Kamis, 09 Juni 2011

Kritik Sastra pada Puisi Sesobek Buku Harian Indonesia Karya Emha Ainun Najib

Pengantar
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kritik adalah kecaman yang seringkali disertai dengan pertimbangan baik buruk dan jalan keluar. Sastra merupakan karya tulis yang memiliki nilai seni. Oleh sebab itu, kritik sastra dapat diartikan sebagai kecaman terhadap karya tulis yang memiliki nilai seni yang seringkali disertai dengan pertimbangan baik buruk dan jalan keluar. Namun, kritik sastra juga dapat dimaknai sebagai suatu bentuk penyelidikan yang langsung berurusan dengan suatu karya sastra tertentu. Selain menimbang bernilai atau tidaknya suatu puisi, penyelidikan ini juga menjernihkan segala macam persoalan yang meliputi karya sastra itu dengan memberikan penafsiran, penjelasan, dan uraian (Hardjana, 1985:37).
Kritik sastra mampu menunjukkan nilai suatu karya tertentu secara tepat dan cemerlang, meniadakan persoalan-persoalan yang sulit dan rumit meliputi karya tersebut melalui penjelasan, uraian, bahkan penafsiran (Hardjana, 1985:43). Kerumitan-kerumitan yang dimaksud kurang pahamnya pembaca dalam menilai suatu karya sastra. Hal ini menyebabkan karya yang dinilai baik pun belum tentu mendapatkan sambutan yang baik pula dari pembaca. Disinilah fungsi dari kritik sastra. Apabila seorang kritikus mampu memberikan penjelasan mengenai metafora-metafora tertentu, simbol-simbol yang ada, ataupun makna di dalam suatu karya sastra, pembaca tentu akan lebih mudah untuk memahami karya sastra.
Dalam pembahasan kali ini, karya sastra yang dipilih adalah puisi dari Emha Ainun Nadjib yang berjudul Sesobek Buku Harian Indonesia. Karya sastra puisi dipilih karena puisi merupakan salah satu sajian sastra yang sering dinikmati oleh semua orang. Gaya bahasanya yang indah menjadi keistimewaan dari puisi. Puisi berisi ungkapan hati dari pengarangnya, baik dari pengamatan ataupun pengalaman pribadi. Dalam menilai sebuah puisi, pembaca tidak bisa sekadar menerka-nerka maksud dari puisi tersebut. Pembaca perlu mengkritik puisi dalam melakukan proses penilaiannya. Oleh karena itu, pembaca membutuhkan pendekatan yang sesuai untuk mengkritik puisi secara keseluruhan.
Puisi Karya Emha Ainun Najib
Sesobek Buku Harian Indonesia
Melihat pentas-pentas drama di negeriku
berjudul Pesta Darah di Jember
Menyerbu Negeri Hantu Putih di Solo,
Klaten, Semarang, Surabaya, dan Medan
Teror atas Gardu Pengaman Rakyat di Bandung
Woyla.
Ah, ingat ke hari kemarin
pentas sandiwara rakyat
yang berjudul Komando Jihad.
Ingat Malari.
Ingat berates pentas drama
yang naskahnya tak ketahuan
dan mata kita yang telanjang
dengan gampang dikelabui dan dijerumuskan.
Ah, drama-drama total
yang tanpa panggung
melainkan berlangsung di atas hamparan
kepala-kepala penonton.
Darah mengucur, kembang kematian.
Bau busuk air liur para sutradara licik
yang bersembunyi di hati mulia para rakyat
Drama peradaban yang bermain nyawa
mencumbu kemanusiaan
berkelakar secara rendahan kepada Tuhan.
Kita orang-orang yang amat lugu dan tak tahu
Pikiran disetir
Hidung dicocok dan disemprot parfum
Pantat disodok dan kita meringkik-ringkik
tanpa ada maknanya.
Kita yang terlalu polos dan pemaaf
beriuh rendah di antara kita sendiri
bagai anak-anak kecil yang sibuk dikasih petasan
kemudian tertidur lelap
sesudah disuapi sepotong kue bolu dan permen karet.
Ah, milik siapa tanah ini.
Milik siapa hutan-hutan yang ditebang.
Pasir timah dan kayu yang secara resmi diselundupkan
Milik siapa tambang-tambang
keputusan buat masa depan
Milik siapa tabungan alam
yang kini diboroskan habis-habisan
Milik siapa perubahan-perubahan
kepentingan dari surat-surat keputusan
Kita ini sendiri
milik siapakah gerangan.
Pernahkah kita sedikit saja memiliki
Lebih dari sekadar dimiliki, dan dimiliki.
Pernahkah kita sedikit saja menentukan
lebih dari sekadar ditentukan, dan ditentukan.
Yogya, 13 Maret 1982
Profil Penyair
Emha Ainun Nadjib (lahir di Djombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953; umur 57 tahun) adalah seorang tokoh intelektual yang mengusung nafas Islami di Indonesia. Ia merupakan anak keempat dari 15 bersaudara. Pendidikan formalnya hanya berakhir di Semester 1 Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM). Sebelumnya dia pernah ‘diusir’ dari Pondok Modern Gontor Ponorogo karena melakukan ‘demo’ melawan pemerintah pada pertengahan tahun ketiga studinya, kemudian pindah ke Yogya dan tamat SMA Muhammadiyah I. Dalam kesehariannya saat ini, Emha terjun langsung di masyarakat dan melakukan aktivitas-aktivitas yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik, sinergi ekonomi guna menumbuhkan potensialitas rakyat. (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Emha_Ainun_Nadjib)

A. Analisis Puisi Berdasarkan Model Pendekatannya terhadap Karya Sastra
Berdasarkan model pendekatan terhadap karya sastra, kritik sastra digolongkan menjadi empat tipe:
1. Kritik Mimetik (Mimetic criticism)
Dalam buku ”Prinsip-prinsip Kritik Sastra”, menyebutkan bahwa kritik mimetik memandang karya sastra sebagai tiruan, pencerminan, atau penggambaran dunia luar dan kehidupan manusia. Kriteria yang utama dikenakan pada karya sastra adalah ”kebenaran” penggambarannya terhadap objek yang digambarkan atau hendak digambarkan (Pradopo, 2003:192). Dalam puisi Sesobek Buku Harian Indonesia, mimetik terlihat pada baris yang berbunyi:
melainkan berlangsung di atas hamparan
kepala-kepala penonton.
Darah mengucur, kembang kematian.
Bau busuk air liur para sutradara licik
yang bersembunyi di hati mulia para rakyat
Drama peradaban yang bermain nyawa
mencumbu kemanusiaan
berkelakar secara rendahan kepada Tuhan.
Kita orang-orang yang amat lugu dan tak tahu
Pikiran disetir
Hidung dicocok dan disemprot parfum
Pantat disodok dan kita meringkik-ringkik
Dalam baris puisi di atas, penyair menjelaskan tentang keadaan Indonesia dan masyarakatnya saat itu. Keadaan Indonesia yang diidentikan dengan drama peradapan yang bermain nyawa atau bisa dimaknai sebagai kejadian yang dibuat sedemikian rupa yang dapat menghilangkan nyawa seseorang. Penyair juga ingin mengungkapkan keadaan rakyat yang dengan mudah disetir oleh pemerintah, menuruti apa saja yang diperintahkan seperti istilah kerbau yang dicocok hidungnya.
Dilihat dari segi mimetiknya, puisi ini dianggap berkualitas baik karena diangkat dari suatu kenyataan. Puisi ini dibuat pada 13 Maret 1982, dimana pemerintahan Soeharto mempunyai kuasa yang tinggi terhadap nasib rakyat. Hal ini membuat rakyat menjadi tunduk dan patuh terhadap pemerintahan Soeharto karena merasa takut. Rakyat seakan tidak sadar diperlakukan selayaknya boneka dalam pemerintahan Orde Baru.
2. Kritik Pragmatik (pracmatic criticm)
Kritik ini memandang karya sastra sebagai sesuatu yang disusun yang mempunyai tujuan untuk mencapai efek-efek tertentu pada pembaca. Kritik pragmatik cenderung menimbang nilai karya sastra sesuai dengan keberhasilannya dalam mencapai tujuan tersebut (Pradopo, 2007: 192). Dalam puisi ini, kritik prakmatik terdapat pada lima belas baris terakhir puisi.
Ah, milik siapa tanah ini.
Milik siapa hutan-hutan yang ditebang.
Pasir timah dan kayu yang secara resmi diselundupkan
Milik siapa tambang-tambang
keputusan buat masa depan
Milik siapa tabungan alam
yang kini diboroskan habis-habisan
Milik siapa perubahan-perubahan
kepentingan dari surat-surat keputusan
Kita ini sendiri
milik siapakah gerangan.
Pernahkah kita sedikit saja memiliki
Lebih dari sekadar dimiliki, dan dimiliki.
Pernahkah kita sedikit saja menentukan
lebih dari sekadar ditentukan, dan ditentukan.

Puisi Sesobek Buku Harian Indonesia ini memiliki tujuan untuk menggugah kesadaran pembaca terhadap realitas yang terjadi pada saat itu. Penyair menggunakan lima belas baris di akhir puisi untuk menyampaikan tujuannya tersebut. Dalam baris-baris itu, penyair menyebutkan berlimpahnya kekayaan-kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia. Namun, pada saat Orde Baru banyaknya kekayaan itu disalahgunakan. Hutan-hutan ditebang, penyelundupan timah dan kayu, dan penyalahgunaan lainnya disebabkan oleh rakyat Indonesia itu sendiri. Mereka merasa bukan pemilik dari seluruh kekayaan itu sehingga tidak merasa pula punya kewajiban untuk menjaganya. Penyair menggugah kesadaran masyarakat Indonesia untuk memiliki kekayaan Indonesia dan menentukan nasib Indonesia. Dalam menentukan nasib Indonesia, penyair juga menggugah rakyat Indonesia untidak tunduk kepada pemerintahan Soeharto.
3. Kritik Ekspresif
Kritik ekspresif mendefinisikan puisi sebagai ekspresi, curahan, ucapan perasaan, atau sebagai produk imajinasi penyair. Kritik ini menghubungkan karya sastra dengan pengarang (Pradopo, 2003:192-193). Puisi Sesobek Buku Harian Indonesia merupakan refleksi dari Emha Ainun Najib dalam melihat realitas saat itu. Puisi ini dibuat ketika umurnya 29 tahun. Ia merupakan salah satu rakyat yang merasakan sendiri kesengsaraan Indonesia ketika negara tersebut dikuasai oleh Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto. Puisi ini menjadi bukti dari nasib Indonesia saat itu.
4. Kritik Objektif
Kritik ini menganggap karya sastra sebagai sesuatu yang berdiri bebas dari penyair, pambaca, dan dunia sekitarnya. Kriteria utama dalam kritik objektif adalah kriteria intrinsik (Pradopo, 2003:193). Puisi karya Emha Ainun Najib ini terdiri dari 49 baris. Penyair menuliskan puisinya seakan bercerita. Dalam puisi ini, terdapat unsur berima:
Pernahkah kita sedikit saja memiliki
Lebih dari sekadar dimiliki, dan dimiliki.
Pernahkah kita sedikit saja menentukan
lebih dari sekadar ditentukan, dan ditentukan.
Selain itu, terdapat pula bahasa kiasan berupa:
Perbandingan
beriuh rendah di antara kita sendiri
bagai anak-anak kecil yang sibuk dikasih petasan
Metafora
Menyerbu Negeri Hantu Putih di Solo
Bau busuk air liur para sutradara licik

Hiperbola
berjudul Pesta Darah di Jember
Darah mengucur, kembang kematian.

Penyair mendominasi kata-kata dalam puisinya dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh pembaca.
B. Analisis Puisi Berdasarkan Bentuk dan Isinya
1. Berdasarkan Bentuknya
Puisi Sesobek Buku Harian Indonesia mempunyai 49 baris dengan bentuk yang seakan bercerita. Puisi ini tidak mempunyai ritme, tetapi mempunyai rima:
Pernahkah kita sedikit saja memiliki
Lebih dari sekadar dimiliki, dan dimiliki.
Pernahkah kita sedikit saja menentukan
lebih dari sekadar ditentukan, dan ditentukan.
Selain itu, juga memiliki bahasa kiasan
Perbandingan
beriuh rendah di antara kita sendiri
bagai anak-anak kecil yang sibuk dikasih petasan
baris ini membandingkan keadaan yang riuh rendah sama halnya dengan keramaian ketika anak-anak diberi petasan (sesuatu untuk dimainkan)
Metafora
Menyerbu Negeri Hantu Putih di Solo
Bau busuk air liur para sutradara licik
Metafora seperti julukan untuk menyebut seseorang atau sesuatu. Para sutradara licik merupakan julukan untuk pemerintah pada saat itu yang seenaknya mengatur rakyat.
Hiperbola
berjudul Pesta Darah di Jember
Darah mengucur, kembang kematian.
Imaji puisi ini terletak pada pencitraan yang diciptakan:
Citraan visual atau penglihatan dapat dilihat pada baris pertama
Melihat pentas-pentas drama di negeriku

Citraan penciuman terdapat pada
Bau busuk air liur para sutradara licik

Citraan gerak dalam puisi ini ada pada
Menyerbu Negeri Hantu Putih di Solo,
Namun, dari semua unsur yang ada unsur kata nyata yang mendominasi. Penyair menyebutkan kata-kata di puisinya secara konkrit dan bersifat umum sehingga pembaca mudah memahami isi dari puisi.
2. Berdasarkan Isinya
Puisi Sesobek Buku Harian Indonesia merupakan puisi yang mengkritik keadaan Indonesia dan rakyatnya dalam masa pemerintahan Orde Baru. Penyampaiannya menggunakan penganalogian pentas drama dalam kehidupan. Pemerintah diibaratkan sebagai sutradara yang licik. Penganalogian ini membantu pembaca untuk mencerna maksud dari penyair. Perhatikan penganalogian yang diciptakan oleh penyair:
Melihat pentas-pentas drama di negeriku
berjudul Pesta Darah di Jember
Menyerbu Negeri Hantu Putih di Solo,
Klaten, Semarang, Surabaya, dan Medan
Teror atas Gardu Pengaman Rakyat di Bandung
Woyla.
Ah, ingat ke hari kemarin
pentas sandiwara rakyat
yang berjudul Komando Jihad.
Ingat Malari.
Ingat berates pentas drama
yang naskahnya tak ketahuan
dan mata kita yang telanjang
dengan gampang dikelabui dan dijerumuskan.
Ah, drama-drama total
yang tanpa panggung
melainkan berlangsung di atas hamparan
kepala-kepala penonton.
Darah mengucur, kembang kematian.
Bau busuk air liur para sutradara licik
yang bersembunyi di hati mulia para rakyat
Drama peradaban yang bermain nyawa
Judul Sesobek Buku Harian Indonesia mencerminkan isi dari puisinya. Judul tersebut mengandung curahan hati terhadap nasib Indonesia yang memprihatinkan atau mengurai kesedihan. Hal itu teridentifikasi dari kata ”sesobek” yang maknanya sesuatu yang rusak. Melaui puisinya, penyair mencoba untuk menunjukkan betapa rusaknya keadaan Indonesia pada masa Orde Baru sehingga dapat menggugah kesadaran rakyatnya untuk tidak lagi tunduk pada pemerintahan Soeharto. Namun, sekadar menggugah kesadaran rakyat Indonesia tidak lantas dapat menyelesaikan masalah. Penyair seharusnya juga mampu memberikan motivasi ataupun alternatif kepada rakyat untuk menyikapi masalah tersebut pada saat itu.
Kesimpulan
Dari hasil analisis di atas, puisi Sesobek Buku Harian Indonesia mempergunakan keempat pendekatan, yakni kritik mimetik, kritik pragmatik, kritik ekspresif, dan kritik objektif. Dalam kenyataannya sebuah kritik sastra jarang yang hanya mempergunakan satu pendekatan secara mutlak. Keempat pendekatan itu sering tercampur. Bahkan, kritik sastra hendaknya memperhatikan keempat pendekatan tersebut demi kesempurnaan dalam menimbang karya sastra (Pradopo, 2003:193).
Berdasarkan bentuk, puisi karya Emha Ainun Najib mempunyai rima dan bahasa kiasan metafora, perbandingan, dan hiperbola. Imaji yang diciptakan merupakan pencitraan penglihatan, penciuman, dan gerak. Apabila dilihat berdasarkan isisnya, Sesobek Buku Harian Indonesia merupakan puisi yang mengkritik keadaan Indonesia dan rakyatnya dalam masa pemerintahan Orde Baru. Penyair mencoba untuk menunjukkan betapa rusaknya keadaan Indonesia pada masa Orde Baru sehingga dapat menggugah kesadaran rakyatnya untuk tidak lagi tunduk pada pemerintahan Soeharto.
Menurut saya, sekadar menggugah kesadaran rakyat Indonesia tidak lantas dapat menyelesaikan masalah. Penyair seharusnya juga mampu memberikan semangat dan alternatif dalam menyelesaikan masalah pada saat itu sehingga puisi ini juga dapat berkontribusi untuk rakyat Indonesia. Dengan demikian, rakyat Indonesia tidak perlu menderita lebih lama lagi dan baru berinisiatif melakukan reformasi pada tahun 1988.
Daftar Pustaka
Hardjana, Andre. 1985. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Nadjib, Emha Ainun. 1993. Sesobek Buku Harian Indonesia. Yogyakarta:Bentang Intervisi Utama.
Pradopo, Rachmad Djoko. 2003. Prinsip-prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

0 komentar:

To Use A Smiley In Your Comment, Simply Add The Characters Beside Your Choosen Smiley To The Comment:
:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =)) Grab Smily Gadget

Posting Komentar