode itu dibentuk.
            Panuti Sudjiman mendeskripsikan bahwa stilistika yang merupakan bagian dari linguistik, memusatkan perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa, terutama bahasa dalam kesusastraan,  memiliki peran penting karena stilistika dianggap menjembatani kritik sastra di satu pihak dan linguistik dipihak lain.  Hubungan tersebut tercipta karena:
1.      Stilistika mengkaji atau melakukan kritik terhadap karya sastra (di pihak lain).
2.      Stilistika mengkaji wacana sastra dengan oreintasi linguistik.
3.      Stilistika mengkaji cara sastrawan dalam menggunakan unsur dan kaidah bahasa serta efek yang ditimbulkan oleh penggunaannya itu.
4.      Stilistika meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra, ciri yang membedakannya dengan wacana nonsastra, dan
5.      Stilistika meneliti deviasi dan distorsi terhadap pemakaian bahasa yang normal (dengan metode kontras) dan berusaha menemukan tujuan estetisnya sebagai sarana literer. Dengan kata lain, stilistika meneliti fungsi puitik bahasa.
            Ia menambahkan bahwa hubugan kritik sastra dengan analisis stilistika bukan berarti berperpretensi menggantikan kritik sastra. Justru sebaliknya, kritik sastra tidak berpretensi menggantikan kritik sastra serta membuka jalan untuk kritik sastra yang efektif. Pengkajian stilistik tidak bermaksud mematikan intuisi karya sastra. Analisis stilistik justru berusaha menggantikan subjektivitas dan inpresionisme yang digunakan oleh kritikus sastra sebagai pedoman dalam mengkaji karya sastra dengan suatu pengkajian yang relatif lebih obyektif dan ilmiah.
            Jelaslah, bawa stilistika berupaya menujukkan bagaimana unsur-unsur suatu teks berkombinasi membentuk suatu pesan dan menemukan ciri yang benar-benar memberikan efek tertentu kepada pembaca (pendengar), tidak sekedar menghitung frekuensi penggunaan sarana-sarana stilistik dalam suatu karya sastra
B.  Aktivitas Kritik Sastra
            Dari pengertian kritik sastra di atas, terkandung secara jelas aktivitas kritik sastra. Secara rinci. Aktivitas kritik sastra mencakup 3 (tiga) hal, yaitu menganalisis, menafsirkan, dan menilai.
            Analisis adalah menguraikan unsur-unsur yang membangun karya sastra dan menarik hubungan antar unsur-unsur tersebut. Sementara menafsirkan (interpretasi) dapat diartikan sebagai memperjelas/memperjernih maksud karya sastra dengan cara: (a) memusatkan interpretasi kepada ambiguitas, kias, atau kegelapan dalam karya sastra, (b). memperjelas makna karya sastra dengan jalan menjelaskan unsur-unsur dan jenis karya sastra. Seorang kritikus yang baik tidak lantas terpukau terhadap apa yang sedang dinikati atau dihayatinya, tetapi dengan kemampuan rasionalnya seorang kritikus harus mampu membuat penafsiran-penfsiran sehingga karya sastra itu datang secara utuh.
            Jan Van Luxmburk dkk. dalam Pengkajian Sastra (2005: 58-59) membedakan enam jenis pokok penafsiran sebagaimana berikut:
1.      penafsiran yang bertitik tolak dari pendapat bahwa teks sudah jelas.
2.      penafsiran yang berusaha  untuk meyusun kembali arti historik.
3.      penafsiran heurmenetik, yaitu keahlian mnginterpretasi karya sastra yang berusaha memperpadukan masa lalu dan masa kini.
4.      tafsiran-tafsiran dengan sadar disusun dengan bertitik tolak pada pandangannya  sendiri mengenai sastra
5.      tafsiran-tafsiran yang bertitik pangkal pada sutu problematik  tertentu, misalnya permasalahan psikologi atau sosiologi
6.      tafsiran yang tidak langsung berusaha agar secara memadai sbuah teks diartikan. Pendekatan yang berkiblat pada pembaca disebut estetika-represif. Jika teks yang brsangkutan tidak untuk atau mempunyai versi yang berbeda, trlebih dahulu hrus dilakukan penafsiran filologis.
            Adapun aktivitas yang ketiga yaitu penilaian. Penilaian dapat diartikan menunjukkan nilai karya sastra dengan bertitik tolak dari analisis dan penafsiran yang telah dilakukan. Dalam hal ini, penilaian seorang kritikus sangat bergantung pada aliran-aliran, jenis-jenis, dan dasar-dasar kritik sastra yang dianut/dipakai/dipahami seorang kritikus.
C.  Fungsi Kritik Sastra
            Dalam mengkritik karya sastra, seorang kitikus tidaklah bertindak semaunya. Ia harus melalui proses penghayatan keindahan sebagaimana pengarang dalam melahirkan karya sastra. Karena kritik sastra sebagai kegiatan ilmiah yang mengikat kita pada asas-asas keilmuan yang ditandai oleh adanya kerangka, teori, wawasan, konsep, metode analisis dan objek empiris.[8]
            Setidaknya, ada beberapa manfaat kritik sastra yang perlu untuk kita ketahui, sebagaimana berikut;
  • Kritik sastra berfungsi bagi perkembangan sastra
Dalam mengkritik, seeorang kritikus akan menunjukkan hal-hal yang bernilai atau tidak bernilai dari suatu karya sastra. Kritikus bisa jadi akan menunjukkan hal-hal yang baru dalam karya sastra, hal-hal apa saja yang belum digarap oleh sastrawan. Dengan demikian, sastrawan dapat belajar dari kritik sastra untuk lebih meningkatkan kecakapannya dan memperluas cakrawala kreativitas, corak, dan kualitas karya sastranya. Jika sastrawan-sastrawan mampu menghasilkan karya-karya yang baru, kreatif, dan berbobot, maka perkembangan sastra negara tersebut juga akan meningkat pesat, baik secara kualitas maupun kuantitas. Dengan kata lain, kritik yang dilakukan kritikus akan meningkatkan kualitas dan kreativitas sastrawan, dan pada akhirnya akan meningkatkan perkembangan sastra itu sendiri.
  • Kritik sastra berfungsi untuk penerangan bagi penikmat sastra
Dalam melakukan kritik, kritikus akan memberikan ulasan, komentar, menafsirkan kerumitan-kerumitan, kegelapan-kegelapan makna dalam karya sastra yang dikritik. Dengan demikian, pembaca awam akan mudah memahami karya sastra yang dikritik oleh kritikus.
­Di sisi lain, ketika masyarakat sudah terbiasa dengan apresiasi sastra, maka daya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra akan semakin baik. Masyarakat dapat memilih karya sastra yang bermutu tinggi (karya sastra yang berisi nilai-nilai kehidupan, memperhalus moral, mempertajam pikiran, kemanusiaan, kebenaran dll).
  • Kritik sastra berfungsi bagi ilmu sastra itu sendiri
Analisis yang dulakukan kritikus dalam mengkritik harus didasarkan pada referensi-referensi dan teori-teori yang akurat. Tidak jarang pula, perkembangan teori sastra lebih lambat dibandingkan dengan kemajuan proses kreatif pengarang. Untuk itu, dalam melakukan kritik, kritikus seringkali harus meramu teori-teori baru. Teori-teori sastra baru yang seperti inilah yang justru akan mengembangkan ilmu sastra itu sendiri, dimana seorang pengarang akan dapat belajar melalui kritik sastra dalam memperluas pandangannya, sehingga akan berdampak pada meningkatnya  kualitas karya sastra.
            Fungsi kritik sastra di atas akan menjadi kenyataan karena adanya tanggung jawab antara kritikus dan sastrawan serta tanggungjawab mereka dalam memanfaatkan kritik sastra tersebut.
            Dengan demikian, tidak perlu diragukan bahwa adanya kritik yang kuat serta jujur di medan sastra akan membawa pada meningkatnya kualitas karya sastra. Karena sastrawan akan memiliki perhitungan sebelum akhirnya dipublikasikannya karya sastra tersebut. Oleh sebab itu, ketiadaaan kritik pada medan sastra akan membawa pada munculnya karya-karya sastra yang picisan.
            Raminah Baribin menambahkan, bahwasanya tidak semua kritik sastra dapat menjelaskan fungsinya, oleh sebab itu kritik sastra harus memiliki tanggung jawab atas tugasnya serta mampu membuktikan bahwa dengan adanya kritik yang dilakukan oleh kritikus mampu memberikan sumbangan yang berharga terhadap pembinaan dan pengembangan sastra. Karnanya kritik sastra berfungsi apabila;
1)      disusun atas dasar untuk meningkatkan dan membangun sastra,
2)      melakukan kritik secara objektif, menggunakan pendekatan dan metode yang jelas, agar dapat dipertangungjawabkan
3)      mampu memperbaiki cara berpikir, cara hidup, dan cara bekerja sastrawan,
4)      dapat menyesuikan diri dengan ruang lingkup kebudayaan dan tata nilai yang berlaku, dan
5)      dapat membimbing pembaca untuk berpikir kritis dan dapat meningkatkan apresiasi sastra masyarakat.
D.  Esai Sastra
            Esai adalah karangan pendek mengenai suatu masalah yang kebetulan menarik perhatian untuk diselidiki dan dibahas. Pengarang mengemukakan pendiriannya, pikirannya, cita-citanya, atau sikapnya terhadap suatu persoalan yang disajikan. Dengan kata lain, esai sastra adalah karang pendek yang merupakan laporan hasil eksplorasi penulis tentang karya atau beberapa karya sastara yang sifatnya lebih banyak menekankan sensasi dan kekaguman penelaah tentang hasil hasil bacaannya atau hasil belajarnya.
           
            Arief Budiman dalam Kritik dan Penilaian (1993: 10) menarik pengertian esai sebagai karangan yang sedang panjangnya, yang membahas persoalan secara mudah dan sepintas lalu dalam bentuk prosa.
            Esai sastra sebagai bagian dari kritik sastra yang mempunyai ciri dan karakteristik sendiri. Hal ini dimaksudkan agar kita dapat membedakan yang mana kritik dan yang mana esai sastra ketika disuatu waktu kita membutuhkan referensi untuk kepentingan penelitian ataupun penambah wawasan dalam mengasah karya esai kita. dalam hal ini esai sastra hanya bersifat mengemukakan masalah atau persoalan kepada khalayak ramai, dan bagaimana penelesaian tersebut terarah kepada pembaca. Sedangkan kritik sastra adalah penilaian terhadap suatu karya sastra melalui proses dengan menggunakan kriteria tertentu.
            Kiranya seperti itu, sedikit uraian yang mampu penulis sajikan. Namun jauh dari itu smua penulis masih menyadari, akan adanya kesalahan. Oleh karena itu, segala konstruktif untuk kesempurnaan ini, akan senantiasa penulis sambut dan selalu penulis harapkan.
Check it out !!!

Sabtu, 27 November 2010

Bekisar Merah

Check it out !!!

Laskar Pelangi

Check it out !!!

Ronggeng Dukuh Paruk

 
Check it out !!!

Pandangan Positivis Tentang Ronggeng Dukuh Paruk

Check it out !!!

Rabu, 17 November 2010

Makalah Morphologi Oleh Rezqi Soewarno

A. Proses Morfologis, Apa Itu ?
Proses morfologis ialah cara pembentukan kata-kata dengan menghubungkan morfem yang satu dengan yang lain (Samsuri, 1982:190). Atau, proses yang dialami bentuk-bentuk lingual dalam menyusun kata-kata (Ahmadslamet, 1982:58). Lebih jelas, proses morfologis ialah proses pembentukan kata-kata dari satuan lain yang merupakan bentuk dasarnya (Ramlan, 1983:44).
B. Macam-macam Proses Morfologis
Samsuri (1982:190) menuliskan bahwa proses morfologis itu ada lima macam, yakni: (1) afiksasi, (2) reduplikasi, (3) perubahan intern, (4) suplisi, dan (5) modifikasi kosong. Sedangkan Verhaar (1984:64) dan Ramlan (1983:46) menambahkan satu lagi yaitu komposisi atau pemajemukan. Keenam proses morfologis tersebut terjadi pada bahasa-bahasa yang ada di dunia. Pada bagian ini, penulis hanya akan memaparkan kilas. Sedangkan pada bagian lain, akan dipaparkan secara rinci yakni proses morfologis yang ada pada bahasa Indonesia. Agar lebih jelas, secara sekilas akan dipaparkan satu persatu.
1) Afiksasi
Afiksasi atau proses pembubuhan imbuhan ialah pembentukan kata dengan cara melekatkan afiks pada bentuk dasar. Hasil afiksasi disebut kata berafiks atau kata berimbuhan. Contohnya: ber- pada berkembang, -el- pada telunjuk, -an pada lemparan, dan per-an pada perjanjian. Paparan lebih rinci akan dibahas pada afiksasi bahasa Indonesia.
2) Reduplikasi
Reduplikasi ialah proses pembentukan kata dengan cara suatu bentuk dasar. Proses morfologis semacam ini merupakan salah satu cara pembentukan kata yang paling banyak pada bahasa-bahasa di dunia. Sebagai contoh: buku menjadi buku-buku, bali menjadi bola-bali (bahasa Jawa), adanuk menjadi adadanuk ‘panjang’ (bahasa Agta). Paparan reduplikasi ini juga lebih jauh dan rinci akan dibahas pada reduplikasi bahasa Indonesia.
3) Perubahan Intern
Perubahan intern ialah pembentukan kata dengan cara mengubah struktur fonem dasar sehingga menghasilkan bentuk baru, sebagai contoh perhatikanlah satuan-satuan berikut!



Tunggal
/fut/
/mæn/

Waktu Sekarang
/ran/
/teyk/
Jamak
/fiyt/
/mεn/

Waktu Lampau
/ræn/
/tuk/
Arti
‘kaki’
‘laki-laki’

Arti
‘lari’
‘mengambil’



Bentuk jamak (kata benda) maupun waktu lampau (kata kerja) tidak dapat kita ambil bagian mana yang menyatakan makna tersebut. Namun dari contoh di atas, kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa yang menyatakan makna jumlah ialah perubahan /u/ menjadi /iy/ dan /æ/ menjadi /δ/ pada kata foot menjadi feet dan man menjadi men atau /a/ menjadi /æ/ dan /ey/ menjadi /u/ pada kata run menjadi ran atau teek menjadi took. Oleh karena itu, proses morfolois seperti itu disebut perubahan intern (intern modification).
4) Suplisi
Suplisi merupakan salah satu proses morfologis yang menyebabkan adanya bentuk yang sama sekali baru. Bentuk dasar dan bentuk turunannya tidak terdapat persamaan sedikitpun. Untuk contoh ini, kita ambil dari bahasa Inggris.
Waktu Kini
/gow/
/æ/
Waktu Lampau
/wεnt/
/w∂z/
Arti
‘pergi’
‘adalah’
Dari dua contoh di atas kita dapat menarik suatu kesimpulan bahwa bentuk go dan am untuk waktu kini (sekarang) berubah menjadi went dan was untuk menyatakan waktu lampau. Bentuk lampau tersebut seoolah-olah bukan perubahn dari bentuk kini, seolah-olah begitulah adanya. Proses morfologis seperti itu dinamakan suplisi.
5) Modifikasi Kosong
Komposisi atau pemajemukan adalah proses pembentukan kata dengan cara menggabungkan dua buah bentuk atau satuan dasar(bentuk asal) atau lebih. Sebagai contoh perhatikanlah bentuk-bentuk berikut.
                  flower + sun          sunflower
                  mata + sapi            mata sapi (telur)
Masalah komposisi ini akan lebih terinci dipaparkan pada komposisi dalam bahasa Indonesia.
Setelah macam-macam proses morfologis dipaparkan secara sekilas, berikut ini akan dipaparkan secara sekilas, berikut ini akan dipaparkan proses morfologis yang ada dalam bahasa Indonesia secara terinci. Proses morfologis yang dimaksudkan ialah afiksasi (proses pembubuhan afiks), reduplikasi (proses pengulangan), dan komposisi (proses pemajemukan).

C. Afiksasi dalam Bahasa Indonesia
Afiksasi sering pula disinonimkan dengan proses pembubuhan afiks. Seperti telah dijelaskan, afiksasi merupakan salah satu proses morfologis. Afiksasi dalam bahasa Indonesia sangat memegang peranan penting. Hal itu didasarkan pada suatu kenyataan, bahwa bahasa Indonesia termasuk rumpun bahasa aglutinatif.
Afiksasi yaitu penggabungan akar (istilah lain untuk morfem bebas) atau pokok kata dengan afiks (Samsuri, 1982:190). Namun Ramlan (1983:47) lebih lanjut menyebut afiksasi itu sebagai pembubuhan afiks pada suatu satuan (bentuk), baik tunggal maupun kompleks untuk membentuk kata. Hasil afiksasi disebut kata berafiks atau kata berimbuhan. Lubis (1954:39) dan Anshar (1969:9) menyebutkan dengan istilah kata bersambungan.
Dari dua pernyataan di atas, kita dapat mengambil satu perbedaan pengertian yang dilontarkan oleh Samsuri dan Ramlan. Perbedaan bukan terletak pada peristiwa afiksasinya, tetapi terletak pada bentuk dasarnya. Samsuri menyebutkan bahwa bentuk dasar yang dilekati afiks berupa akar (bentuk tunggal bebas atau morfem bebas) dan pokok kata, sedangkan Ramlan, menyebutnya bentuk tunggal maupun kompleks. Dalam hal ini, penulis sependapat dengan Ramlan, bahwa pada dasarnya afiksasi dalam bahasa Indonesia.tidk ahanya dibentuk dari bentuk dasar yang bermorfem tunggal, tetapi bisa pula bentuk kompleks. Agar lebih jelas perhatikanlah korpus berikut.



Afiks
Bentuk Dasar
Hasil
Tunggal
Kompleks
peN-
peN-an
per-an
ber-
-an
di-kan (?)
meN-kan (?)
temu
tampil
-
-
makan
-
-
-
-
-
tanggung jawab
pakaian
-
berhenti
satu padu
ke samping
penemu
penampilan
pertanggungjawaban
berpakaian
makanan
diberhentikan
menyatupadukan
mengesampingkan



Dengan memeprhatikan contoh yang berada dalam korpus, nyatalah bahwa bentuk dasarkata berafiks bahasa Indonesia mungkin berupa bentuk tunggal (temu, tampil, makan), mungkin kompleks (tanggung jawab, pakaian, berhenti, satu padu, ke samping). Bentuk dasar kata berafiks mungkin berupa: morfem bebas atau istilah Samsuri akar, seperti makan, mungkin berupa pokok kata seperti juang; mungkin berupa kata berafiks seperti pakaian, berhenti; mungkin gabungan kata seperti tanggung jawab; atau mungkin frase seperti ke samping.
Berdasarkan kenyataan di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa afiksasi atau pembubuhan afiks ialah pembentukan kata baru dengan carameletakkan afiks atau imbuhan pada suatu bentuk dasar, baik bentuk tunggal maupun kompleks.
Proses afiksasi dalam bahasa Indonesia, dibedakan menjadi empat macam. Pertama, proses pelatakkan afiks di muka bentuk dasar yang bisa disebut prefiksasi (prefixation; proses pembubuhan awalan); contoh: ke- + kasih menjadi kekasih. Kedua, proses pelatakkan afiks di tengah-tengah bentuk dasar yang biasa biasa disebut infiksasi (infixation; proses pembubuhan sisipan); contoh –el- + tunjuk menjadi telunjuk. Ketiga, proses peletakkan aiks pada akhir bentuk dasar yang biasa disebut sufiksasi (suffxation; proses pembubuhan akhiran); contoh: -an + genang menjadi genangan. Keempat, proses pembubuhan afiks dengan cara membubuhkan afiks di awal dan di akhir (mengapit) bentuk dasar sekaligus disebut konfiksasi ambifikasi (konfixation; ambifixation; proses pembubuhan imbuhan gabungan), seperti: ke-an + mati menjadi kematian (Verhaar, 1984:60).


1) Afiks atau Imbuhan
Jika kita membicarakan afiksasi, maka kita tidak bisa memisahkannya dengan afiks atau imbuhan itu sendiri. Artinya, pembicaraan afiksasi atau proses pengimbuhan harus selalu diikuti oleh pembicaraan afiks atau imbuhan itu sendiri. Keraf (1982:93) menyebutnya, hubungan keduanya seperti ikan dengan air.
Pada bagian terdahulu, telah dijelaskan bahwa afiks disebut bentuk ikat secara morfologis (baca kembali bentuk bebas dan bentuk ikat). Ahmadslamet (1981:59) mendefinisikan afiks sebagai satuan atau bentukan yang merupakan morfem ikat yang selalu hadir dengan keadaan bergabung dengan bentukan lainnya dalam membentuk bentukan lainnya yang lebih besar. Afiks ialah satuan (ter-)ikat yang dalam suatu kata merupakan unsur yang bukan kata dan bukan pokok kata yang memiliki kesanggupan melekat pada satuan lain untuk membentuk kata.untuk menjelaskan pengertian di atas, perhatikanlah contoh berikut!



Afiks
Bentuk Dasar
Kata Berafiks
ber-
di-
-an
-i
-kan
-el-
peN-an
jalan
tendang
kunjung
duduk
masuk
tapak
nanti
berjalan
ditendang
kunjungan
duduki
masukkan
telapak
penantian



Berdasarkan tebel di atas jelas terlihat bahwa afiks (ber-, di-, -an, -i, -kan, -el-, peN-an; dan banyak lagi) kalau berdiri sendiri tidak mempunyai arti apa-apa. Bentuk tersebut (afiks) tidak dapat beriri sendiri dalam tuturan biasa. Afiks baru mempunyai arti atau makna jika mereka digabungkan pada bentuk lain seperti terlihat pada korpus di atas.
Dapat dilihat pada korpus di atas, afiks berfungsi membentuk kata-kata baru. Bahkan menurut Ramlan, afiks pun selain membentuk kata, juga membentuk pokok kata seperti pada duduki dan masukkan. Oleh karena itu ada pula yang menyebut bentuk-bentuk seperti itu dengan istilah pokok kata kompleks. Ahmadslamet (1982:90) tidak sependapat dengan istilah pokok kata untuk contoh seperti itu sebab pokok kata diartikan sebagai morfem ikat. Bentuk-bentuk seperti itu bisa hadir dalam tuturan biasa atau dalam kalimat secara bebas, seperti: “Buku itu sudah saya masukkan ke dalam tas.” Atau “Jangan anda duduki kursi itu.”. bentuk seperti itu beliau namakan kata kerja yang memiliki cirri khusus.
Ada bentuk lain yang mirip afiks seperti di-, ke-, dari, -lah pada di pinggir (jalan), ke sudut, dari kota, makanlah; juga bentuk-bentuk seperti: ku-, -ku, -mu, -nya, -isme pada kutarik, bajuku, dagumu, hidungnya, patriotisme. Golongan pertama disebut morfem ikat secara sintaksis dan yang kedua disebut klitik. Coba kaji ulang bahasan bentuk bebas dan bentuk ikat 2.4.
Berdasarkan paparan di atas, dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa afiks atau imbuhan merupakan bentuk satuan terikat yang jika dilekatkan pada bentuk dasar akan mengubah makna bentuk tersebut.


2) Macam-macam Afiks
Afiks dapat diklasifikasikan menjadi bermacam-macam. Hal itu akan sangat bergantung pada segi tinjauannya. Macam afiks dapat ditinjau dari posisi atau letaknya, asalnya, serta produktif tidaknya.


a) Macam Afiks Ditinjau dari Letaknya
Dari letak atau posisi melekatnya, afiks dapat dibagi menjadi empat macam yaitu prefiks atau awalan, infiks atau sisipan, sufiks atau akhiran, dan konfiks atau imbuhan gabungan (ada pula yang menyebutnya ambifiks, imbuhan ganda).
Prefiks atau awalan ialah afiks atau imbuhan yang dilekatkan pada awal bentuk dasar. Infiks atau sisipan yaitu afiks atau imbuhan yang dilekatkan di tengah-tengah bentuk dasar. Sufiks atau akhiran yaitu afiks atau imbuhan yang dilekatkan sesudah bentuk dasar. Konfiks atau imbuhan gabungan yaitu afik atau imbuhan yang mengapit bentuk dasar dengan cara melekat secara bersama-sama yang membentuk satu fungsi dari satu arti. Untuk dapat mengetahui afiks-afiks bahasa Indonesia secara jelas, lihatlah korpus berikut.





Prefiks
Infiks
Sufiks
Konfiks
meN-
Ber-b
di-
peN-
pe-
per-
se-
ke-
ter-
a-
maha-
para
pra-
-el-
-er-
-em-
-kan
-an
-i
-nya
-wan
-man
-wati
-is
meN-kan
ber-an
ber-kan
se-nya
per-an
peN-an
di-kan
ke-an
meN-i



b) Macam Afiks Ditinjau dari Asalnya
Ditinjau dari asalnya, afiks bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu afiks asli dan afiks dari bahasa asing. Afiks asli ialah afiks-afiks yang emmang merupakan bentukan atau afik dari bahasa Indonesia itu sendiri, sedangkan afiks asing ialah afiks yang berasal atau hasil pungutan dari bahasa asing yang kini telah menjadi bagian sistem bahasa Indonesia.
Untuk menyatakan suatu afiks bahasa asing telah diterima menjadi afiks bahasa Indonesia, apabila afiks tersebut sudah mampu keluar dari lingkungan bahasa asing dan sanggup melekat pada bentuk dasar bahasa Indonesia. Ramlan (1983:52) memberikan gambaran afiks –in dan –at pada kata muslimin dan muslimat merupakan afiks bahasa Arab, belum dapat digolongkan ke dalam afiks bahasa Indonesia, meskipun di samping muslimin dan muslimat ada bentuk muslim. Namun demikian, kedua afiks tersebut belum mampu melekat pada bentuk dasar bahasa Indonesia lainnya. Kedua afiks tersebut hanya mampu melekat pada bentuk dasar bahasa Arab. Berbeda dengan afiks maha- yang berasal dari bahasa Sangsekerta misalnya, ia mampu melekatkan diri pada bentuk-bentuk dasar bahasa Indonesia seperti: murah, besar, adil, bijaksana, pengasih, pengampun, guru, siswa.
Afiks-afiks yang berasal dari bahasa asing dapat kita kelompokan: pra-, para-, -wan, -wati, -man, a-, -is, -nda/-da. Afiks-afiks sepeti: meN-, ber-, di-, peN-, pe-, per-, se-, ke-, ter-, -el-, -er-, -em-, -kan, -an, -i, -nya, meN-kan, meN-i, ber-an, ber-kan, se-nya, peN-an, per-an, di-kan, ke-an merupakan afiks-afiks asli bahasa Indonesia.


c) Macam Afiks Ditinjau dari Produktifitasnya
Jika kita perhatikan afiks-afiks yang telah yang telah diuraikan pada bagian terdahulu, ada afiks terbatas sekali penggunaannya dan ada yang memiliki kemampuan melekat pada satuan lain yang lebih besar. Afiks –da, misalnya, hanya melekat secara terbatas pada bentuk-bentuk yang menyatakanmakna kekeluargaan, seperti: ayahanda, ibunda, pamanda, adinda, kakanda. Contoh lain afiks-afiks –el-, -er-, dan –em- hanya melekat pada bentuk-bentuk yang sudah ada, tidak mampu menghasilkan bentuk atau kata-kata baru. Di lain pihak seperti afiks meN-, secara distributive mampu menghasilkan kata-kata baru begitu produktif, seperti terlihat pada kata-kata, melayar, melebar, melangkah, menjadi, membengkak, membisu, menjawab, mencabik-cabik, mengangkat, mengangkut, menyanyi, menyapu, menyisir, menghunus, mengintai, mengebom, mengecat, mengetik, dan banyak lagi. Golongan afiks yang pertama disebut afiks yang improduktif, sedangkan golongan yang kedua afiks yang produktif.
Berdasarkan contoh di atas, dapatlah disimpulkan bahwa afiks improduktif ialah afiks yang tidak distributive, yang tidak memiliki kemampuan untuk melekatkan diri pada bentuk lain yang lebih banyak, terbatas pada satuan-satuan tertentu, sedangkan afiks produktif merupakan kebalikan afiks improduktif ialah afiks yang distributive yang besar kesanggupannya melekatkan diri pada morfem-morfem lain lebih banyak.
Ramlan (1983:55) menyatakan afiks-afiks pra-, a-, -el-, -er-, -em-, -is, -man, dan  -wi merupakan afiks-afiks yang improduktif. Afiks-afiks yang tergolong produktif yaitu peN-, meN-, ber-, di-, ke-, ter-, per-, se-, maha-, para-, -kan, -an, -i, -wan, meN-kan, ber-kan, per-an, peN-an, di-kan, ke-an, ber-an, se-nya.


D. Reduplikasi atau Proses Pengulangan dalan Bahasa Indonesia
Proses pengulangan atau reduplikasi merupakan proses morfo1ogis yang banyak terjadi pada bahasa-bahasa di dunia. Reduplikasi ialah proses pengulangan bentuk yang terjadi pada keseluruhan bentuk dasar atau sebagian saja, mungkin diikuti oleh variasi fonem atau pun tidak. Bentukan yang terjadi dari hasil reduplikasi disebut kata ulang (Ahmadslamet, 1980:61; Pamlan,1983:55) sedangkan bentuk (satuan) yang diulang disebut bentuk dasar (Ramlan, 1983:55).
Sebagai gambaran untuk mempertegas definisi di atas, perhatikan korpus di bawah ini.
Bentuk Dasar
duduk
berjalan
anak
lauk
Kata Ulang
duduk-duduk
berjalan-jalan
anak-anakan
lauk pauk


1) Masalah Bentuk Dasar Kata Ulang
Kalau kita tinjau berbagai buku tata bahasa, di antara mereka terdapat perbedaan dalam mengklasifikasikan atau membagi-bagi kata. Sebagai contoh, kata berjalan-jalan oleh Gorys Keraf (1982:120) dan Alisahbana (l954:68) dimasukan ke dalam macam kata ulang berimbuhan, sedangkan Slametmulyana (1957:38), Ramlan (1983:57), dan Ahmadslamet (1982:61) menggolongkannya ke dalam kata ulang sebagian.
Perbedaan pengklasifikasian atau penggolongan sperti di atas disebabkan oleh bedanya sistem konsepsi (Parera, 1980:40). Keraf dan Aliisjahbana berdsarkan pada konsepsi kata dasar, sedangkan Slametulyana, Ramlan, dan Ahmadslamet. berlandaskan pada bentuk dasar. Kata dasar merupakan istilah dalam tata bahasa tradisional yang maknanya hampir sama dengan bentuk bebas yakni kata yang belum mengalami perubahan atau penambahan. (Alisahbana, 1954:6). Umumnya kata dasar bahasa Indonesia dan juga semua bahasa yang sekeluarga dengan bahasa Indonesia terjadi dari dua suku kata (Keraf,1982:51) .
Dengan berbedanya konsepsi dalam membahas pengulangan, maka jelaslah hasilnya pun akan berbeda. Berdasarkan hasil teori, saya cenderung terhadap pendapat yang menggunakan bentuk dasar sebagai konsepsi penggolongan pengulangan. Dengan perkataan lain, bentuk dasar pengulangan mungkin merupakan bentuk (satuan) yang bermorfem tunggal mungkin pula jamak.


2) Menentukan Bentuk Dasar Kata Ulang
Untuk mementukan bentuk dasar suatu kata ulang, Ramlan, (1983:57) rnenggunakan dua prinsip. Kedua prinsip tersebut ialah:
a) Reduplikasi (pengulangan) pada dasarnya tidak mengubah golongan atau jenis kata. Dengan berpegang pada prinsip tersebut dapatlah ditentukan jika kata ulang itu termasuk jenis kata kerja, maka bentuk dasarnya pun kata kerja. Jika kata ulang tersebut termasuk kata benda, maka bentuk dasarnya pun kata benda. Perhatikan contoh-contah berikut!
berkata-kata (k. kerja): bentuk dasarnya berkata (kata kerja) bukan kata (kata benda)
gunung-gunung (k. benda): bentuk dasarnya gunung (kata benda)
kemerah-merahan (k. sifat): bentuk dasarnya merah (k. sifat )
melemparkan (k. kerja): bentuk dasarnya melempar (k. kerja)
pemikiran-pemikiran (k. benda) : bentuk dasarnya pemikiran (k. benda)
b) Bentuk dasar kata ulang selalu berupa bentuk (satuan) yang terdapat dalam penggunaan bahasa. Contohnya:
mempertahan-tahankan           : bentuk dasarnya mempertahankan bukan memertahan
                                                  karena tidak terdapat di dalam pemakaian bahasa
rnengata-ngatakan                   : bentuk dasarnya mengatakan
berdesak-desakkan                  : bentuk dasarnya berdesakkan


Pada kata ulang menulis-nuliskan, ada dua kemungkinan sebagai bentuk dasarnya. Pertama bentuk dasarnya mungkin menulis diulang menjadi menulis-nulis, setelah itu mendapat afiks -kan menjadi menulis-nuliskan. Kedua, bentuk dasarnya mungkin menuliskan diulang menjadi menulis-nuliskan.


3) Macam-macam Pengulangan
Pengulangan dalam bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi empat macam. Pembedaan ini ditinjau dari cara mengulang suatu bentuk dasarnya. Berikut ini paparan keempat macam pengulangan tersebut.


1) Pengulangan Utuh atau Pengulangan Seluruhnya
Pengulangan utuh atau pengulangan seluruhnya yaitu pengulangan seluruh bentuk dasar, tanpa perubahan fonem dan juga tidak berkombinasi dengan proses afiksasi. Hasilnya disebut kata ulang seluruhnya atau kata ulang utuh, istilah Keraf (1982:119) dwilingga, sedangkan Parera (1982:52) menyebutnya bentuk ulang simetris.
Contohnya:
tong → tong-tong
buku → buku-buku
kebaikan → kebaikan-kebajkan
pembangunan → pembangunan-pembangunan


2) Pengu1angan Sebagian
Pengulangan sebagian ialah proses pembentukan kata dengan cara mengulang sebagian bentuk dasarnya, Perhatikanlah contoh berikut!
tamu → tetamu
laki → lelaki
ditarik → ditarik-tarik
dilemparkan → dilempar-lemparkan
tumbuhan → tumbuh-tumbuhan


Berdasarkan contoh-contoh di atas, kita dapat menarik suatu kesimpulan bahwa pengulangan sebagian pada bentuk dasar bermorfem tunggal, yang diulang hanya suku kata awalnya (lelaki, tetangga). Vokal suku kata yang diulang mengalami pelemahan dan bergeser ke posisi tengah menjadi é pepet (contoh lain: luasa menjadi leluasa; luhur menjadi leluhur). Pengulangan sebagian yang, bentuk dasarnyab bentuk kompleks, cenderung hanya mengulang bentuk asalnya (ditarik-tarik, dilempar-lemparkan, tumbuh-tumbuhan, yang diulang tarik, lempar, tumbuh).
Parera (1982:53) memperkenalkan istilah lain, yaitu bentuk ulang regresif dan bentuk ulang progresif. Pengertian itu akan menjadi jelas dengan melihat korpus berikut.


Bentuk Ulang
Regresif
Bentuk Dasar
Progresif
dorong
sepak
tolong
mendorong
menyepak
menolong
mendorong
menyepak
terbatuk
berbeda
berganti
perlahan
pertama






dorong
nyepak
batuk
beda
ganti
lahan
tama







Jadi apakah bentuk ulang regresif dan bentuk ulang progresif? Sebuah bentuk ulang disebut bentuk ulang regresif, jika dalam bentuk ulang tersebut dapatt ditemukan atau tampak “dasar kata” (bentuk asal, pen.). Sedangkan bentuk ulang progresif adalah sebuah bentuk ulang yang mengulang sebagian bentuk dasar dan bentuk itu terikat kepada bentuk dasar. Tampak jelas dari contoh-contoh di atas, bentuk dasar yang berafiks meN- pada umumnya mengalami bentuk ulang regresif dan kadang-kadang progresif. Bentuk dasar yang berafiks ter-, ber-, dan per- pada umumnya mengalami bentuk ulang progresif (Parera, 1982:53). Pada bentuk ulang regresif, tampaklah bahwa bentuk dasar yang diulang letaknya di belakang “morfem ulang”, sedangkan bentuk ulang progresif bentuk dasar yang diulang terletak di depan “morfem ulang”.


3) Pengu1anan Serempak dengan Afiksasi
Pengulangan golongan ini dilakukan dengan cara mengulang seluruh bentuk dasar sekaligus dengan afiksasi dan bersama-sama mendukung satu fungsi dan satu arti. Misalnya kata anak-anakan. Berdasarkan prinsip ke-2, yang menyatakan bahwa ”bentuk dasar kata ulang merupakan satuan atau bentuk yang terdapat dalam bahasa,” kita dapat menentukan bahwa bentuk dasarnya anak, bukan anakan. Anakan tidak terdapat dalam penggunaan bahasa Indonesia,
Berdasarkan penjelasan di atas, kita mencoba mencari proses terbentuknya kata anak-anakan. Pertama bentuk dasar anak-anakan mungkin anak-anak, lalu mendapat imbuhan menjadi anak-anakan. Kedua bentuk dasar anak-anakan bentuk dasarnya anak diulang dengan mendapat afiks -an sekaligus.
Berdasarkan faktor arti, alternatif pertama tidaklah mungkin. Pengulangan anak menjadi anak-anak mempunyai makna atau arti banyak, sedangkan pada kata anak-anakan makna tersebut tidak ada. Yang ada adalah arti atau makna ‘menyerupai apa yang tersebut pada bentuk dasar’. Jelaslah bahwa satu-satunya alternatif ialah kata anak-anakan terbentuk dari bentuk dasar anak yang diulang serempak dengan melekatnya afiks –an. Contoh lainnya lihatlah berikut ini!
kereta → kereta-keretaan
hijau → kehijau-hijauan
cantik → secantik-cantiknya
Dengan melihat contoh di atas, Prawirasumantri (1986:7) merumuskan reduplikasi serempak dengan afiksasi tiga macam yaitu: (1) R-an (Peduplikasi + afiks -an), (2) ke-an (Reduplikasi + afiks ke-an), dan (3) se-R-nya (Peduplikasi + afiks se-nya).


4) Pengulangan dengan Perubahan Fonem
Pengulangan dengan perubahan fonem ialah pengulangan seluruh bentuk dasar dengan disertai adanya perubahan fonem bentuk dasar yang diulangnya, baik vokal maupun konsonan. Perhatikan contoh berikut!
gerak → gerak-gerik
serba → serba-serbi
lauk → lauk-pauk
ramah → ramah-tamah
sayur → sayur-mayur
Parera (1982:55) menyebutnya dengan istilah lain yaitu bentuk ulang vokal dan bentuk ulang konsonan. Beliau meninjau dari segi struktur. Bentuk ulang vokal ialah pengulangan terhadap vokal-vokal bentuk dasar sedangkan bunyi-bunyi konsonan mengalami variasi atau berselisih dengan bunyi-bunyi konsonan bentuk dasar. Bentuk ulang konsonan sebaliknya dan bunyi ulaing vocal yaitu pengulangan konsonan-konsonan dan bentuk dasar dan bunyi-bunyi vokal mengalami variasi atau berselisih dengan bunyi-bunyi vokal bentuk dasar. Agar pengertian tersebut jelas, perhatikan contoh-contoh berikut.
Bentuk Dasar
Bentuk Ulang
Bunyi yang Diulang
Vokal
Konsonan
serba
warna
balik
gerak
ramah
lauk
cerai
tegap
ramah-tamah
lauk-pauk
cerai-berai
tegap-begap
serba-serbi
warna-warni
bolak-balik
gerak-gerik
s, r, b
w, r, n
b, l, k
g, r, k
a, a
a, u
e, ai
e, a


Dapatlah dilihat bahwa penggolongan ini melihat apa yang diulang. Empat contoh pertama menunjukkan bahwa yang diulang adalah bunyi-bunyi konsonan, bentuk ulangnya disebut bentuk ulang konsonan, (yang diulang adalah a, r, b pada serba-serbi, w, r, n pada warna-warni, b, 1, k pada bolak-balik, g r, k pada gerak-gerik), sedangkan empat contoh berikutny memperlihatkan bahwa yang diulangnya adalah vokal-vokal bentuk dasar, itu termauk bentuk ulang vokal (yang diulangnya ialah: a, a pada ramah-tamah, a, u pada 1auk-pauk, e, ai pada cerai—berai, dan e, a pada tegap-begap).
4) Bentuk-bentuk Lain yang Mirip Kata Ulang
Pada suatu malam, ada seseorang yang berteriak,  Maling! Maling! atau Kebakaran! Kebakaran!. Ada seoran pedagang mengucapkan, “Pisang! Pisang! Kacang ! Rokok! Rokok!. Dengar pula nyanyian, “Boleh, boleh, boleh, dipandang, asal jangan, jangan dipegang!”.
Jika dilihat secara sekilas, bentuk-bentuk di atas tampaknya sama dengan kata ulang (Parera menyebutnya bentuk ulang). Memang secara struktur, bentuk-bentuk tersebut dapat dikembalikan pada bentuk dasar masing-masing, akan tetapi ada kaitan rnakna di antara unsur-unsurnya. Dalam hal ini kata-kata yang diulang ini mempunyai otonomi sendiri-sendiri. Hubungan makna unsur-unsur yang diulang itu tidak ada. Bentuk-bentuk seperti itulah yang kadang-kadang membuat kita tersesat. Bentuk-bentuk itu terdiri atas beberapa kata, berbeda dengan kata ulang termasuk satu kata. Bentuk-bentuk itu disebut ulangan kata.
Perhatikan pula bentuk-bentuk seperti: cumi-cumi, lobi-lobi, ani-ani, kupu-kupu. Bentuk-bentuk ini pun tampaknya seperti kata ulang. Namun kalau kita kaji lebih jauh, bentuk-bentuk seperti ini tidak mempunyai bentuk dasar. Cumi, lobi, ani, kupu tidak ada dalam penggunaan bahasa, oleh karena itu tidak mungkin merupakan bentuk dasar. Bentuk-bentuk seperti teramasuk kata dasar atau kata yang bermorfem tunggal.
Bentuk lain yang sering dikacaukan dengan kata ulang antara lain bentuk-bentuk seperti: simpang-siur, sunyi-senyap, lalu-lalang, beras-petas. Effendi (1958:44), misalnya menyebutkan bentuk-bentuk seperti itu termasuk kata ulang berubah bunyi. Kalau kita menyebutkan bentuk-bentuk seperti itu kata ulang, mungkinkah siur, senyap, lalang, dan petas masing-masing perubahan dan simpang, sunyi, lalu, dann beras? Perubahan-perubahan seperti itu sukar dijelaskan dan secara deskriptif hal itu tidak mungkin. Oleh karena itu, Ramlan (1983:51) menggolongkan bentuk-bentuk seperti itu masuk kata majemuk yang salah satu unsurnya berupa morfem unik, yakni morfem-morfem yang hanya mampu berkombinasi dengan satu bentuk tertentu .


E. Komposisi atau Pemajemukan dalam Bahasa Indonesia
Pembicaraan tentang kata majemuk dan pemajemukan sampai sekarang belum pernah memuaskan semua pihak. Faktor-faktor yang terlibat di dalamnya tidak selalu dapat dijelaskan secara kebahasaan. Di antara penulis tata bahasa, ada yang mencoba menjelaskannya dari sudut arti yang dikandungnya, ada pula yang rnencoba menjelaskan dari segi struktur dengan menentukan ciri-cirinya (Ahmadslamet, 1982:65), bahkan ada pula yang menggabungkan kedua segi tinjau tersebut.
Kalau kita membaca buku-buku tata bahasa, lebih terlihat adanya pertentangan tentang pembahasa pemajemukan dan tata majemuk. Golongan pertama yang rnengatakan bahwa kata majemuk itu ada dalam bahasa Indonesia seperti Slametmulyana (1957) dalam bukunya Kaidah Bahasa Indonesia II, St. Takdir Alisyahbana (1953) dalam bukunya Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia Jilid II, Gorys Keraf (1982) dalam bukunya Tata Bahasa Indonesia untuk SLA, dan Ramlan (1983) dalam bukunya Ilmu Bahasa Indonesia, Morfologi, Suatu Tinjauan Deskritif. Golongan kedua, A.A. Fokker (1972) dalam Sintaksis Indonesia terjemahan Jonhar dan Jos Daniel Parera dalam bukunya Pengantar Linguistik Umum Bidang Morfologi Seri B (Parera, 1980:59).
Yang tidak setuju mengemukakan argumentasi bahwa konsep yang diberikan terhadap penamaan kata majemuk tidak sesuai dengan contoh-contoh fakta kebahasaan yang dikemukakan. Contoh-contoh yang diajukan tidak mendukung definisi kata majemuk yang berbunyi, “gabungan dua kata atau lebih yang merupakan satu kesatuan.dan menimbulkan pengertian baru”. Contohnya kamar mandi dan semangat juang, tidak memperlihatkan adanya kesatuan baik secara struktur maupun semantis. Secara struktur di antara kata-kata tersebut sebenarnya masih dapat disisipkan kata-kata lain. Di antara kamar mandi masih dapat disisipkan kata untuk sehingga menjadi kamar untuk mandi, pada semangat juang dapat disispkan bentuk-bentuk dalam dan bentuk ber- sehingga menjadi selamat dalam berjuang. Secara semantis, gabungan kamar mandi dan semangat juang tidak memperlihatkan adanya makna yang benar-benar baru yang benar-benar berbeda dengan makna dasar unsur-unsurnya. Pada gabungan kamar mandi masih terasa makna kamar dan pada semangat juang masih tarkandung makna semangat (Sitindoan, l984:99).
Parera (1980:60) mengemukakan alasan lain, ditilik dari segi definisi terlihat adanya kontadiksi dalam definisi tersebut. Yang dimaksud oleh beliau yakni satu kata yang terdiri dari dua kata atau lebih. Secara matematis, 1+1 = 1 atau 1+1+1 = 1. Dalam hal ini, definisi tersebut kekurangan satu konsep yang lain yaitu konsepsi kata. Satu kata ditambahi satu kata yang nilainya sama pastilah hasilnya dua kata, dan bukan satu kata seperti definisi, “kata majemuk ialah kata yang terdiri dari dua kata atau lebih yang mengandung satu pengertian”.
Keberatan lain yang dikernukakan Parera terhadap pendapat yang ada yaitu dalam membahasa kata majemuk bahasa Indonesia, terdapat pencampuradukan aspek makna dan aspek bentuk dalam satu definisi, karena pada akhirnya aspek makna yang akan menjadi pedoman dan dominan dalam analisis bahasa kita. Itu berbahaya.
Di sini, penulis tidak akan mempertentangkan dua golongan secara mendetail. Terlepas dan setuju atau tidaknya ada kata majemuk dalam bahasa Indonesia, penulis akan mengernukakan pendapat yang menyetujui adanya pendapat kata majemuk dalam bahasa Indonesia. Hal ini penulis lakukan karena pendapat ini banyak dikutip dan dipergunakan sebagai pedoman bahan pengajaran di sekolah-sekolah. Berikut ini, penulis akan memaparkan pendapat Ramlan (1983), yang ditunjang oleh Prawirasumantri (1986), Ahmadslamet (I982), dan Badudu (1976).


1) Pengertian Pemajemukan dan Kata Majemuk
Pemajemukan yaitu proses morfologis yang berupa perangkaian (bersama-sama) dua buah bentuk dasar (bentuk asal) atau lebih yang menghasilkan satu kata (Prawirasumantri, 1986:10), Hasil proses pemajemukan disebut kata majemuk, Ramlan (1983:67) mendefinisikan kata majemuk yakni kata yang terdiri dari dua kata atau lebih sebagai unsurnya. Sedangkan Badudu (1976: 8) mendefinisikannya, gabungan dua buah morfem dasar atau lebih yang mengandung (memberikan) suatu pengertian baru. Kata majemuk tidaklah menonjolkan arti tiap kata, tetapi gabungan kata tersebut bersama-sama membentuk suatu makna.
Dan definisi yang dikemukakan ada perbedaan pengertian kata majemuk menurut Ramlan dengan Badudu, Jika Ramlan mendefinisikan kata mjemuk, “kata yang terdiri dan dua kata atau lebih”, maka kata-kata seperti beras-petas, lalu-lalang, simpang-siur yang oleh Ramlan dimasukkan ke dalam kata majemuk, hal itu tidak dapat dipertahankan lagi. Benarkah petas, lalang, dan siur termasuk kata? Jelas tidak benar. Supaya kata-kata seperti itu dapat digolongkan ke dalam kata majemuk, maka definisi kata majemuk ialah “ kata yang dihasilkan dengan cara menggabungkan dua buah bentuk dasar atau lebih yang berbeda”. Sedangkan proses pemajemukan atau komposisi dapat didefinisikan, proses penggabungan dua buah bentuk dasar atau lebih yang berbeda untuk menghasilkan sebuah kata baru.


2) Ciri-ciri Kata Majemuk
Ramlan (1983:67), Prawirasumantri (1986:11), dan Ahmadslamet (1982:66) menerangkan, sekilas kata majemuk sukar dibedakan dan bentuk lingual atau satuan gramatik yang berupa konstruksi predikatif, yakni suatu konstruksi yang terdini atas subjek dan predikat, dan konstruksi endosentris yang atributif yakni frase yang rnempunyai distribusi yang sama dengan salah satu atau semua unsurnya.
Agar perbedaannya jelas, analisislah bentuk kamar mandi dan adik mandi. Tampaknya dua bentuk tersebut sama, karena sama-sama dibangun oleh KB + KK. Akan tetapi kalau kita analisis, kedua bentuk tersebut mempunyai sifat yang berbeda. Bentuk kamar mandi bukanlah konstruksi predikadif atau frase endosentris yang atributif, tetapi merupakan sebuah kata benda. Berbeda dengan bentuk adik mandi , ia merupakan sebuah konstruksi predikatif (adik sebagai subjek dan mandi sebagai predikat). Kamar mandi termasuk kata majemuk, sedangkan mandi bukan kata majernuk.
Berdasarkan penjelasan di atas, Ramlan (1983:69) mengemukakan ciri-ciri kata majemuk sebagai berikut.


l) Gabungan dua buah bentuk dasar (bentuk asal) atau lebih yang salah satu atau semua unsurnya berupa pokok kata termasuk kata majemuk.
Pokok kata yaitu bentuk lingual atau satuan gramatik yang tidak dapat berdiri sendiri dalam tuturan biasa dan secara gramatis tidak memiliki sifat bebas tetapi dapat dijadikan bentuk dasar sutu kata kompleks. Bentuk yang terdiri dari bentuk dasarnya yang berupa morfem bebas dengan pokok kata atau pokok kata semua, maka gabungan tersebut pastilah termasuk kata majemuk. Contohnya: kolam renang, medan tempur, temu karya, tanggung jawab.
2) Unsur-unsur kata majemuk tidak mungkin dipisahkan atau tidak mungkin diubah strukturnya.
Untuk memperjelas ciri tersebut, perhatikanlah dan bandingkan bentuk-bentuk yang berada dalam korpus.





I
II
kamar mati
meja makan
rumah sakit
kaki tangan
kamar kecil
tangan kanan
tikus mati
adik makan
burung sakit
kaki dan tangan
kamar yang kecil
tangan yang kanan



Bentuk-bentuk yang ada pada lajur I merurakan kata majemuk, sedangkan lajur II bukan kata majemuk. Bentuk kamar mati tidak dapat dipisahkan. menjadi kamar yang mati, begitu pula. dengan meja dengan meja makan, rumah sakit, kaki tangan, kamar kecil, tangan kanan. Bentuk-bentuk itu juga tidak dapat ditukar tempatnya menjadi mati kamar, makan meja, sakit rumah dan seterusnya. Bentuk-bentuk kaki tangan, kamar kecil, dan tangan kanan mungkin bisa dipisahkan oleh bentuk atau satuan yang atau dan seperti terlihat pada kolorn II, namun arti atau makna yang dikandungnya akan berubah sama sekali. Tangan kanan pada lajur I artinya ‘orang kepercayaan’ sedangkan tanan (yang) kanan pada lajur II artinya “anggota badan dari siku ke ujung jari yang ada di sebelah kanan’. Bentuk-bentuk yang ada pada lajur I itulah yang disebut dengan kata majemuk.
Akhirnya, perlu disinggung lagi di sini bentuk yang terdiri atas bantuk dasar dan morfem unik yakni morfem yang tidak pernah hadir dalam pemakaian bahasa kecuali dalam keadaan berkombinasi dengan bentuk tertentu. Gabungan seperti itu disebut kata majemuk yang salah satu bentuk dasarnya berupa morfem unik. Contoh kata majemuk. yang mengandung morfem unik ialah tumpah ruah, simpang siur, sunyi senyap, terang benderang, gelap gulita, lalu lalang, kering kerontang, tua bangka, tua renta, muda belia. Tentukan mana yang termasuk morfem uniknya?
Lebih terinci Keraf (1982:125) menyatakn cirri-ciri kata majemuk sebagai berikut:
1) Gabungan itu membentuk suatu arti.
2) Gabungan itu dalam hubungannnya ke luar membentuk satu pusat, yang menarik
    keterangan-keterangan atas kesatuan itu, bukan atas bagian-bagiannya.
3) Biasa terdiri atas kata-kata dasar.
4) Frekuensi pemakaiannya tinggi.
5) Terutama kata-kata majemuk yang bersifat endosentris, terbentuk menueur hukum
    DM (Diterargkan mendahului menerangkan).


3)Macam-macam Kata Majemuk
Kata majemuk dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kata majemuk endosentris dan eksosentris. Kata majemuk endosentris yaitu kata majemuk yang konstruksi distribusinya sama dengan kedua (ketiga) atau salah satu unsurnya. Kata majemuk eksosentris, sebaliknya, yaitu kata majemuk yang konstruksinya itu berlainan distribusinya dan salah satu unsurnya (Samsuri, 1982:200). Untuk menjelaskan hal itu, beliau mengemukakan contoh bentukan rumah sakit dan jual beli, yang kedua-duanya merupakan kata majemuk. Yang pertama kata majemuk endosentris, sedangkan yang kedua eksosentris. Perhatikanlah:
l) a.Rumah sakit itu baru dibangun.
b.Rumah itu baru dibangun.
Melihat contoh di atas, jelaslah bahwa rumah berdistribusi sama dengan rumah sakit, sehingga selain kalimat l.a. kalimat 1.b. pun ada dalam bahasa Indonesia. Dengan perkatan lain satuan rumah dapat menggantikan satuan rumah sakit.
2) a. Kedua orang itu mengadakan jual beli.
b. Kedua orang itu mengadakan jual. *)
c. Kedua orang itu mengadakan beli. *)
Tanda *) berarti kalimat 2.b. dan 2,c. tidak ada dalam bahasa Indonesia. Jelaslah distribusi jual beli berlainan distrubusinya dengan jual ataupun beli. Itulah yang disebut kata majemuk eksosentris.
Kata majemuk endosentris dapat dibedakan menjadi: kata majemuk koordinatif yaitu kata majemuk yang unsur-unsurnya mempunyai hubungan yang setara atau sederajat, misalnya: budi bahasa (Suwarso, 1979:38); kata majemuk atributif atau subordinatif yaitu kata majemuk yang salah satu unsurnya menjadi penjelas atau atribut unsur lainnya, misalnya: rumah sakit, orang tua (Suwarso, 1979:38) ; dan kata majemuk yang salah satu unsurnya berupa morfem unik, misalnya: lalu lalang (Ramlan, l983:50).




Check it out !!!