Jumat, 11 Maret 2011

Profesionalisme Guru Bahasa

Berbagai sinyalemen, dugaan, dan fakta menyatakan bahwa mutu pendidikan dan pembelajaran di Indonesia rendah, bahkan sangat rendah. Hasil survai Political and Economic Rick Consultancy (PERC) yang berpusat di Hongkong menunjukkan bahwa di antara 12 negara yang disurvai, sistem dan mutu pendidikan Indonesia menempati urutan 12 di bawah Vietnam (Tim BBE, 2001) Salah satu indikasi dapat dilihat dari nilai rata-rata UAN selama sepuluh tahun terakhir juga menunjukkan bahwa prestasi belajar siswa-siswa Indonesia tergolong rendah. Kondisi objektif di lapangan memang menunjukkan tanda-tanda masih kurang atau rendahnya profesional, antara lain: (1) Masih banyak guru bahasa Indonesia yang bertugas di SD/MI maupun di SMP/MTs dan SMA/MA yang tidak berlatar pendidikan sesuai dengan ketentuan dan bidang studi yang dibinanya. 2) Masih banyak guru yang memiliki kompetensi keilmuan dan profesionalitas rendah dan memprihatinkan; (3) Masih banyak guru yang kurang terpacu dan termotivasi untuk memberdayakan diri, mengembangkan profesionalitas diri dan memuthakirkan pengetahuan mereka secara terus menerus- menerus dan berkelanjutan meskipun cukup banyak guru Indonesia yang sangat rajin mengikuti program pendidikan. (4) Masih banyak guru yang kurang terpacu, terdorong dan tergerak secara pribadi untuk mengembangkan profesi mereka sebagai guru. Para guru umumnya masih kurang mampu menulis karya ilmiah bidang pembelajaran, menemukan teknologi sederhana dan tepat guna bidang, membuat alat peraga pembelajaran, dan atau menciptakan karya seni. (5) Hanya sedikit guru Indonesia yang secara sungguh-sungguh, penuh kesadaran diri dan kontinu menjalin kesejawatan dan mengikuti pertemuan–pertemuan untuk mengembangkan profesi . Kelima hal di atas setidak-tidaknya merupakan bukti pendukung bahwa mutu profesionalitas guru di Indonesia masih rendah. Kecerdasan Ganda (Multiple Intelligences) Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas guru bahasa Indonesia adalah dengan cara mengembangkan kecerdasan ganda yang telah dicetuskan Howard Gardner. Gardner mendefinisikan intelegensi sebagai kemampuan memecahkan persoalan dan menghasilkan produk baru dalam suatu latar yang bermacam-macam dan dalam situasi yang nyata (1983;1993). Suatu kemampuan dapat disebut intelegensi bila menunjukkan suatu kemahiran dan keterampilan seseorang untuk memecahkan persoalan dan kesulitan yang ditemukan dalam hidupnya. Salah satu tanda tingkah laku intelegensi manusia adalah kemampuan untuk menggunakan simbol dalam hidup Misalnya intelegensi linguistik dengan bahasa fonetik, intelegensi matematis-logis dengan bahasa komputer, intelegensi visual dengan bahasa ideografik, intelegensi kinestik-badani dengan bahasa tanda, intelegensi musikal dengan sistem notasi musik, intelegensi interpersonal dengan bahasa wajah dan isyarat, dan intelegensi intrapersonal dengan simbol diri. Hal itu sesuai dengan UU Guru dan Dosen Bab IV Pasal 8 yang menyatakan bahwa “Guru wajib memiliki kualifikasi akadmik, kompetensi, sertifikat pendidikan, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”. Parameter profesi bagi seorang guru yang sesuai dengan Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 adalah guru wajib memiliki loyalitas dan dedikasi, kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, tanggung jawab, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Untuk dapat menjadi pendidik yang profesional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, guru perlu mengembangkan kecerdasan ganda sebagai bekal untuk mengabdikan diri dalam dunia pendidikan Secara ideal guru bahasa Indonesia adalah orang yang memiliki kecerdasan linguistik, yaitu kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan berbahasa baik secara lisan maupun secara tulis. Seorang guru disarankan harus dapat mengetahui semua latar belakang kecerdasan yang dimiliki anak didik, mengembangkan model mengajar dengan berbagai kecerdasan (bukan hanya dengan kecerdasan yang menonjol pada diri guru), dalam mengevaluasi kemajuan siswa, guru perlu menggunakan berbagai model yang cocok dengan kecerdasan ganda. Agar dapat melaksanakan tugas-tugas di atas dengan baik dan profesional, guru bahasa Indonesia dapat melakukan pengembangan kecerdasan ganda, misalnya dengan melakukan aktivitas yang mencirikan berbagai jenis kecerdasan yang dimiliki oleh setiap orang. Aktivitas tersebut dapat memungkinkan setiap kecerdasan yang dimiliki guru dapat berkembang sehingga dalam pembelajaran semakin menarik dan penuh daya pesona bagi anak didik. Penguasaan berbagai metode pembelajaran dapat menempatkan guru bahasa Indonsia berfungsi sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, pelatih, penasihat, pemba- haru, model dan teladan, pribadi, peneliti, pendorong kreativitas, pembangkit pandangan, pekerja rutin, pembawa cerita, pemindah kemah, aktor, emansipator, evaluator, pengawet, dan kulminator sehingga anak didik dapat berhasil secara optimal (Mulyasa, 2005). Guru bahasa Indonesia yang ideal itulah, yang dapat menjalankan tugasnya membawa pan-dangan dan pikiran baru yang lebih komprehensif, akomodatif dan humanistis serta menyegarkan sekaligus menantang dalam pembelajaran bahasa Indonesia.

Check it out !!!

Selasa, 08 Maret 2011

Penertian Menulis

Menulis yang dianggap paling tinggi adalah menulis kreatif. Karya fiksi adalah karangan imajinatif yang memberikan kesempatan kepada Anda untuk belajar menuangkan seluruh ide, khususnya imajinasi Anda, yang banyak dan berserakan di benak setiap orang. Jadi menulis wacana fiksi adalah kegiatan menciptakan bentuk tulisan yang disusun menggunakan kalimat dengan makna lengkap dan utuh diolah dari hasil pemikiran penulisnya.
Wacana dimaknai oleh beberapa kalangan sebagai gagasan awal yang belum matang dan dengan sengaja dilontarkan untuk memperoleh tanggapan (Dadang, dalam Pudji Santosa 2007 ; 8.21). Pengertian wacana tersebut berhubungan dengan istilah wacana yang sekarang sedang muncul ke permukaan, seperti ” Wah, itu kan baru wacana saja. ”Sementara itu Hasan Alwi (2000 : 41) mengemukakan pengertian wacana dari sisi bahasa adalah rentetan kalimat yang berkaitan sehingga terbentuklah makna yang serasi antar- kalmat-kalimat itu. Pengertian wacana tersebut dapat disimpulkan sebagai kumpulan kalimat yang memiliki satu makna utuh baik dalam susunan kalimatnya maupun dalam kandungan makna yang menyertainya.
Dalam kegiatan bahasa tulis biasanya wacana dikenal dengan berbagai ragam yaitu wacana pemaparan (eksposisi), wacana pemerian (deskripsi), wacana penceritaan (narasi), wacana pembuktian (argumentasi), dan wacana peyakinan (persuasi),
Wacana yang kini disajikan adalah bagian dari wacana penceritaan (narasi).
Pengertian Fiksi
Kata fiksi diturunkan dari bahasa Latin ficti, fictum, yang berarti ”membuat, membentuk, mengadakan, dan menciptakan”. Dengan demikian dapat dianalogikan bahwa kata benda fiksi dalam bahasa Indonesia secara singkat berarti ” sesuatu yang dibentuk, sesuatu yang dibuat, sesuatu yang diciptakan , sesuatu yang diimajinasikan (Tarigan dalam Sayuti :2007, hal 1.3)
Istilah fiksi mengandung pengertian cerita rekaan atau cerita khayalan. Karya fiksi disebut cerita rekaan karena sebagai karya naratif, isi yang terkandung di dalamnya tidak mengacu pada kebenaran sejarah (Abrams dalam Sayuti: 2007, hal 1.3). Karya fiksi menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan tidak terjadi sungguh-sungguh sehingga tidak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata. Fiksi adalah sesuatu yang tidak ada dan tidak terjadi di dunia nyata (Nurgiantoro, 2000:2). Dengan demikian kebenaran yang terdapat di dalam karya fiksi tidak harus sama dan memang tidak perlu disamakan dengan kebenaran yang berlaku di dunia nyata. Kebenaran dalam dunia fiksi adalah kebenaran yang sesuai dengan keyakinan pengarang, kebenaran yang diyakini ”keabsahannya” sesuai dengan pandangan pengarang terhadap masalah hidup dan kehidupan.
Pada sisi yang lain, aspek kebenaran itu juga digunakan sebagai salah satu ukuran untuk menentukan kualitas suatu karya sastra. Karya sastra akan dinilai baik jika di dalamnya terkandung unsur kebenaran, yakni mampu membayangkan atau merefleksikan kehidupan atau peristiwa kehidupan yang (pernah dan akan atau dimungkinkan) terjadi. Artinya, apa yang diungkapkan dalam dan lewat karya sastra bukan merupakan hasil lamunan atau khayalan belaka. Bahkan istilah fiksi bertolak belakang dengan istilah realitas.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karya fiksi merupakan istilah lain untuk menyebut cerita rekaan. Bahkan istilah prosa dalam pengertian kesastraan sering juga disebut dengan istilah fiksi (fiction).
Jadi wacana fiksi adalah wacana yang mengemukakan dunia imajinasi hasil kreativitas pengarang. Sebagai sebuah karya imajiner, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia hidup, dan kehidupan. Wacana fiksi pada dasarnya merupakan hasil pengungkapan kembali berbagai permasalahan yang dialami dan dihayati oleh pengarang. Oleh karena itulah, wacana fiksi dapat diartikan sebagai rangkaian kalimat mengenai kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar, serta tahapan, dan rangkaian cerita yang bertolak dari hasil imajinasi pengarang.
Tema yang diusung mengenai berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama, interaksi dengan dirinya sendiri, serta interaksinya dengan Tuhan. Bahan yang dijadikan sumber fiksi adalah hasil dialog, kontemplasi, dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Dengan kata lain, penciptaan wacana fiksi memang bertolak dari kehidupan keseharian. Walaupun untuk ukuran kita sebagai calon penulis pemula, tidak mudah mengungkapkannya, tetapi bagi
para sastrawan hal itu bukan kendala, karena sastrawan adalah manusia-manusia bijak yang mampu menjelajahi sisi-sisi wilayah yang paling dalam dari aspek kehidupan. Seringkali wilayah-wilayah itu tidak dapat digapai oleh masyarakat awam pada umumnya. Meskipun tulisan ini tidak bermaksud mencetak Anda menjadi sastrawan tetapi pengalaman berlatih yang disajikan diharapkan dapat menjadi pemicu tumbuhnya minat pembaca dalam menulis fiksi sederhana.
Lingkup wacana fiksi sederhana yang akan disajikan mengingat tujuan mata kuliah ini memberikan pelatihan bagi kita semua terutama mereka yang ingin belajar menulis yang sampai saat ini belum berani mencoba. Sebagai latihan kiranya sangat baik jika dimulai dari tingkat yang sederhana.
Di samping itu, wacana fiksi sering sarat muatan moral, sosial, dan psikologi. Dengan memahami wacana seperti itu ada kemungkinan orang lebih cepat mencapai kematangan sikap. Pada wacana fiksi pembaca sering diajak memasuki segala macam situasi sehingga setidaknya akan ada orang yang dapat menempatkan diri pada kehidupan yang lebih luas dari pada situasi dirinya yang nyata.
Jadi menulis wacana fiksi adalah kegiatan menciptakan karya tulis berdasarkan hasil pemikiran penulis dengan menggunakan kalimat-kalimat yang susunan serta maknan yang utuh. Kegiatan menulis fiksi ini sering juga disebut kegiatan kreatif, karena tulisan yang dihasilkan adalah utuh hasil pemikiran yang luas dan teliti mengenai sisi kehidupan manusia.
Bentuk Wacana Fiksi
Berdasarkan bentuknya, secara sederhana jenis wacana fiksi dikelompokkan dalam tiga jenis, yaitu
(1) novel yaitu suatu cerita prosa yang fiktif dengan panjang tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak, serta adegan kehidupan yang representatif dalam suatu alur atau keadaan.
(2) novelette yaitu berasal dari kata novelette yang diturunkan dari kata novel dengan penambahan sufiks – ette, yang berarti kecil. Dengan singkat dapat dinyatakan bahwa novelet mengandung pengertian novel kecil.
(3) cerita pendek (short story) yaitu penyajian suatu keadaan tersendiri atau suatu kelompok keadaan yang memberikan kesan tunggal pada jiwa pembaca.
Check it out !!!

Meningkatkan Kreativitas Siswa Menciptakan Karya Sastra

Mengajarkan apresiasi sastra tidak hanya dengan menyediakan dan menugasi siswa membaca karya sastra, tetapi dapat juga mengasah kemampuan siswa untuk menciptakan karya sastra. Oleh karena itu, pemilihan metode/teknik menuangkan ide sangatlah penting untuk memacu kreativitas siswa dalam mengarang. Dengan demikian, peran guru sangat penting untuk meningkatkan kreativitas siswa dalam mengarang. Dengan demikian, peran guru sangat penting untuk meningkatkan kreativitas siswa dalam menciptakan karya sastra.

1. Apresiasi Sastra

Karya sastra dianggap sebagai hasil proses kreatif pengarang. Menurut Abrams, penelitian karya sastra dengan menggunakan pendekatan eksprsif memandang karya sastra sebagai pernyataan dunia batin pengarang yang bersangkutan. Jika dibayangkan bahwa segala gagasan, cita rasa, emosi, ide, dan angan-angan merupakan ’dunia dalam’ pengarang, karya sastra merupakan ’dunia luar’ pengarang. Karya sastra dianggap sebagai sarana untuk memehami keadaan jiwa pengarang atau sebaliknya (Sugihastuti, 2002:2).
Apresiasi sastra merupakan interpretasi yang benar terhadap karya sastra. Karenanya, Hirsch menyatakan apabila pernyataan-pernyataan tentang makna sebuah karya sastra merupakan pernyataan-pernyataan yang objektif, apabila interpretasi karya sastra harus menjadi ilmu pengetahuan atau disiplin ilmu dan bukan sekadar arena bagi gagasan, khayalan, pilihan pribadi, yang tonggaknya bukanlah pengetahuan, tetapi apa yang disebut dengan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih tingggi sehingga diperlukan standar penilaian yang memperkenankan, sedikit-sedikitnya secara prinsip, satu dan hanya satu interpretasi sebuah karya untuk dinilai betul atau benar (Sugihastuti, 2002: 11).
Pernyataan Hirsch bahwa hanya maksud si pengarang yang memberikan ’standar pembeda yang benar’ menawarkan alasan mengapa disodorkan bahwa interpretasi sastra perlu sekali menjadi ilmu pengetahuan atau disiplin ilmu menjadikan perlunya pengajaran sastra di sekolah. Oleh karena itu, pengajaran sastra merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kreativitas siswa menciptakan karya sastra.

2. Menulis dan Mengarang

Menulis bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Kadang orang bisa berbicara, tetapi tidak bisa menulis kembali apa yang dibicarakan. Sebaliknya, ada orang yang pandai menulis, tetapi tidak bisa membicarakan tulisannya. Namun, ada juga orang yang pandai berbicara dan menulis. Khusus tentang kemampuan menulis ini, hambatan yang dialami adalah penuangan ide berupa penulisan kata pertama untuk mengawali tulisan. Kadang kala dalam menulis selalu muncul pertanyaan: apa yang akan ditulis, bagaimana menuliskannya, dan pantaskah disebut sebuah tulisan Meskipun sebenarnya ide itu bisa didapatkan dari mana saja, misalnya dari pengalaman diri sendiri; dari cerita orang lain; peristiwa alam; ataupun dari khayalan kita, menulis tetap dianggap tidak mudah. Kesulitan dalam menuangkan ide ternyata juga sering dialami oleh siswa sekolah dasar. Padahal, berdasarkan aspek keterampilan berbahasa Indonesia, keterampilan menulis merupakan salah satu kompetensi berbahasa yang harus dimiliki oleh setiap siswa selain keterampilan membaca, mendengarkan, dan berbicara. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh siswa adalah mengungkapkan gagasan dalam bentuk tulisan, membuat alur cerita yang runtut, dan menggunakan bahasa yang mudah dibaca (Rusilah, 2006:3).
Berkaitan dengan pengajaran sastra berupa menciptakan karya sastra, masih ada kendala pada saat melaksanakan pengajaran mengarang. Proses belajar mengajar yang selama ini masih banyak dijumpai menggunakan pendekatan tradisional merupakan salah satu faktor penghambat kreativitas menulis. Guru sebagai penentu proses pembelajaran sedangkan siswa secara pasif hanya menerima rumus atau kaidah. Pada umumnya pendekatan tradisional tidak membangkitkan kreativitas siswa sehingga siswa mengalami kesulitan pada saat mengarang.
Permasalahan tentang kreativitas menulis ini sebenarnya bisa dilatih dan dijadikan sebuah keterampilan dengan cara membiasakan diri berlatih menulis. Untuk itu, perlu ditemukan metode menulis yang tepat dan praktik menulis berdasarkan metode tersebut.
Penelitian pengajaran sastra, terutama tentang kemampuan menulis sebuah karya sastra, sudah banyak dilakukan. Henry Yustanto dkk. telah melakukan penelitian dengan judul “Kondisi Pengajaran Sastra Indonesia di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di Surakarta: Studi Kasus (2004)”. Dalam penelitian itu mereka menganalisis realitas proses belajar mengajar sastra Indonesia di SLTP dan tanggapan siswa terhadap pelaksanaan pengajaran sastra di sekolah.
Penelitian lain tentang menulis dilakukan oleh Rita Inderawati dalam desertasinya tahun 2005 berjudul “Model Respons Nonverbal dan Verbal dalam Pembelajaran Sastra untuk Mengembangkan Keterampilan Menulis Siswa SD: Studi Kuasi-Eksperimen di SD Negeri ASMI I, III, V Kota Bandung Tahun Ajaran 2003/2004”. Tujuan umum penelitian yang dilakukan adalah untuk mengembangkan keterampilan menulis siswa dengan menerapkan respon pembaca dan simbol-simbol visual sehingga mampu mencerdaskan moral siswa. Secara khusus, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang keberterimaan, perbandingan, dampak, kelebihan, kelemahan, dan model pembelajaran sastra untuk mengembangkan keterampilan menulis.
Selain penelitian di atas, masih ada penelitian lain tentang penelitian keterampilan menulis, khususnya prosa sederhana yang dilakukan oleh Rusilah berjudul “Penerapan Strategi Area Isi untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Prosa Sederhana bagi Siswa Kelas V SDN Sendangmulyo 03, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang Tahun Ajaran 2006/2007". Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam menuangkan ide saat menulis sebuah prosa sederhana (cerpen), meningkatkan motivasi siswa dalam melakukan aktivitas menulis prosa sederhana (cerpen), meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa dalam menulis prosa sederhana (cerpen), dan meningkatkan keterampilan guru dalam memotivasi siswa untuk menulis prosa sederhana (cerpen).
Penelitian sejenis juga pernah dilakukan oleh Ari Wijayanti, mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang dalam skripsinya yang berjudul “Kemampuan Menulis Karangan Narasi Siswa Kelas III SD Negeri Blitar Kecamatan Sukorejo Tahun Ajaran 2006/2007”. Dalam skripsi tersebut siswa diharapkan tidak hanya dapat mengembangkan kemampuan membuat karangan. Namun, juga diperlukan kecermatan untuk membuat argumen dan memiliki kemampuan untuk menuangkan ide atau gagasan dengan cara membuat karangan yang menarik untuk dibaca.
Sutarman melakukan penelitian dengan judul “Penerapan Model Mengajar Kooperatif Tipe Student Team Achievement Division (STAD) bagi Peningkatan Kemampuan Menulis: Penelitian Tindakan Kelas Pada Pembelajaran Menulis Siswa Kelas III SMPN 2 Jatinunggal Sumedang Tahun Pelajaran 2004/2005”. Penelitian ini menggunakan model yang memungkinkan siswa untuk belajar menulis melalui praktik menulis berkelompok dengan memanfaatkan potensi interaksi dan kerja sama antarsiswa. Ketika proses belajar berlangsung, siswa dapat berdiskusi dan saling mengoreksi tulisan. Dari sini diharapkan siswa dapat menemukan dan menyadari kekurangannya sendiri, kemudian memperbaikinya agar tidak mengulangi lagi kesalahan penulisan karangan.
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Sonya Inna S. dengan judul “Pengembangan Program Pembelajaran Kontekstual dalam Pelajaran Menulis: Studi Pengembangan pada Kelas V Sekolah Dasar Lembaga Pendidikan Katholik di Bandung”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan model pembelajaran kontekstual yang dapat diterapkan pada pelajaran menulis di Sekolah Dasar. Program Pembelajaran Kontekstual dalam Pelajaran Menulis diperoleh melalui penelitian menggunakan metode research and development. Tahap penelitian meliputi studi pendahuluan, pengembangan, uji coba model secara terbatas dan uji coba model secara lebih luas.

3. Pengajaran Sastra di Sekolah

Variasi berbahasa menjadi pusat pembelajaran bahasa. Ini berarti model pembelajaran bahasa harus mencakup sebanyak mungkin kegiatan pelangsungan berbahasa Indonesia. Termasuk di dalam kegiatan pelangsungan berbahasa Indonesia ini adalah keterampilan menulis. Melalui keterampilan menulis, siswa dilatih untuk berbahasa aktif dalam bentuk tertulis.
Oleh karena itu, pembelajaran bahasa Indonesia harus menciptakan usaha dan kemauan siswa untuk berkomunikasi dengan bahasa Indonesia yang baik, benar, dan wajar. Pembelajaran bahasa Indonesia harus mendorong siswa untuk mau dan berusaha untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik, benar, dan wajar untuk pelbagai tujuan dan dalam pelbagai situasi. Dengan demikian, pembelajaran bahasa Indonesia terpusat pada siswa. Ini berarti aktivitas terbesar dalam pembelajaran bahasa Indonesia adalah siswa terdorong, mau, giat, dan berusaha mendengarkan uraian dan percakapan dalam bahasa Indonesia, membaca naskah tulis bahasa Indonesia, berbicara dalam bahasa Indonesia untuk pelbagai keperluan, dan menulis dalam bahasa Indonesia untuk pelbagai tujuan dan maksud (Parera, 1996:13).

3.1 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
3.1.1 Hakikat KTSP

Pemerintah telah mempercepat pencanangan “Millenium development goals” yang semula dicanangkan tahun 2020 dipercepat menjadi tahun 2015. Millenium development goals adalah era pasar bebas, era globalisasi, dan era persaingan mutu dan kualitas. Mutu dan kualitas menjadi standar parameter yang sangat penting agar sumber daya manusia Indonesia dapat bersaing dengan luar negeri. Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan suatu keharusan yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Era mutu dan kualitas menuntut semua bidang kehidupan untuk menyesuaikan visi, misi, tujuan, dan strategi sesuai kebutuhan. Demikian juga halnya dalam pendidikan.
Kurikulum adalah komponen sistem pendidikan yang dipakai sebagai acuan untuk menghasilkan lulusan yang memiliki “kemampuan berpikir”. KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) adalah kurikulum operasional yang disusun, dikembangkan, dan dilaksanakan oleh setiap satuan pendidikan sebagai penggerak mesin utama pendidikan yaitu pembelajaran. KTSP menjadi seperangkat pengembangan kurikulum yang diharapkan memenuhi kebutuhan pendidikan. Sebagai wujud reformasi pendidikan, KTSP memberikan otonomi kepada sekolah dan satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan potensi, tuntutan, dan kebutuhannya masing-masing. Pada sistem KTSP sekolah memiliki kekuasaan dan tanggungjawab penuh dalam menetapkan kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan visi, misi, dan tujuan.
Dalam KTSP, pengembangan kurikulum dilakukan oleh guru, kepala sekolah, komite sekolah, dewan pendidikan, tenaga kependidikan, wali murid, tokoh masyarakat, dan lembaga lain yang bisa dilibatkan dalam menetapkan kebijakan berdasarkan ketentuan-ketentuan pendidikan yang berlaku. Selanjutnya, kurikulum dirumuskan oleh komite sekolah menjadi program-program operasional untuk mencapai tujuan sekolah. KTSP didedikasikan sebagai tonggak pembaharu yang dapat mendongkrak kualitas pendidikan dan mampu menciptakan generasi unggul yang oleh pemerintah dan semua pihak diharapkan membentuk keselarasan antara pendidikan dan pembangunan, serta memenuhi kebutuhan dunia kerja.
Dalam hal ini keterampilan menulis menjadi kata kunci agar tiap-tiap siswa mampu memaksimalkan potensi dirinya.

3.1.2 Konsep Dasar Pengajaran Sastra Indonesia dalam KTSP

Pembahasan tentang konsep dasar pengajaran sastra Indonesia berdasarkan pada kurikulum yang berlaku pada saat ini yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Berdasarkan kurikulum tersebut, pengajaran sastra Indonesia di sekolah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pengajaran bahasa Indonesia.
Konsep dasar pengajaran sastra dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) secara substansi menunjukkan posisi pengajaran sastra lebih dideskripsikan secara jelas dan operasional. Kejelasan posisi ini diungkapkan dalam tujuan umum pembelajaran, yaitu peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri (BNSP 2006:317). Standar kompetensi dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) meliputi empat aspek keterampilan di dalam belajar bahasa yakni: mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis yang berkaitan dengan ragam sastra. Dengan demikian, posisi materi pengajaran sastra dalam pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia semakin baik dan deskripsinya semakin jelas.
Tujuan pengajaran umum itu dijabarkan lagi dalam beberapa tujuan khusus. Tujuan khusus yang terkait dengan pengetahuan sastra, yaitu siswa dapat menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Selain itu, dari pembelajaran sastra siswa diharapkan dapat menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Pada akhir pendidikan di SD/MI, peserta didik telah membaca sekurang-kurangnya sembilan buku sastra dan nonsastra (BNSP, 2006:318).
Adapun standar kompetensi dalam kemampuan bersastra disebutkan dalam Kurikulum Satuan Tingkat Pendidikan (KTSP) antara lain sebagai berikut.
1. Mendengarkan: peserta didik mampu mendengarkan karya sastra yang dikisahkan atau dibacakan dan memahami pikiran, perasaan, dan imajinasi yang terkandung di dalam karya sastra berbentuk dongeng, puisi, cerita, drama, pantun, dan cerita rakyat.
2. Berbicara: peserta didik mampu menggunakan wacana lisan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan atas pemahaman mereka dalam membaca karya sastra anak berbentuk dongeng, pantun, drama, dan puisi.
3. Membaca: peserta didik mampu menggunakan berbagai teknik membaca untuk memahami wacana karya sastra anak berbentuk puisi, dongeng, pantun, percakapan, cerita, dan drama.
4. Menulis: peserta didik mampu menulis karangan sederhana untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam bentuk cerita, puisi, dan pantun (BNSP, 2006:16).

3.2 Menulis Kreatif
3.2.1 Menulis

Kata 'menulis' mempunyai dua arti. Pertama, menulis berarti mengubah bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia menjadi tanda-tanda yang dapat dilihat. Kedua, kata 'menulis' mempunyai arti suatu kegiatan mengungkapkan gagasan secara tertulis. Orang yang melakukan kegiatan ini disebut penulis dan hasil kegiatannya berupa tulisan (Asrul Wijayanto dalam Rusilah, 2006:6).
Sebelum menulis atau mengarang harus terlebih dahulu menyiapkan kerangka karangan. Kerangka karangan memungkinkan penulis membedakan gagasan utama dan gagasan-gagasan tambahan sehingga dapat membantu penulis menyusun karangan secara teratur. Wujud dan gagasan dapat dilihat secara jelas hingga susunan dan hubungan timbal balik antargagasan itu tepat.

3.2.2 Menulis Kreatif

Menulis kreatif bisa disimpulkan sebagai suatu kegiatan mewujudkan apa yang ada di otak dengan sebagai suatu langkah awal yang ditulis oleh tangan kita (Laksana, 2007:3). Hal ini didukung oleh pengertian menulis kreatif dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke-3 yang menyatakan kegiatan melahirkan pikiran atau perasaan dengan tulisan yang memiliki daya cipta (2003:599).
Dalam rangka menulis kreatif, yang dibutuhkan adalah adanya kemauan walau tanpa ide (Laksana, 2007:5). Dengan adanya kemauan untuk menulis, terciptalah tulisan. Keinginan menulis harus diwujudkan menjadi sebuah tindakan menulis dan itu memerlukan sedikit kemauan untuk menyingkirkan penundaan dan tidak ambil peduli terhadap mood. Langkah selanjutnya adalah memunculkan ide. Ide dapat muncul dengan cara memancing datangnya ide, menangkap, dan mengembangkannya. Langkah selanjutnya adalah menulis berdasarkan ide yang telah dikembangkan tersebut. Pada saat menulis cobalah untuk menulis secara sederhana dan apa adanya. Menulis sebagaimana berbicara supaya dipahami. Menulis harus dilakukan secara cepat dengan membatasi waktu. Menulislah yang buruk, lalu editlah. Menulis tidak boleh dilakukan secara bersamaan dengan mengedit. Hal ini untuk menghindari penyumbatan mengalirnya kata dan terhambatnya pengembangan ide. Jangan pedulikan apakah susunan kalimatnya baik atau buruk. Yang paling penting adalah menumpahkan semua yang ingin disampaikan. Pada saat mengedit inilah otak akan bekerja untuk menyusun tulisan yang dibuat sehingga mengalir dan mudah dibaca. Ubah susunan kalimat kalau perlu. Buang bagian dari kalimat atau kalimat itu sendiri jika dirasa tidak tepat. Pikirkan pilihan kata yang dianggap kuat.
Cara lain yang dapat dilakukan untuk menulis kreatif adalah dengan menggunakan kata kunci. Kata kunci tersebut digunakan untuk mengawali sebuah paragraf. Pengembangan paragraf dilakukan sebagai pengembangan kata kunci dengan cara menguraikan secara detail mengenai karakteristik kata kunci tersebut, bisa ditinjau dari kegunaan, bentuk, warna, ukuran, letak, rasa, sifat, aroma, maupun cara penggunaannya. Misalkan pada sebuah paragraf digunakan tiga kata kunci yang sepertinya tidak ada hubungannya, ternyata setelah mengalami tahap pengeditan akan terbentuklah sebuah jalinan yang memiliki keterkaitan dan bisa dipahami maksud yang tersurat dan tersirat pada tulisan itu secara baik oleh pembaca.

3.3.3 Metode Menulis Kreatif

Menulis kreatif sebagai wujud kegiatan mengarang memang perlu dilatihkan pada siswa. Oleh karena itu, peran aktif guru sangat diperlukan untuk membantu siswa menuangkan ide. Siswa perlu banyak latihan mengarang untuk meningkatkan kreativitasnya dalam menulis. Latihan ini merupakan umpan yang diberikan kepada siswa agar ditemukan metode yang paling tepat dan menggugah imajinasi siswa dalam menumpahkan idenya dalam bentuk karangan.
Metode yang dipilih harus disesuaikan dengan karakteristik siswa, meliputi: umur, tingkatan kelas, latar belakang sosial ekonomi, lingkungan, dan pengalaman. Guru bisa juga mengambil bahan pemancing ide dari kebiasaan siswa yang pada umumnya senang dengan hal-hal yang masih bersifat khayal, komik, dongeng, binatang, dan hobi. Semua bahan pemancing ide itu bisa berupa visual atau adio atau audio visual yang dapat merangsang kreativitas siswa dengan kemasan yang menarik.


Daftar Pustaka


Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: BSNP.
Laksana, A.S. 2007. Creative Writing: Tip dan Strategi Menulis Cerpen dan Novel. Jakarta: 2007.
Parera, Jos Daniel. 1996. Kurikulum 1994 Bahasa Indonesia: Pedoman Kegiatan Belajar Bahasa Indonesia Landas Oikir Landas Teori untuk Guru Bahasa Indonesia SLTP dan SMU. Jakarta: Grasindo.
Rusilah. 2006. "Penelitian Tindakan Kelas: Penerapan Strategi Area Isi untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Prosa Sederhana bagi Siswa Kelas V SDN Sendangmulyo 03, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang Tahun Ajaran 2006/2007".
Sugihastuti. 2002. Teori dan Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tim Penyusun KBBI Edisi Ketiga. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Check it out !!!