Selasa, 25 Oktober 2011

Perolehan Bahasa Pada Anak Usia 1-3 Tahun

ABSTRAK

Bahasa memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Selain sebagai medium untuk melakukan tindakan, bahasa juga berfungsi sebagai cerminan budaya penuturnya. Bahasa adalah sumber kehidupan dan kekuatan. Bahasa dapat mengontrol perilaku, merealisasikan tindakan dan mengubah situasi. Bahasa adalah lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan dalam komunikasi dan memungkinkan orang-orang dari latar belakang budaya berbeda dapat berinteraksi. (Oktavianus, 2006:2).
Pemerolehan bahasa pada anak usia 1 – 3 tahun merupakan proses yang bersifat fisik dan psikhis. Secara fisik, kemampuan anak dalam memproduksi kata-kata ditandai oleh perkembangan bibir, lidah, dan gigi mereka yang sedang tumbuh. Pada tahap tertentu pemerolehan bahasa (kemampuan mengucapkan dan memahami arti kata juga tidak lepas dari kemampuan mendengarkan, melihat, dan mengartikan simbol-simbol bunyi dengan kematangan otaknya. Sedangkan secara psikhis, kemampuan memproduksi kata-kata dan variasi ucapan sangat ditentukan oleh situasi emosional anak saat berlatih mengucapkan kata-kata. Anak-anak yang mendapatkan bimbingan dan dorongan moral yang sangat kuat akan memperoleh kata-kata yang banyak dan bervariasi dibandingkan anak-anak lainnya. Makalah ini menguraikan secara singkat dan sederhana proses pemerolehan bahasa tersebut secara pragmatis dan memaparkan beberapa contoh ucapan anak untuk fonem-fonem tertentu yang secara umum mengalami kesulitan dalam pengucapan (ditinjau secara fonologis).
Dari berbagai macam keuniversalan serta proses pemerolehan seperti yang baru saja digambarkan tampak bahwa pemerolehan bahasa seorang anak berkaitan erat dengan keuniversalan bahasa. Bahkan keterkaitan ini lebih menjurus lagi dalam arti bahwa ada elemen-elemen bahasa yang urutan pemerolehannya bersifat universal absolut, ada yang universal statistikal, dan ada pula yang universal implikasional. (Soenjono Dardjowidjojo : 21)

Kata kunci : pemerolehan bahasa, pragmatis, fonologis

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Berkaitan dengan pola pengucapan oleh anak-anak pada umumnya, perlu diperhatikan beberapa persamaan dan perbedaan untuk beberapa vokal dan konsonan tertentu. Pengucapan kata berdasarkan sistem tanda (simbol) ini dipelajari oleh cabang ilmu bahasa yang disebut fonologi. Sebagaimana dijelaskan oleh Kushartanti, ilmu tentang bunyi pada umumnya disebut fonetik; bunyi bahasa diteliti dan diuraikan dalam fonologi atau fonemik. Ilmu atau sistem tentang makna disebut semantik. Leksikon, gramatika, dan fonologi sebagai tiga bagian dari struktur bahasa menyangkut segi makna dan segi bunyi dari bahasa; oleh sebab itu juga mempunyai aspek semantis dan aspek fonetis. Subsistem fonologi atau struktur fonologis mencakup segi-segi bunyi bahasa, baik yang bersangkutan dengan ciri-cirinya (yang diteliti oleh fonetik), maupun yang bersangkutan dengan fungsinya dalam komunikasi (Kushartanti, 2005:7).
Kemampuan berbahasa anak ditentukan oleh masa pertumbuhan yang sangat potensial yakni dalam kisaran usia 0 sampai dengan 11 tahun (catatan kuliah Prof. Kunardi, dalam mata kuliah Pemerolehan Bahasa). Hal ini belum banyak dipahami oleh para orang tua, sehingga belum banyak orang tua yang memberikan perlakuan khusus kepada anak-anaknya dalam hal belajar bahasa. Kekurangpahaman orang tua tentang waktu efektif mempelajari bahasa ini, menyebabkan beberapa keterlambatan pemerolehan bahasa anak dibandingkan sebayanya. Pada pengucapan fonem tertentu, anak mengalami kesulitan, meskipun pada akhirnya mereka akan mampu mengucapkan fonem yang dimaksud.
Secara praktis, timbul kendala awal dalam pengucapan kata-kata tertentu, misal pengucapan fonem r (getar), yang bahkan pada kasus tertentu, sampai tua pun ada orang yang mengalami kesulitan mengucapkan fonem tersebut. Mestinya hal tersebut tidak perlu terjadi jika orang tua secara sadar dan kontinyu melatihkan pengucapan fonem getar kepada anak-anak mereka pada usia dini. Sedangkan secara teoretis, pemahaman makna kata oleh anak sangat dipengaruhi kemampuan memori dalam otaknya yang masih jernih dan belum terkontaminasi oleh permasalahan-permasalahan lain dalam kehidupannya. Sebagaimana dijelaskan, ada keterkaitan yang erat antara perkembangan bahasa seorang anak dengan pertumbuhan neurologi maupun biologinya. (Soenjono Dardjowidjojo : 4)
Sebuah penelitian menggambarkan bahwa pada usia 0 – 11 tahun, kemampuan anak untuk menyerap (mengucapkan dan memahami makna kata) sangat luar biasa, sedangkan masa sesudah itu, perkembangan kemampuan kembali ke irama dan tempo yang normal (tidak terlalu cepat).
Makalah ini mencoba mencirikan pemerolehan bahasa anak secara dini dengan maksud agar pembaca (khususnya orang tua anak) memiliki pengetahuan awal dalam membantu anak-anak mereka mendapatkan kemampuan secara optimal. Secara khusus makalah ini juga menandai berbagai ucapan yang dikaitkan dengan kemampuan alat ucap anak, terutama kata-kata yang mengandung fonem l, r, w, dan y.

2. Rumusan Masalah
Oleh karena keterbatasan kesempatan melakukan penelitian secara terstruktur, pada makalah ini hanya dirumuskan beberapa masalah berdasarkan pengalaman langsung penulis ketika melihat pertumbuhan kebahasaan anak di sekitar penulis. Rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut.
a. Adakah kesamaan kemampuan anak dalam mengucapkan kata-kata tertentu?
b. Siapa yang paling berperan dalam mengembangkan kemampuan berbahasa anak?
c. Bagaimana upaya terbaik dalam mengembangkan kemampuan awal kebahasaan anak ini?
d. Mengapa kemampuan kebahasaan anak ini perlu dipersiapkan secara dini?

3. Tujuan
Tulisan ini bermaksud menelaah secara kasuistis ucapan-ucapan anak pada usia 1 – 3 tahun dan dikaitkan dengan permasalahan pemerolehan bahasa anak secara keseluruhan. Dengan demikian tulisan sederhana ini memberikan orientasi kepada pembaca, khususnya para orang tua yang sedang mengembangkan kebahasaan anak pada usia dini (balita).

4. Manfaat
Tulisan ini diharapkan memberikan sumbangsih yang berarti bagi pembaca khususnya para orang tua, yang karena kesibukan dan tugas kesehariannya harus menyerahkan pengasuhan anaknya kepada baby sitter. Bagi penulis dan dunia pendidikan tulisan ini diharapkan menjadi wacana untuk dikaji demi kemajuan perkembangan bahasa pada waktu mendatang.

5. Landasan Teori.
a. Komponen bahasa
Komponen bahasa meliputi fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan pragmatik. Karenanya kemampuan berbahasa anak juga berkait erat dengan kelima komponen tersebut. Pengetahuan bahasa, atau pengetauan apa pun tidak dapat diproleh secara nativistik (kodrati) atau berdasarkan empirikal atau lingkungan saja (Soenjono Dardjowidjojo : 10).

b. Keuniversalan dan Pemerolehan Bunyi
Dalam kaitan antara konsep universal dengan pemerolehan bahasa khususnya pemerolehan fonologis, Jakobson dan Clark and Clark (dalam Soenjono Dardjowidjojo : 21), mengemukakan adanya keuniversalan dalam bunyi-bunyi pada bahasa itu sendiri serta urutan pemerolehannya.

c. Pengembangan Potensi
Potensi anak perlu dikembangkan seoptimal mungkin, agar mereka dapat memperoleh kehidupan yang baik. Sebagaimana diungkapkan Utami Munandar (2003 : 21), manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa telah dilengkapi dengan berbagai potensi dan kemampuan. Potensi itu pada dasarnya merupakan anugerah kepada manusia yang semestinya dimanfaatkan dan dikembangkan, serta jangan disia-siakan. Peserta didik (anak) yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa (termasuk bahasa), sebagaimana anak pada umumnya, juga mempunyai kebutuhan pokok dan keberadaannya (eksistensinya). Apabila kebutuhan pokoknya tidak terpenuhi, mereka akan menderita kecemasan dan keragu-raguan. Jika potensi mereka tidak dimanfaatkan, mereka walaupun potensial akan mengalami kesulitan.

B. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah kajian pustaka atau study literer, dengan mendasarkan pengembangan wacana beradasarkan pengamatan langsung terhadap objek dan berdasarkan pencatatan proses pemerolehan bahasa anak pada usia tertentu (1 sampai 3 tahun).
.
C. Hasil Pengkajian dan Pembahasan
1. Hasil pengumpulan data
Beberapa ucapan anak pada saat mereka di bawah 3 tahun berikut, bisa dianalisis berdasarkan perkembangan fisik dan psikis penuturnya. Sebagaimana terurai pada tabel berikut.
1
Eki Febrian
23-Jan-04
lampu
lucu
alis
2
Fitria
21-Nov-04
lampu
lutu
alis
3
Fadhilah Dzikri Arian
16-Dec-04
lapu
lucu
alis
4
Natalia Cintya Putri Raharjo
29-May-05
ampu
lucu
alis
5
Alena Nathania
4-Mar-05
lampu
lucu
alis

1
Eki Febrian
23-Jan-04
guling
mobil
bantal
2
Fitria
21-Nov-04
guling
mobil
bantal
3
Fadhilah Dzikri Arian
16-Dec-04
guling
mobil
bantal
4
Natalia Cintya Putri Raharjo
29-May-05
guling
mobil
bantal
5
Alena Nathania
4-Mar-05
guling
mobi
banta

1
Eki Febrian
23-Jan-04
loti
lambut
pelmen
2
Fitria
21-Nov-04
roti
rambut
remen
3
Fadhilah Dzikri Arian
16-Dec-04
loti
lambut
pemen
4
Natalia Cintya Putri Raharjo
29-May-05
oti
ambut
emen
5
Alena Nathania
4-Mar-05
toti
tambut
pemen

1
Eki Febrian
23-Jan-04
jeluk
anggul
segal
2
Fitria
21-Nov-04
jorok
anggur
segar
3
Fadhilah Dzikri Arian
16-Dec-04
jeluk
anggul
segal
4
Natalia Cintya Putri Raharjo
29-May-05
jeuk
anggung
segal
5
Alena Nathania
4-Mar-05
juluk
anggu
cega
1
Eki Febrian
23-Jan-04
waduk
wajib
awan
2
Fitria
21-Nov-04
waduk
wajib
awan
3
Fadhilah Dzikri Arian
16-Dec-04
waduk
wajib
awan
4
Natalia Cintya Putri Raharjo
29-May-05
waduk
wajib
awan
5
Alena Nathania
4-Mar-05
waduk
wajib
awan

1
Eki Febrian
23-Jan-04
iwak
yakin
yahut
2
Fitria
21-Nov-04
iwak
yakin
yaut
3
Fadhilah Dzikri Arian
16-Dec-04
iwak
yakin
yahut
4
Natalia Cintya Putri Raharjo
29-May-05
iwak
yakin
yahut
5
Alena Nathania
4-Mar-05
iwak
yakin
yahut

1
Eki Febrian
23-Jan-04
bayam
kayu

2
Fitria
21-Nov-04
bayam
kayu

3
Fadhilah Dzikri Arian
16-Dec-04
bayam
kayu

4
Natalia Cintya Putri Raharjo
29-May-05
bayam
kayu

5
Alena Nathania
4-Mar-05
bayam
kayu







2. Pembahasan
Karena pemerolehan bahasa menyangkut berbagai aspek perkembangan, maka pandangan dati banyak ahli dalam berbagai bidang yang relevan seperti linguistik umum, psikologi, neurologi, biologi, dan pemerolehan bahasa akan dimanfaatkan. Perkembangan pemerolehan bahasa oleh Ingram (dalam Kushartanti. 2005 : 23) dibagi menjadi tiga periode yaitu : (a) periode buku harian; (b) periode sample besar; (c) periode kajian longitudinal. Menurut H. Taine pada tahun 1876 dalam penelitiannya menggunakan metode buku harian orang tua. Dalam metode ini orang tua membuat buku harian yang isinya merupakan catatan perkembangan bahasa anak yang sering disebut “biografi bayi” (baby biography). Kemudian disusul dengan karya yang lain misalnya karya Preyer 1889. Clara dan Wilhelm Stern 1907. pada tahun 30-an muncul pelopor John B. Watson yang menerbitkan buku Behaviorism yang memiliki ciri-ciri (dalam Kushartanti : 2005 : 11).
Ciri pertama menonjolkan peran lingkungan dalam pemerolehan pengetahuan, termasuk pemerolehan bahasa. Manusia hayalah sebagai tempat kosong yang isinya akan ditentukan oleh alam sekitarnya. Ciri yang kedua, perubahan perilaku anak ditelusuri melalui peristiwa yang kasad mata yang ada di lingkungannya yang sering dimunculkan dalam eksperimen. Ciri yang ketiga, hasil eksperimen dinyatakan dalam system pengukuran yang sifatnya kuantitatif. Ciri yang keempat peniruan dan asosiasi merupakan wahana yang paling ampuh dalam pemerolehan bahasa. Pemerolehan bahasa dicapai dengan menumbuhkan seperangkat kebiasaan dan kebiasaan hanya diperoleh melalui latihan peniruan, asosiasi, dan penekanan (reinforcement).
Pandangan yang nativistik berlandaskan kenyataan bahwa seorang anak dapat memperoleh bahasa mana pun kalau saja ia diberi peluang. Anak memiliki bekal kodrati yang memungkinkan dia dapat memperoleh bahasa apa saja yang disuguhkan kepadanya. Argumentasi Chomsky yang mendukung bekal kodrati. Pertama, pemerolehan bahasa adalah suatu species-spesific human capacity hanya manusialah yang dapat memperoleh bahasa. Ini berarti bahwa dalam benak (mind) manusia ada prinsipel-prinsipel restriktif yang menentukan nature bahasa manusia. Kedua, pemerolehan bahasa sama sekali tidak tergantung pada intelegensi manusia. Betapa pun rendahnya intelegensi manusia (kecuali kalau ada cacat tertentu), dia tetap saja akan dapat berbahasa. Ketiga, pemerolehan bahasa anak di dunia terjadi dalam kondisi yang berbeda-beda namun memiliki strategi yang sama. Keempat, masukan yang diterima anak memang rancu, tetapi anak dapat memilah-milah dan kemudian membuat hipotesis sendiri sehingga akhirnya terbentuklah wujud bahasa yang diterima oleh masyarakat dewasa di sekitarnya.

3. Pemerolehan Fonologi Umur Satu sampai Tiga Tahun.
Perkembangan kabahasaan anak berjalan sesuai dengan jadwal biologisnya. Pernyataan ini perlu dipahami benar karena banyak orang mengaitkan dengan jumlah umur. Pernyataan Lenneberg mengenai hal ini diarahkan pada perkembangan motorik anak, dan pada jumlah tahun dan bulan anak tersebut. Hal ini menyebabkan mengapa ada anak yang berumur tertentu sudah dapat berbicara sedangkan anak yang lain dengan umur yang sama belum.
Dalam pemerolehan bahasa, masukan merupakan faktor yang sangat penting dan sangat menentukan. Manusia tidak akan dapat menguasai bahasa, apabila tidak ada masukan kebahasaan padanya. Selaras dengan bertambahnya kemampuan ujaran kemampuan komprehensifnya pun mulai berjalan cepat, dan mampu menangkap apa yang diucapkan orang dewasa, serta mampu membedakan bahwa sesuatu adalah berbeda dari sesuatu yang lain. Misal ditunjukkan gambar kucing dan orang lain mengatakan ikan, anak akan berkata [ utan ] yang artinya “bukan”. Lingkungan dan orang tua akan menentukan pemerolehan bahasa anak yang berkaitan dengan unsur kesantunan berbicara anak.
Pada umur anak mencapai dua tahun pada umunya telah menguasai semua fonem vokal bahasa Indonesia. Variasi alofonik sudah mulai terdengar, kecuali untuk vokal [o] yang sebenarnya merupakan wujud dari diftong [au] seperti pada kata kerbau dan pisau.
Fonem-fonem yang telah dikuasai anak umur dua sampai tiga tahun ditinjau dari segi fonologi menunjukkan beberapa hal yang menarik. Perkembangan vokal mereka tampak mengikuti teori universal seperti yang dinyatakan oleh Jakobson, meskipun tidak sepenuhnya. Berarti anak usia dua sampai tiga tahun baru mengenal vokal [a], [i], dan [u] kemudian sesuai dengan perkembangannya menyusul vokal-vokal yang lain.
Untuk bagian konsonan, urutan universal yang dianut anak pada umumya berlaku pula pada anak-anak yang berada di daerah yang diteliti penulis. Misalnya pada konsonan bilabial dan alveolar telah muncul secara teratur dengan konsonan ringan [p] dan [t] muncul lebh dahulu.
Konsonan velar [k] dan [g] sama sekali belum terdengar, kecuali [k] pada akhir kata, yang menyerupai bunyi glotal. Pada awal atau tengah kata, kedua bunyi ini diganti dengan bunyi hambat yang lain atau dihilangkan. Pada akhir kata hanya [?] yang sudah muncul.
Munculnya bunyi frikatif [s], dan belum munculnya bunyi frikatif [s] adalah bahwa bunyi ini baru kedengaran bila berada pada akhir kata, misalnya [abis]. Bila pada awal kata, bunyi frikatif ini belum muncul : [ama] “sama”, [ini] “sini”, [akit] “sakit” dan sebagainya. Bunyi frikatif global [h] juga muncul pada akhir kata [nih] “nih”, [tuh] “tuh”, [udah] “sudah”. Pada awal kata bunyi ini tidak kedengaran : [abis] “habis”, [antu] “hantu”. Bunyi frikatif lain, [f], [v], [z], [s], dan [x] sama sekali belum pernah muncul.
Konsonan nasal yang dikuasai adalah [m] dan [n], baik dalam posisi awal, tengah ataupun akhir kata. Melalui perkembangannya bunyi nasal velar [ŋ] juga sudah muncul tetapi masih terbatas pada akhir suku kata. Bunyi nasal palatal [ñ] belum muncul dan diganti dengan bunyi [n].
Pada umumnya gugus konsonan belum muncul sampai unsur sekitar tiga tahun. Walaupun ada gugus konsonan namun masih terbatas pada satu kata, misalnya [mb] pada kata [mbak] dan [nd] pada kata [ndak]. Begitu juga gugus vokal juga belum tampak sehingga kata-kata untuk “kerbau” dan “pisau” diucapkan sebagai “ebo” dan “pitso”.
Dari data di atas tampak bahwa likuid yang berupa [l] muncul tidak lama setelah bunyi hambat ringan. Mungkin sekali munculnya bunyi likuid lateral ini karena kendala atau tekanan semantik yang memerlukan adanya bunyi yang dekat dengan bunyi [r] yang jauh lebih sukar pengujarannya. Bahwa derajat kesukaran fonologis itu memegang peran sudah banyak dinyatakan banyak orang. Elsen (dalam Soenjono, 2000 : 96) menyatakan bahwa perluasan makna dapat pula dipengaruhi oleh kesukaran fonologis ; Levelt menunjukkan bahwa struktur segmental kata juga bisa merupakan kendala ; demikian pula Geirut dkk. (dalam Soenjono, 2000 : 96). Menunjukkan bahwa pemunculan suatu bunyi dapat pula dipengaruhi oleh kendala leksikal.
Untuk kata duduk, enak, dan cantik dapat diucapkan dengan [k] final, tetapi pada kata kecil, kasih, bukan, dan ikan masih diucapkan [etil], [tatsih], [butan], dan [itan].
Pemerolehan bahasa anak umur dua sampai tiga tahun melalui perkembangan fonologi didapatkan rumusan sebagai berikut :
ü sudah diperoleh semua posisi vokal dan konsonan[i e ε u o э a d]
ü Diperoleh tapi baru pada posisi akhir suku kata [k s ŋ ]
ü Belum diperoleh [g f ś z ĉ ĵ ñ r x ]
a. Adakah kesamaan kemampuan anak dalam mengucapkan kata-kata tertentu?
Secara umum ada ucapan-ucapan anak yang menunjukkan kesamaan, misalnya maem, mimik, papa, mama, dan lain-lain. Tetapi secara khusus ada ucapan anak yang unik (tidak seperti anak lainnya), sebagaimana terpapar dalam tabel di atas.
b. Siapa yang paling berperan dalam mengembangkan kemampuan berbahasa anak?
Dalam hal ini ibu dianggap paling menentukan perolehan dan kecakapan bahasa seorang anak. Karena pada hakekatnya anak cenderung meniru dan mengikuti jejak orang tuanya (termasuk bahasa), maka dianjurkan untuk tidak menyebut nama benda dengan ucapan yang cadel (cedal, gagap).
c. Bagaimana upaya terbaik dalam mengembangkan kemampuan awal kebahasaan anak ini?
Upaya yang dilakukan yaitu dengan melatih vokal, yang paling dipahami oleh anak , sebagai contoh fonem A. Selanjutnya anak perlu diberi kesempatan berbicara di hadapan orang tuanya, tidak lain agar anak memiliki keberanian mengeluarkan.
d. Mengapa kemampuan kebahasaan anak ini perlu dipersiapkan secara dini?
Kemampuan kebahasaan anak perlu dipersiapkan dengan seksama, karena sesuai penjelasan di atas bahwa potensi kebahasaan anak dapat dikembangkan dalam usia 0 – 11 tahun.

D. Simpulan
Setelah diuraikan sebagaimana bagian-bagian terdahulu, dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
1. Ada kesamaan kemampuan anak dalam mengucapkan kata-kata tertentu.Secara umum ada ucapan-ucapan anak yang menunjukkan kesamaan, misalnya maem, mimik, papa, mama, dan lain-lain. Tetapi secara khusus ada ucapan anak yang unik (tidak seperti anak lainnya), sebagaimana terpapar dalam tabel di atas.
2. Yang paling berperan dalam mengembangkan kemampuan berbahasa anak adalah ibu. Dalam hal ini ibu dianggap paling menentukan perolehan dan kecakapan bahasa seorang anak. Karena pada hakekatnya anak cenderung meniru dan mengikuti jejak orang tuanya (termasuk bahasa), maka dianjurkan untuk tidak menyebut nama benda dengan ucapan yang cadel (cedal, gagap).
3. Upaya terbaik dalam mengembangkan kemampuan awal kebahasaan anak yaitu dengan melatih vokal, yang paling dipahami oleh anak , sebagai contoh fonem A. Selanjutnya anak perlu diberi kesempatan berbicara di hadapan orang tuanya, tidak lain agar anak memiliki keberanian mengeluarkan.
4. Kemampuan kebahasaan anak ini perlu dipersiapkan secara dini karena sesuai penjelasan pada awal makalah ini, potensi kebahasaan anak dapat dikembangkan dalam usia 0 – 11 tahun.





Daftar Pustaka

Depdiknas, 2003. Pedoman Penyelenggaraan Program Percepatan Belajar SD, SMP, dan SMA. Jakarta: Depdiknas.

Kushartanti, Untung Yuwono, dan Multamia RMT Lauder, 2005. Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Oktavianus, 2006. Analisis Wacana Lintas Bahasa, Yogyakarta: Andalas University Press.

Salomo Simanungkalit, 2006. 111 Kolom Bahasa Kompas. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Samsunuwiyati Mar’at, 2005. Psikolinguistik, Suatu Pengantar. Bandung: Refika Aditama.

Soenjono Dardjowidjojo, 2000. ECHA, Kisah Perolehan Bahasa Anak Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Check it out !!!

Perolehan Bahasa Pada Anak

1. Proses Pemerolehan Bahasa Pertama

Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dengan pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seorang kanak-kanak mempelajari bahasa kedua setelah dia memperoleh bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua (Chaer, 2003:167).


Selama pemerolehan bahasa pertama, Chomsky menyebutkan bahwa ada dua proses yang terjadi ketika seorang kanak-kanak memperoleh bahasa pertamanya. Proses yang dimaksud adalah proses kompetensi dan proses performansi. Kedua proses ini merupakan dua proses yang berlainan. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik) secara tidak disadari. Kompetensi ini dibawa oleh setiap anak sejak lahir. Meskipun dibawa sejak lahir, kompetensi memerlukan pembinaan sehingga anak-anak memiliki performansi dalam berbahasa. Performansi adalah kemampuan anak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Performansi terdiri dari dua proses, yaitu proses pemahaman dan proses penerbitan kalimat-kalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan mengamati atau mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar, sedangkan proses penerbitan melibatkan kemampuan menghasilkan kalimat-kalimat sendiri (Chaer 2003:167).


Selanjutnya, Chomsky juga beranggapan bahwa pemakai bahasa mengerti struktur dari bahasanya yang membuat dia dapat mengkreasi kalimat-kalimat baru yang tidak terhitung jumlahnya dan membuat dia mengerti kalimat-kalimat tersebut. Jadi, kompetensi adalah pengetahuan intuitif yang dipunyai seorang individu mengenai bahasa ibunya (native languange). Intuisi linguistik ini tidak begitu saja ada, tetapi dikembangkan pada anak sejalan dengan pertumbuhannya, sedangkan performansi adalah sesuatu yang dihasilkan oleh kompetensi.


Hal yang patut dipertanyakan adalah bagaimana strategi si anak dalam memperoleh bahasa pertamanya dan apakah setiap anak memiliki strategi yang sama dalam memperoleh bahsa pertamanya? Berkaitan dengan hal ini, Dardjowidjojo, (2005:243-244) menyebutkan bahwa pada umumnya kebanyakan ahli kini berpandangan bahwa anak di mana pun juga memperoleh bahasa pertamanya dengan memakai strategi yang sama. Kesamaan ini tidak hanya dilandasi oleh biologi dan neurologi manusia yang sama, tetapi juga oleh pandangan mentalistik yang menyatakan bahwa anak telah dibekali dengan bekal kodrati pada saat dilahirkan. Di samping itu, dalam bahasa juga terdapat konsep universal sehingga anak secara mental telah mengetahui kodrat-kodrat yang universal ini. Chomsky mengibaratkan anak sebagai entitas yang seluruh tubuhnya telah dipasang tombol serta kabel listrik: mana yang dipencet, itulah yang akan menyebabkan bola lampu tertentu menyala. Jadi, bahasa mana dan wujudnya seperti apa ditentukan oleh input sekitarnya.



2. Tahap-tahap Pemerolehan Bahasa Pertama

Perlu untuk diketahui adalah seorang anak tidak dengan tiba-tiba memiliki tata bahasa B1 dalam otaknya dan lengkap dengan semua kaidahnya. B1 diperolehnya dalam beberapa tahap dan setiap tahap berikutnya lebih mendekati tata bahasa dari bahasa orang dewasa. Menurut para ahli, tahap-tahap ini sedikit banyaknya ada ciri kesemestaan dalam berbagai bahasa di dunia.


Pengetahuan mengenai pemerolehan bahasa dan tahapnya yang paling pertama di dapat dari buku-buku harian yang disimpan oleh orang tua yang juga peneliti ilmu psikolinguistik. Dalam studi-studi yang lebih mutakhir, pengetahuan ini diperoleh melalui rekaman-rekaman dalam pita rekaman, rekaman video, dan eksperimen-eksperimen yang direncanakan. Ada sementara ahli bahasa yang membagi tahap pemerolehan bahasa ke dalam tahap pralinguistik dan linguistik. Akan tetapi, pendirian ini disanggah oleh banyak orang yang berkata bahwa tahap pralinguistik itu tidak dapat dianggap bahasa yang permulaan karena bunyi-bunyi seperti tangisan dan rengekan dikendalikan oleh rangsangan (stimulus) semata-mata, yaitu respons otomatis anak pada rangsangan lapar, sakit, keinginan untuk digendong, dan perasaan senang. Oleh karena itu, tahap-tahap pemerolehan bahasa yang dibahas dalam makalah ini adalah tahap linguistik yang terdiri atas beberapa tahap, yaitu (1) tahap pengocehan (babbling); (2) tahap satu kata (holofrastis); (3) tahap dua kata; (4) tahap menyerupai telegram (telegraphic speech).


2.1 Vokalisasi Bunyi

Pada umur sekitar 6 minggu, bayi mulai mengeluarkan bunyi-bunyi dalam bentuk teriakan, rengekan, dekur. Bunyi yang dikeluarkan oleh bayi mirip dengan bunyi konsonan atau vokal. Akan tetapi, bunyi-bunyi ini belum dapat dipastikan bentuknya karena memang belum terdengar dengan jelas. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah bunyi-bunyi yang dihasilkan tadi merupakan bahasa? Fromkin dan Rodman (1993:395) menyebutkan bahwa bunyi tersebut tidak dapat dianggap sebagai bahasa. Sebagian ahli menyebutkan bahwa bunyi yang dihasilkan oleh bayi ini adalah bunyi-bunyi prabahasa/dekur/vokalisasi bahasa/tahap cooing.

Setelah tahap vokalisasi, bayi mulai mengoceh (babling). Celoteh merupakan ujaran yang memiliki suku kata tunggal seperti mu dan da. Adapun umur si bayi mengoceh tak dapat ditentukan dengan pasti. Mar’at (2005:43) menyebutkan bahwa tahap ocehan ini terjadi pada usia antara 5 dan 6 bulan. Dardjowidjojo (2005: 244) menyebutkan bahwa tahap celoteh terjadi sekitar umur 6 bulan. Tidak hanya itu. ada juga sebagian ahli menyebutkan bahwa celoteh terjadi pada umur 8 sampai dengan 10 bulan. Perbedaan pendapat seperti ini dapat saja. Yang perlu diingat bahwa kemampuan anak berceloteh tergantung pada perkembangan neurologi seorang anak.

Pada tahap celoteh ini, anak sudah menghasilkan vokal dan konsonan yang berbeda seperti frikatif dan nasal. Mereka juga mulai mencampur konsonan dengan vokal. Celotehan dimulai dengan konsonan dan diikuti dengan vokal. Konsonan yang keluar pertama adalah konsonan bilabial hambat dan bilabial nasal. Vokalnya adalah /a/. dengan demikian, strukturnya adalah K-V. Ciri lain dari celotehan adalah pada usia sekitar 8 bulan, stuktur silabel K-V ini kemudian diulang sehingga muncullah struktur seperti:


K1 V1 K1 V1 K1 V1…papapa mamama bababa…


Orang tua mengaitkan kata papa dengan ayah dan mama dengan ibu meskipun apa yang ada di benak tidaklah kita ketahui. Tidak mustahil celotehan itu hanyalah sekedar artikulatori belaka (Djardjowidjojo, 2005:245).

Begitu anak melewati periode mengoceh, mereka mulai menguasai segmen-segmen fonetik yang merupakan balok bangunan yang dipergunakan untuk mengucapkan perkataan. Mereka belajar bagaimana mengucapkan sequence of segmen, yaitu silabe-silabe dan kata-kata. Cara anak-anak mencoba menguasai segmen fonetik ini adalah dengan menggunakan teori hypothesis-testing (Clark & Clark dalam Mar’at 2005:43). Menurut teori ini anak-anak menguji coba berbagai hipotesis tentang bagaimana mencoba memproduksi bunyi yang benar.

Pada tahap-tahap permulaan pemerolehan bahasa, biasanya anak-anak memproduksi perkataan orang dewasa yang disederhanakan sebagai berikut:

(1) menghilangkan konsonan akhir


blumen bu


boot bu

(2) mengurangi kelompok konsonan menjadi segmen tunggal:


batre bate


bring bin

(3) menghilangkan silabel yang tidak diberi tekanan


kunci ti


semut emut

(4) reduplikasi silabel yang sederhana


pergi gigi


nakal kakal

Menurut beberapa hipotesis, penyederhanaan ini disebabkan oleh memory span yang terbatas, kemampuan representasi yang terbatas, kepandaian artikulasi yang terbatas (Mar’at 2005:46-47).

Apakah tahap celoteh ini penting bagi si anak. Jawabannya tentu saja penting. Tahap celoteh ini penting artinya karena anak mulai belajar menggunakan bunyi-bunyi ujaran yang benar dan membuang bunyi ujaran yang salah. Dalam tahap ini anak mulai menirukan pola-pola intonasi kalimat yang diucapkan oleh orang dewasa.


2.2 Tahap Satu-Kata atau Holofrastis

Tahap ini berlangsung ketika anak berusia antara 12 dan 18 bulan. Ujaran-ujaran yang mengandung kata-kata tunggal diucapkan anak untuk mengacu pada benda-benda yang dijumpai sehari-hari. Pada tahap ini pula seorang anak mulai menggunakan serangkaian bunyi berulang-ulang untuk makna yang sama. pada usia ini pula, sang anak sudah mengerti bahwa bunyi ujar berkaitan dengan makna dan mulai mengucapkan kata-kata yang pertama. Itulah sebabnya tahap ini disebut tahap satu kata satu frase atau kalimat, yang berarti bahwa satu kata yang diucapkan anak itu merupakan satu konsep yang lengkap, misalnya “mam” (Saya minta makan); “pa” (Saya mau papa ada di sini), “Ma” (Saya mau mama ada di sini).

Mula-mula, kata-kata itu diucapkan anak itu kalau rangsangan ada di situ, tetapi sesudah lebih dari satu tahun, “pa” berarti juga “Di mana papa?” dan “Ma” dapat juga berarti “Gambar seorang wanita di majalah itu adalah mama”.

Menurut pendapat beberapa peneliti bahasa anak, kata-kata dalam tahap ini mempunyai tiga fungsi, yaitu kata-kata itu dihubungkan dengan perilaku anak itu sendiri atau suatu keinginan untuk suatu perilaku, untuk mengungkapkan suatu perasaan, untuk memberi nama kepada suatu benda. Dalam bentuknya, kata-kata yang diucapkan itu terdiri dari konsonan-konsonan yang mudah dilafalkan seperti m,p,s,k dan vokal-vokal seperti a,i,u,e.


2.3 Tahap Dua-Kata, Satu Frase

Tahap ini berlangsung ketika anak berusia 18-20 bulan. Ujaran-ujaran yang terdiri atas dua kata mulai muncul seperti mama mam dan papa ikut. Kalau pada tahap holofrastis ujaran yang diucapkan si anak belum tentu dapat ditentukan makna, pada tahap dua kata ini, ujaran si anak harus ditafsirkan sesuai dengan konteksnya. Pada tahap ini pula anak sudah mulai berpikir secara “subjek + predikat” meskipun hubungan-hubungan seperti infleksi, kata ganti orang dan jamak belum dapat digunakan. Dalam pikiran anak itu, subjek + predikat dapat terdiri atas kata benda + kata benda, seperti “Ani mainan” yang berarti “Ani sedang bermain dengan mainan” atau kata sifat + kata benda, seperti “kotor patu” yang artinya “Sepatu ini kotor” dan sebagainya.


2.4 Ujaran Telegrafis

Pada usia 2 dan 3 tahun, anak mulai menghasilkan ujaran kata-ganda (multiple-word utterances) atau disebut juga ujaran telegrafis. Anak juga sudah mampu membentuk kalimat dan mengurutkan bentuk-bentuk itu dengan benar. Kosakata anak berkembang dengan pesat mencapai beratus-ratus kata dan cara pengucapan kata-kata semakin mirip dengan bahasa orang dewasa. Contoh dalam tahap ini diberikan oleh Fromkin dan Rodman.

“Cat stand up table” (Kucing berdiri di atas meja);

“What that?” (Apa itu?);

“He play little tune” (dia memainkan lagu pendek);

“Andrew want that” (Saya, yang bernama Andrew, menginginkan itu);

“No sit here” (Jangan duduk di sini!)

Pada usia dini dan seterusnya, seorang anak belajar B1-nya secara bertahap dengan caranya sendiri. Ada teori yang mengatakan bahwa seorang anak dari usia dini belajar bahasa dengan cara menirukan. Namun, Fromkin dan Rodman (1993:403) menyebutkan hasil peniruan yang dilakukan oleh si anak tidak akan sama seperti yang diinginkan oleh orang dewasa. Jika orang dewasa meminta sang anak untuk menyebutkan “He’s going out”, si anak akan melafalkan dengan “He go out”. Ada lagi teori yang mengatakan bahwa seorang anak belajar dengan cara penguatan (reinforcement), artinya kalau seorang anak belajar ujaran-ujaran yang benar, ia mendapat penguatan dalam bentuk pujian, misalnya bagus, pandai, dsb. Akan tetapi, jika ujaran-ujarannya salah, ia mendapat “penguatan negatif”, misalnya lagi, salah, tidak baik. Pandangan ini berasumsi bahwa anak itu harus terus menerus diperbaiki bahasanya kalau salah dan dipuji jika ujarannya itu benar.

Teori ini tampaknya belum dapat diterima seratus persen oleh para ahli psikologi dan ahli psikolinguistik. Yang benar ialah seorang anak membentuk aturan-aturan dan menyusun tata bahasa sendiri. Tidak semua anak menunjukkan kemajuan-kemajuan yang sama meskipun semuanya menunjukkan kemajuan-kemajuan yang reguler.

Selain tahap pemerolehan bahasa yang disebutkan di atas, ada juga para ahli bahasa seperti Aitchison mengemukakan beberapa tahap pemerolehan bahasa anak.


Tahap 1: Mendengkur

Tahap ini mulai berlangsung pada anak usia sekitar enam minggu. Bunyi yang dihasilkan mirip dengan vokal tetapi tidak sama dengan bunyi vokal orang dewasa.


Tahap 2: Meraban

Tahap ini berlangsung ketika usia anak mendekati enam bulan. Tahap meraban merupakan pelatihan bagi alat-alat ucap. Vokal dan konsonan dihasilkan secara serentak.


Tahap 3: Pola intonasi

Anak mulai menirukan pola-pola intonasi. Tuturan yang dihasilkan mirip dengan yang diucapkan ibunya.


Tahap 4: Tuturan satu kata

Pada umur satu tahun sampai delapan belas bulan anak mulai mengucapkan tuturan satu kata. Pada usia ini anak memperoleh sekitar lima belas kata meliputi nama orang, binatang, dan lain-lain.


Tahap 5: Tuturan dua kata

Umumnya pada usia dua setengah tahun anak sudah menguasai beberapa ratus kata. Tuturan hanya terdiri atas dua kata.


Tahap 6: Infleksi kata

Kata-kata yang dianggap remeh dan infleksi mulai digunakan. Dalam bahasa Indonesia yang tidak mengenal istilah infleksi, mungkin berwujud pemerolehan bentuk-bentuk derivasi, misalnya kata kerja yang mengandung awalan atau akhiran.


Tahap 7: Bentuk Tanya dan bentuk ingkar

Anak mulai memperoleh kalimat tanya dengan kata tanya seperti apa, siapa, kapan, dan sebagainya. Di samping itu anak juga sudah mengenal bentuk ingkar.


Tahap 8: Konstruksi yang jarang atau kompleks

Anak sudah mulai berusaha menafsirkan meskipun penafsirannya dilakukan secara keliru. Anak juga memperoleh kalimat dengan struktur yang rumit, seperti pemerolehan kalimat majemuk.


Tahap 9: Tuturan yang matang

3. Pada tahap ini anak sudah dapat menghasilkan kalimat-kalimat seperti orang dewasa.


Proses Perkembangan Bahasa Anak

1. Fonologi

Anak menggunakan bunyi-bunyi yang telah dipelajarinya dengan bunyi-bunyi yang belum dipelajari, misalnya menggantikan bunyi /l/ yang sudah dipelajari dengan bunyi /r/ yang belum dipelajari. Pada akhir periode berceloteh, anak sudah mampu mengendalikan intonasi, modulasi nada, dan kontur bahasa yang dipelajarinya.


2. Morfologi

Pada usia 3 tahun anak sudah membentuk beberapa morfem yang menunjukkan fungsi gramatikal nomina dan verba yang digunakan. Kesalahan gramatika sering terjadi pada tahap ini karena anak masih berusaha mengatakan apa yang ingin dia sampaikan. Anak terus memperbaiki bahasanya sampai usia sepuluh tahun.


3. Sintaksis

Alamsyah (2007:21) menyebutkan bahwa anak-anak mengembangkan tingkat gramatikal kalimat yang dihasilkan melalui beberapa tahap, yaitu melalui peniruan, melalui penggolongan morfem, dan melalui penyusunan dengan cara menempatkan kata-kata secara bersama-sama untuk membentuk kalimat.


4. Semantik

Anak menggunakan kata-kata tertentu berdasarkan kesamaan gerak, ukuran, dan bentuk. Misalnya, anak sudah mengetahui makna kata jam. Awalnya anak hanya mengacu pada jam tangan orang tuanya, namun kemudian dia memakai kata tersebut untuk semua jenis jam.


4. Teori-teori tentang Pemerolehan Bahasa Pertama

4.1 Teori Behaviorisme

Teori behaviorisme menyoroti aspek perilaku kebahasaan yang dapat diamati langsung dan hubungan antara rangsangan (stimulus) dan reaksi (response). Perilaku bahasa yang efektif adalah membuat reaksi yang tepat terhadap rangsangan. Reaksi ini akan menjadi suatu kebiasaan jika reaksi tersebut dibenarkan. Dengan demikian, anak belajar bahasa pertamanya.

Sebagai contoh, seorang anak mengucapkan bilangkali untuk barangkali. Sudah pasti si anak akan dikritik oleh ibunya atau siapa saja yang mendengar kata tersebut. Apabila sutu ketika si anak mengucapkan barangkali dengan tepat, dia tidak mendapat kritikan karena pengucapannya sudah benar. Situasi seperti inilah yang dinamakan membuat reaksi yang tepat terhadap rangsangan dan merupakan hal yang pokok bagi pemerolehan bahasa pertama.

B.F. Skinner adalah tokoh aliran behaviorisme. Dia menulis buku Verbal Behavior (1957) yang digunakan sebagai rujukan bagi pengikut aliran ini. Menurut aliran ini, belajar merupakan hasil faktor eksternal yang dikenakan kepada suatu organisme. Menurut Skinner, perilaku kebahasaan sama dengan perilaku yang lain, dikontrol oleh konsekuensinya. Apabila suatu usaha menyenangkan, perilaku itu akan terus dikerjakan. Sebaliknya, apabila tidak menguntungkan, perilaku itu akan ditinggalkan. Singkatnya, apabila ada reinforcement yang cocok, perilaku akan berubah dan inilah yang disebut belajar.

Namun demikian, banyak kritikan terhadap aliran ini. Chomsky mengatakan bahwa toeri yang berlandaskan conditioning dan reinforcement tidak bisa menjelaskan kalimat-kalimat baru yang diucapkan untuk pertama kali dan inilah yang kita kerjakan tiap hari. Bower dan Hilgard juga menentang aliran ini dengan mengatakan bahwa penelitian mutakhir tidak mendukung aliran ini.

Aliran behaviorisme mengatakan bahwa semua ilmu dapat disederhanakan menjadi hubungan stimulus-response. Hal tersebut tidaklah benar karena tidak semua perilaku berasal dari stimulus-response.


4.2 Teori Nativisme

Chomsky merupakan penganut nativisme. Menurutnya, bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia, binatang tidak mungkin dapat menguasai bahasa manusia. Pendapat Chomsky didasarkan pada beberapa asumsi. Pertama, perilaku berbahasa adalah sesuatu yang diturunkan (genetik), setiap bahasa memiliki pola perkembangan yang sama (merupakan sesuatu yang universal), dan lingkungan memiliki peran kecil di dalam proses pematangan bahasa. Kedua, bahasa dapat dikuasai dalam waktu yang relatif singkat. Ketiga, lingkungan bahasa anak tidak dapat menyediakan data yang cukup bagi penguasaan tata bahasa yang rumit dari orang dewasa.

Menurut aliran ini, bahasa adalah sesuatu yang kompleks dan rumit sehingga mustahil dapat dikuasai dalam waktu yang singkat melalui “peniruan”. Nativisme juga percaya bahwa setiap manusia yang lahir sudah dibekali dengan suatu alat untuk memperoleh bahasa (language acquisition device, disingkat LAD). Mengenai bahasa apa yang akan diperoleh anak bergantung pada bahasa yang digunakan oleh masyarakat sekitar. Sebagai contoh, seorang anak yang dibesarkan di lingkungan Amerika sudah pasti bahasa Inggris menjadi bahasa pertamanya.

Semua anak yang normal dapat belajar bahasa apa saja yang digunakan oleh masyarakat sekitar. Apabila diasingkan sejak lahir, anak ini tidak memperoleh bahasa. Dengan kata lain, LAD tidak mendapat “makanan” sebagaimana biasanya sehingga alat ini tidak bisa mendapat bahasa pertama sebagaimana lazimnya seperti anak yang dipelihara oleh srigala (Baradja, 1990:33).

Tanpa LAD, tidak mungkin seorang anak dapat menguasai bahasa dalam waktu singkat dan bisa menguasai sistem bahasa yang rumit. LAD juga memungkinkan seorang anak dapat membedakan bunyi bahasa dan bukan bunyi bahasa.


4.3 Teori Kognitivisme

Menurut teori ini, bahasa bukanlah suatu ciri alamiah yang terpisah, melainkan salah satu di antara beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif. Bahasa distrukturi oleh nalar. Perkembangan bahasa harus berlandaskan pada perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi. Jadi, urutan-urutan perkembangan kognitif menentukan urutan perkembangan bahasa (Chaer, 2003:223). Hal ini tentu saja berbeda dengan pendapat Chomsky yang menyatakan bahwa mekanisme umum dari perkembangan kognitif tidak dapat menjelaskan struktur bahasa yang kompleks, abstrak, dan khas. Begitu juga dengan lingkungan berbahasa. Bahasa harus diperoleh secara alamiah.

Menurut teori kognitivisme, yang paling utama harus dicapai adalah perkembangan kognitif, barulah pengetahuan dapat keluar dalam bentuk keterampilan berbahasa. Dari lahir sampai 18 bulan, bahasa dianggap belum ada. Anak hanya memahami dunia melalui indranya. Anak hanya mengenal benda yang dilihat secara langsung. Pada akhir usia satu tahun, anak sudah dapat mengerti bahwa benda memiliki sifat permanen sehingga anak mulai menggunakan simbol untuk mempresentasikan benda yang tidak hadir dihadapannya. Simbol ini kemudian berkembang menjadi kata-kata awal yang diucapkan anak.


4.4 Teori Interaksionisme

Teori interaksionisme beranggapan bahwa pemerolehan bahasa merupakan hasil interaksi antara kemampuan mental pembelajaran dan lingkungan bahasa. Pemerolehan bahasa itu berhubungan dengan adanya interaksi antara masukan “input” dan kemampuan internal yang dimiliki pembelajar. Setiap anak sudah memiliki LAD sejak lahir. Namun, tanpa ada masukan yang sesuai tidak mungkin anak dapat menguasai bahasa tertentu secara otomatis.

Sebenarnya, menurut hemat penulis, faktor intern dan ekstern dalam pemerolehan bahasa pertama oleh sang anak sangat mempengaruhi. Benar jika ada teori yang mengatakan bahwa kemampuan berbahasa si anak telah ada sejak lahir (telah ada LAD). Hal ini telah dibuktikan oleh berbagai penemuan seperti yang telah dilakukan oleh Howard Gardner. Dia mengatakan bahwa sejak lahir anak telah dibekali berbagai kecerdasan. Salah satu kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan berbahasa (Campbel, dkk., 2006: 2-3). Akan tetapi, yang tidak dapat dilupakan adalah lingkungan juga faktor yang memperngaruhi kemampuan berbahasa si anak. Banyak penemuan yang telah membuktikan hal ini.


5. Kesimpulan

Pemerolehan bahasa pertama adalah proses penguasaan bahasa pertama oleh si anak. Selama penguasaan bahasa pertama ini, terdapat dua proses yang terlibat, yaitu proses kompetensi dan proses performansi. Kedua proses ini tentu saja diperoleh oleh anak secara tidak sadar.

Ada beberapa tahap yang dilalui oleh sang anak selama memperoleh bahasa pertama. Tahap yang dimaksud adalah vokalisasi bunyi, tahap satu-kata atau holofrastis, tahap dua-kata, tahap dua-kata, ujaran telegrafis. Selain tahap pemerolehan bahsa seperti yang telah disebutkan ini, ada juga para ahli bahasa, seperti Aitchison mengemukakan beberapa tahap pemerolehan bahasa anak. Tahap-tahap yang dia maksud adalah mendengkur, meraban, pola intonasi, tuturan satu kata, tuturan dua kata, infleksi kata, bentuk tanya dan bentuk ingkar, konstruksi yang jarang atau kompleks, tuturan yang matang. Meskipun terjadi perbedaan dalam hal pembagian tahap-tahap yang dilalui oleh anak saat memperoleh bahasa pertamanya, jika dilihat secara cermat, pembahasan dalam setiap tahap pemerolehan bahasa pertama anak memiliki kesamaan, yaitu adanya proses fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, pragmatik.

Bagaimana sebenarnya proses pemerolehan bahasa pertama ini? Ada beberapa teori pemerolehan bahasa yang menjelaskan hal ini, yaitu teori behaviorisme, nativisme, kognitivisme, interaksionisme. Keempat teori ini memiliki sudut pandang yang berbeda dalam menjelaskan perihal cara anak memperoleh bahasa pertamanya.






Daftar Pustaka


Alamsyah, Teuku. 1997. Pemerolehan Bahasa Kedua (Second Language Acqusition). Diktat Kuliah Program S-2. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala.


Baradja, M.F. 1990. Kapita Selekta Pengajaran Bahasa. Malang: IKIP


Campbel, dkk. 2006. Metode Praktis Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences. Depok: Intuisi Press.


Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik:Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.


Dardjowidjojo, Soenjono. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor.


Fromkin Victoria dan Robert Rodman. 1993. An Introduction to Language. Florida: Harcourt Brace Jovanovich Collage.


Mahmud, Saifuddin dan Sa’adiah. 1997. Teori Pembelajaran Bahasa: Materi Kuliah Program Setara D-3. Banda Aceh: FKIP Unsyiah.


Mar’at, Samsunuwiyati. 2005. Psikolinguistik Suatu Pengantar. Bandung: PT Refika Aditama.
Check it out !!!

Selasa, 04 Oktober 2011

Pembelajaran Akselerasi

Accelerated Learning (AL)
Pembelajaran Akselerasi (Accelerated learning) sudah berkembang sejak 1970. Ide pembelajaran ini berangkat dari hasil temuan Dr. Lozanov pada tahun 1950 yang menangani pasien gangguan psikologis dengan teknik-teknik sugesti dan menenangakan mereka dengan musik barok (abad 17). Teknik ini berhasil menyembuhkan pasien tersebut dan Dr. Lazanov menyebut ini sebagai ”cadangan pikiran yang tersembunyi”. Kemudian Dr. Lozanov mengadakan penelitian ilmu jiwa untuk memberi sugesti kepada siswa dalam pembelajaran. Dengan mengaktifkan cadangan gelombang otak pada siswa dan keberadaan jiwa dalam memimpin pribadi membuat konsentrasi, mental, disiplin dan perenungan dengan musik dalam keadaan yang rilek untuk meningkatkan memori. Ternyata siswa dapat menyerap perlajaran bahasa asing lebih cepat, musik, sugesti positif, mainan anak-anak memungkinkan selain pembelajaran cepat juga jauh lebih efektif.
Pembelajaran Akselerasi (Accelerated Learning/AL) adalah salah satu cara belajar alamiah yang menggugah sepenuhnya kemampuan belajar para pebelajar, membuat belajar lebih menyenangkan dan memuaskan serta memberikan sumbangan sepenuhnya pada kebahagiaan, kecerdasan, kompetensi dan keberhasilan. Ciri dari AL adalah mementingkan tujuan, bekerja sama, luwes, gembira, banyak cara, melibatkan emosional dan multi indrawi, serta mengutamakan hasil.
Pembelajaran Akselerasi (Accelerated Learning/AL) merupakan pendekatan yang sistematis terhadap pengajaran untuk seluruh orang yang berisi elemen-elemen khusus, yang ketika digunakan bersama mendorong siswa untuk belajar lebih cepat, efektif dan menyenangkan (Bobby Deporter). Tujuan AL adalah menggugah sepenuhnya kemampuan belajar para pelajar, membuat belajar menyenangkan dan memuaskan bagi mereka dan memberikan sumbangan sepenuhnya pada kebahagiaan, kecerdasan, kompetensi dan keberhasilan mereka sebagai manusia.
Prinsip-Prinsip Pembelajaran Akselerasi
Meier (2002) dan Rose (2003) mengungkapkan prinsip-prinsip Accelerated Learning (AL), yaitu:
1)Belajar melibatkan seluruh pikiran dan tubuh.
2)Belajar adalah berkreasi bukan mengkonsumsi.
3)Kerja sama membantu proses belajar.
4)Pembelajaran berlangsung pada berbagai tingkatan secara Simultan..
5)Belajar berasal dari mengerjakan pekerjaan itu sendiri (dengan umpan balik).
6)Emosi positif sangat membantu pembelajaran.
Elemen-Elemen Pembelajaran Akselerasi
Agar Pembelajaran AL efektif maka dibutuhkan elemen-elemen khusus, yakni:
1.Lingkungan Fisik, perlu diciptakan lingkungan pembelajaran yang nyaman.
2.Musik, dapat membantu siswa rileks dan fokus.
3.Gambar-gambar yang bermakna, informasi atau sugesti yang diberikan oleh gambar-gambar di kelas mampu memberikan uraian yang sesuai dengan topik.
4.Guru, kemampuan suara (tekanan dan intonasi) dapat digunakan untuk menangkap perhatian siswa dan menekankan poin utama.
5.Keadaan Positif, sapaan dan suara yang ramah, penggunaan bahasa yang memotivasi dapat memperlancar dan menambah daya ingat siswa.
6.Seni dan drama, tujuannya adalah agar pembelajaran lebih hidup.

Langkah-langkah Pembelajaran Akselerasi
Ada enam langkah menurut Collin Rose disingkat dengan KUASAI atau MASTER.

K = Kuasai pikiran untuk sukses.
U = Uraikan faktanya.
A = Apa maknanya.
S = Sentakkan ingatan.
A = Ajukan yang diketahui.
I = Instrospeksi.
Bentuk Penyelenggaran
1)Program khusus, siswa yang memiliki kecerdasan luar biasa bersama dengan siswa bekemampuan biasa.
2)Kelas khusus, siswa yang memiliki kemampuan luar biasa ditempatkan pada kelas khusus.
3)Sekolah khusus, siswa yang belajar di sekolah ini adalah mereka yang hanya memiliki kemampuan dan kecerdasan yang luar biasa
Ada banyak hal yang turut mendukung berhasil-tidaknya program ini. Yakni sarana dan prasarana termasuk di dalamnya guru dan buku. Pada kelas ini guru harus memiliki kualifikasi dan kemampuan khusus, berkualitas, berpengalaman, mendapat pelatihan dan selalu siap agar dapat menyesuaikan diri dengan siswanya. Di daerah, jumlah guru yang memenuhi kualifikasi relatif sedikit, dan agak sulit untuk mendatangkan guru dari luar sekolah. Sebab harus mengeluarkan dan menambah anggaran tambahan untuk keperluan itu. Selain itu, buku yang digunakan di kelas ini diambil dari berbagai sumber, tidak berpatokan pada buku itu saja termasuk internet bisa dijadikan acuan sumber informasi. Semua ini jarang sekali dimiliki sekolah yang ada di daerah.
Orang tua yang siswanya masuk kelas akselerasi umumnya sangat mendukung dan antusias. Ini dibuktikan dengan kesanggupan pembayaran uang SPP lebih besar dari siswa. Sebagian uang itu digunakan untuk membayar honor tambahan guru yang mengajar di kelas akselerasi.
Daftar Rujukan

Meier, Dave. 2002. The Accelerated Learning Handbook: Panduan Kreatif & Efektif Merancang Program Pendidikan dan Pelatihan. Bandung: Kaifa

Rose, Colin. 2003. KUASAI Lebih cepat: Buku Pintar Accelerated Learning. Bandung: Kaifa.

Rose, Colin and Nicholl, Malcolm J. 1998. Accelerated Learning For The 21st Century: The Six-Step Plan To Unlock Your Master-Mind. New York: Dell Trade Paperback.

Rose, Colin dan Nicholl, Malcolm J. 2002. Accelerated Learning For The 21st Century: Cara Belajar Cepat Abad 21. Bandung: Nuansa

Sukarno, Nono. 2005. Penerapan Program Akselerasi di Daerah. Pikiran Rakyat (http://www.pikiranrakyat.org, diakses 20 November
Check it out !!!

PEMBELAJARAN AKSELERASI (ACCELERATED LEARNING)

A. Pendahuluan

Belajar merupakan suatu proses internalisasi pengetahuan dalam diri individu. Aktivitas belajar akan berlangsung efektif apabila seseorang yang belajar berada dalam keadaan positif dan bebas dari tertekan (presure). Selama ini proses belajar yang berlangsung di sekolah maupun program-program pelatihan yang diselenggarakan cenderung berlangsung dalam suasana yang monoton dan membosankan. Dalam kondisi ini guru hanya menuangkan ilmu pengetahuan kedalam kepala siswa yang berlaku pasif yang dikenal dengan istilah “pour and snoor”. Materi yang diajarkan hanya diceramahkan tanpa ada upaya untuk melibatkan potensi siswa untuk berfikir dan memberi respon terhadap pengetahuan yang ditransfer. Kadang–kadang aktivitas belajar disertai dengan ancaman yang membuat siswa cenderung mencari selamat. Aktivas belajar seperti ini, jelas tidak akan membuat pembelajar (learner) dapat menciptakan pengetahuan secara optimal.

Agar dapat mengatasi permasalahan tersebut banyak perubahan mendasar yang perlu dilakukan agar dapat membantu siswa mengembangkan potensi yang dimiliki menjadi kompentesi aktual. Perubahan mendasar yang perlu dilakukan mencakup penggunaan strategi dan metode pembalajaran yang dapat menjadikan proses belajar bukan lagi sebuah proses yang menakutkan tapi menjadi sebuah proses yang menyenangkan (fun) dan dapat membuat seseorang berkreasi dengan pengetahuan yang dipelajarinya.

Tulisan ini akan membahas sebuah buku tentang pembelajaran akselerasi atau Accelerated Learning (AL). Buku yang dibahas dalam tulisan ini berjudul “The Accelerated Learning Handbook : a Creative Guide to Designing and Delivering Faster, More Effective Training Programs”. Dave Meier (2000) membahas secara rinci tentang cara yang diperlukan untuk membuka tirai kreativitas, sehingga setiap individu dapat memanfaatkan potensi yang dimiliki untuk menyelesaikan masalah secara kreatif.

Accelerated Learning sebagai cara untuk menciptakan aktivitas belajar menjadi sebuah proses yang menyenangkan. Accelerated Learning merupakan pendekatan belajar yang lebih maju dari pada yang digunakan saat ini. Implementasi Accelerated Learning pada proses belajar di sekolah dapat memberikan beberapa keuntungan. Accelerated Learning didasarkan riset terakhir tentang perkembangan otak dan belajar. Saat ini Accelerated Learning digunakan dengan memanfaatkan metode dan media yang bervariasi dan bersifat terbuka serta fleksibel.

B. Masalah dalam Proses Belajar di Sekolah

Dalam bagian awal buku ini Penulis – Meier – memberikan opini tentang masalah -masalah belajar yang sering terjadi di dalam pelaksanaan aktivitas belajar disekolah. Masalah – masalah yang kerap terjadi di sekolah adalah :

* Materi ajar yang tidak bermakna.
* Belajar hanya berisi ceramah yang membosankan.
* Guru hanya menyuapi (spoon feeding) siswa dengan pengetahuan yang bersifat superficial.
* Proses belajar bukan merupakan proses yang menyenangkan tapi menakutkan.

Proses belajar yang berlangsung di sekolah menurut penulis cenderung tidak memberikan pengetahuan tentang manfaat pengtahuan yang dipelajari. Bahan yang harus dipelajari hanya bersifat hafalan-hafalan tanpa makna. Siswa tidak diajak untuk memanfaatkan potensi yang dimiliki untuk membangun pengetahuan yang mempunyai makna sesuai kebutuhan dan kemampuan. Materi pelajaran yang dipelajari seringkali tidak dikaitkan dengan dunia dan lingkungan tempat anak tumbuh dan berkembang.

Metode pembelajaran yang digunakan oleh guru seringkali tidak variatif dan hanya merupakan ceramah yang panjang dan membosankan. Penggunaan metode ceramah memang tidak selamanya buruk, tetapi ceramah bukan satu-satunya cara yang dapat membuat proses pembelajaran berlangsung optimum. Guru perlu memiliki kemampuan dalam menggunakan metode pembelajaran yang variatif yang lebih banyak melibatkan siswa.

Guru seringkali menjadi satu-satunya sumber ilmu pengetahuan yang menyuapi siswa yang hanya bersikap pasif. Dalam era perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat seperti saat ini, guru tidak lagi berperan sebagai satu-satunya sumber yang bertugas mentrasfer ilmu pengetahuan, Guru lebih dituntut untuk berperan sebagai fasilitator yang membantu siswa memanfaatkan aneka sumber belajar yang tersedia. Untuk tentu saja guru perlu memiliki kemampuam yamg baik dalam mengelola aktiovitas pembelajaran.

Aktivitas Pemebelajaran yang terjadi di sekolah cenderung memberi beban belajar yang berlebihan sehingga membuat anak tidak memliki waktu lagi untuk bermain, Guru tidak mampu mebuat proses belajar menjadi suatu proses yang menyenangkan yang dapat meningkatkan kegairahan siswa untuk menggali dan membangun ilmu pengetahuan dalam dirinya. Beban belajar yang berlebihan cenderung membuat trauma sehingga penyelesaian pekerjaan rumah (homework) seringkali hanya ditujukan untuk “survival” semata. Belajar tidak lagi terjadi karena dorongan instrinsik, tapi lebih banyak dipengaruhi oleh factor punishment.

Keempat masalah belajar yang terjadi pada dasarnya saling terkait satu sama lain, Masalah ini berakibat langsung terhadap rendahnya kualitas hasil bejar yang dicapai oleh siswa setelah mengikuti aktivitas pembelajaran di sekolah.

Dave Meier (2000) mengemukakan masalah–masalah yang berlangsung di sekolah dengan istilah – istilah sebagai berikut :

* Boring lectures – ceramah yang membosankan
* Pour and snore – menyuapi dan siswa tertidur
* Closed system – sistem tertutup
* Competition between learners – kompetisi diantara siswa
* Joylessness – tidak menyenangkan
* University – seragam

* Dogmatic – dogmatik
* Passive learners – siswa pasif
* Reptilian brain approach – menakut-nakuti atau mengancam

C. Prinsip-Prinsip yang Mendasari Accelerated Learning

Accelerated Learning merupakan sebuah pendekatan alternatif yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah-masalah yang terkait dengan pembelajaran di sekolah. Implementasi Accelerated Learning menurut Penulis buku ini didasari oleh beberapa prinsip penting yaitu :

* Keterlibatan total individu akan meningkatkan hasil belajar
* Belajar bukan merupakan proses yang bersifat pasif dalam menyimpan pengetahuan tapi proses aktif menciptakan pengetahuam
* Kolaborasi diantara siswa akan meningkatkan hasil belajar.
* Belajar yang berpusat pada aktivitas jauh lebih baik dari pada belajar yang hanya menekankan pada aktivitas presentasi semata.
* Peristiwa belajar yang menekanjkan pada belajar aktivitas jauh lebih efektif dari pada belajar yang menekankan pada aktivitas presentasi

Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut menurut Meier implemetasi Accelerated Learning memiliki beberapa karakteristik utama yaitu :

* Flexible – luwes
* Joyful – menyenangkan
* Multi-pathed – multi jalur
* Ends-centered – berpusat pada tujuan
* Collaborative – kolaboratif
* Humanistic – manusiawi
* Multi-sensory – multi sensor
* Nurturing – menumbuhkan
* Activity-centered – berpusat pada aktivitas
* Mental/emotional – menggunakan mental emosional
* Result based – berdasar pada hasil

Kita dapat membandingkan karakterisitik Accelerated Learning dengan karakteristik pembelajaran tradisional agar dapat memahami praktek Accelerated Learning dengan baik. Karakteristik pembelajaran tradisional yaitu :

* Rigid – kaku
* Serious -serius
* Single pathed – jalur tunggal.
* Means centered – berorientasi pada alat
* Competitive – kompetitif
* Behavioral – bersifat behavioristik
* Verbal – hanya ceramah
* Controlling – belajar sangat terkendali
* Material centered – berpusat pada materi
* Mental (cognitive) – menekankan pada mental / kognitif semata
* Time based – berbasis waktu

Implentasi Accelerated Learning dalam aktivitas belajar dan pelatihan memerlukan adanya perubahan yang bersifat sistemik dan holistik. Penulis berpendapat bahwa perubahan secara mendasar perlu dilakukan karena kondisi pendidikan saat ini sudah sangat bersifat mekanistik yang disebabkan oleh terlalu lamanya pendekatan behavioristik digunakan. Menurut Penulis pendekatan behavioristik telah meracuni proses pendidikan selama ini karena hanya merupakan pabrik yang menghasilkan robot-robot yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Hal tersebut dikemukakan oleh Meier sebagai berikut :

“ Our school are, in a sense, factories in which the raw products (children) are to be shaped and fashioned to meet the various demands of life…Behaviorism – the belief that all learning consists of a stimulus / response, carrot –and –stick training and that only observed behavior is worthy of study – has had a disastrous influence on 20 th century perceptions,” (hal. 38)

D. Tahap – Tahap Belajar

Maier berpendapat bahwa dalam melakukan aktivitas belajar, individu pada dasarnya melalui empat tahap penting yaitu :

* Persiapan (preparation)
* Presentasi (presentation)
* Latihan (practice)
* Performa (performance)

Proses belajar dimulai dari adanya minat untuk mempelajari sesuatu. Untuk melakukan aktivitas belajar, individu melakukan persiapan yang relevan dengan usaha yang diperlukan untuk melakukan aktivitas belajar. Adanya minat untuk mempelajari suatu pengetahuan atau keterampilan diikuti dengan tahap berikutnya yaitu presentasi. Dalam tahap ini individu mulai berkenalan dengan pengetahuan dan keterampilan yang diminati untuk dipelajari.

Tahap selanjutnya adalah tahap latihan atau practice. Pada tahap ini individu mulai mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan yang dipelejari dengan pengetahuan dan keterapilan yang telah dikuasai sebelumnya. Tahap akhir dari proses belajar adalah tahap saat individu memperlihatkan performa melalui aplikasi pengetahuan dan keterampilan yang telah dipelajari dalam situasi yang nyata.

E. Riset Tentang Otak dan Akselerasi Belajar

Riset tentang otak mempunyai peran penting dalam konsep akselarasi belajar. Untuk dapat mengimplementasikan Accelerated Learning dengan baik, pengetahuan tentang otak dan belajar dangat perlu diperhatikan. Riset tentang peran otak dalam aktivitas belajar manusia belakangan berkembang sangat pesat melebihi yang telah dilakukan sebelumnya. Sama dengan organ tubuh manusia yang lainnya, otak memperlihatkan kinerja yang luar biasa mengagumkan. Otak telah memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan kemajuan peradaban manusia. Otak, menurut Meier, tidak pernah berhenti sedektikpun untuk mengungkap tabir pengetahuan dan kehidupan.

Hasil riset mutakhir tentang otak memperlihatkan dan belajar menunjukkan bahwa otak terdiri dari dua belahan (hemisphere) yaitu belahan otal bagian kiri (left hemisphere) dan belahan otak bagian kanan (right brain hemisphere). Belahan otak bagian kiri terkait dengan hal-hal yamg bersifat logis dan sistematis. Sedangkan belahan otak bagian kanan lebih banyak berhubungan dengan aktivitas yang bersifat kreatif.

Selama ini aktivitas pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah lebih banyak menekankan pada penggunaan belahan otak kiri yang membuat individu berfikir logis dan sistematis berdasarkan aturan-aturan yang telah baku. Belahan otak kanan yang merupakan otak kreatif tidak dimanfaatkan secara optimal untuk menciptakan sesuatu yang bersifat innovatif.

Riset lain tentang peran otak dalam aktivitas belajar menhasilkan sebuah teori baru yaitu “triune theory”. Menurut teori ini Otak dibagi menjadi tiga bagian yaitu :

* The neocortex

The Neocortex merupakan bagian yang berisi 80 – 85 % massa otak manusia. Bagian ini merupakan esensi dari fungsi aktivitas mental tinggi (analisis, kreativitas). Bagian ini yang membuat manusia unik dibandingkan mahluk lain dimula bumi.

* The lymbic system

The lymbic system adalah pusat emosi manusia. Bagian otak ini disebut sebagai bagian sosioemosional. The lymbic system juga memiliki bagian esensial yang berperan dalam memori jangka panjang (long term memory) manusia.

* The brain stem

The brain stem dikenal juga dengan sebutan otak reptil atau the reptilian brain berperan dalam mengendalikan fungsi tubuh yang bersifat otomatis seperti detak jantung, pernafasan dan pencernaan. Bagai berkaitan juga dengan sifat instinktif manusia. Otak ini akan bekerja jka manusia mendapat ancaman. Bagian otak ini akan melindungi manusia agar tetap hidup (survive).

Manusia harus dapat menyeimbangkan peran semua bagian otak. Dalam belajar bagian neocortex harus selalu dominan karena merupakan bagian otak yang terkait dengan fungsi berfikir tingkat tinggi seperti analisis, sintesis dan kreativitas.

Triune theory mengemukakan bahwa “A Sense of Joy” yaitu belajar harus dalam kondisi yang menyenangkan.

Menurut triune theory proses belajar akan menjadi lebih cepat dan mendalam apabila seluruh otak terlibat didalamnya. Manakala perasaan seseorang sedang dalam kondisi positif, maka dia akan berada dalam keadaan relaks. Dia akan menggunakan neocortex – otak untuk belajar. Sebaliknya, manakala seseorang berada dalam situasi negatif, individu akan menggunakan otak reptil – untuk “survive” maka proses belajar akan melambat dan bahkan berhenti.

F. Manfaat Implementasi Accelerated Learning

Menurut penulis implementasi Accelerated Learning memberikan keuntungan (benefits) dalam hal:

* Ignite your creative imagination – menciptakan imajinasi kreatif siswa
* Get learner totally involved – membuat siswa terlibat total
* Create healthier learning environments – menciptakan lingkungan belajar yang sehat
* Speed and enhance learning – mempercepat dan memperkaya belajar
* Improve retention and job performance – meningkatkan daya ingat dan performa
* Speed the design process – memepercepat proses rancangan belajar
* Build effective learning communities – membangun masyarakat belajar yang efektif
* Greatly improve technology-driven learning – meningkatkan penggunaan teknologi dalam pembelajaran

Adapun persiapan dalam implementasi Accelerated Learning adalah sebagai berikut :

* Get learners out of a passive or resistant mental state – Menyiapkan mental siswa menjadi aktif.
* Remove learning barriers – Menghapus hambatan-hambatan dalam belajar.
* Arouse learners’ interest and curiosity – Meningkatkan minat dan rasa ingin tahu siswa
* Give learner positive learning about, and a meaningful relationship with, the subject matter – Membuat siswa berfikir prositif tentang materi pelajaran
* Create active learners who inspired to think, learn, create, and grow – Ciptakan siswa yang akti yang dapat berfikir dan mencipta
* Get people out of isolation and into a learning community – Buat siswa keluar dari isolasi dan ajaklah mereka melihat masyarakat disekitar

G. Penutup

Aktivitas pembelajaran yang dilakukan di sekolah perlu mempertimbangkan teori pembelajaran akselerasi yang dapat membuat proses belajar tidak lagi merupakan suatu yang menakutkan.

Faktor lain yang menjadi syarat untuk mewujudkan perilaku yang kreatif adalah perasaan bebas. Orang yang berfikir bebas pada umumnya akan mampu menemukan kemungkinan – kemungkinan yang dapat digunakan sebagai alternatif -alternatif untuk menemukan solusi dalam menyelesaikan suatu masalah.
Check it out !!!

Kelebihan dan Kelemahan Akselerasi

Kelebihan Akselerasi
Southern dan Jones (1991 dalam Hawadi, 2004) menyebutkan beberapa keuntungan dari dijalankannya program akselerasi bagi anak berbakat:
a. Meningkatkan efisiensi
Siswa yang telah siap dengan bahan-bahan pengajaran dan menguasai kurikulum pada tingkat sebelumnya akan belajar lebih baik dan lebih efisien.
b. Meningkatkan efektivitas
Siswa yang terikat belajar pada tingkat kelas yang dipersiapkan dan menguasai keterampilan-
keterampilan sebelumnya merupakan siswa yang paling efektif.
c. Penghargaan
Siswa yang telah mampu mencapai tingkat tertentu sepantasnya memperoleh penghargaan atas prestasi yang dicapainya.
d. Meningkatkan waktu untuk karier
Adanya pengurangan waktu belajar akan meningkatkan produktivitas siswa, penghasilan, dan kehidupan pribadinya.

e. Membuka siswa pada kelompok barunya
Dengan program akselerasi, siswa dimungkinkan untuk bergabung dengan siswa lain yang meiliki kemampuan intelektual dan akademis yang sama.
f. Ekonomis
Keuntungan bagi sekolah ialah tidak perlu mengeluarakan banyak biaya untuk mendidik guru khusus anak berbakat.
Program akselerasi sangat esensial dalam menyediakan kesempatan pendidikan yang tepat bagi siswa yang cerdas. Proses yang terjadi akan memungkinkan siswa untuk memelihara semangat dan gairah belajarnya. Program akselerasi membawa siswa pada tantangan yang berkesinambungan yang akan menyiapkan mereka menghadapi kekakuan pendidikan selanjutnya dan produktivitas selaku orang dewasa. Melalui program akselerasi ini, siswa diharapkan akan memasuki dunia profesional pada usia yang lebih muda dan memperoleh kesempatan-kesempatan untuk bekerja produktif (Hawadi, 2004).
Kelemahan Akselerasi
Southern dan Jones (1991) menyebutkan empat hal yang berpotensi negatif dalam proses akselerasi bagi anak berbakat, yaitu:
a. Segi Akademis
1) Bahan ajar yang diberikan terlalu tinggi bagi siswa akseleran. Hal ini akan membuat mereka menjadi siswa yang tertinggal di belakang kelompok teman barunya, dan akan menjadi siswa yang berprestasi sedang-sedang saja, bahkan siswa akseleran yang gagal.
2) Bisa jadi kemampuan siswa akseleran yang terlihat melebihi teman sebayanya hanya bersifat sementara. Dengan bertambah usianya, kecepatan prestasi siswa menjadi biasa-biasa saja dan sama dengan teman sebayanya. Hal ini menyebabkan kebutuhan akselerasi menjadi tidak perlu lagi dan siswa akseleran lebih baik dilayani dalam kelompok kelas reguler.
3) Meskipun memenuhi persyaratan dalam bidang akademis, siswa akseleran kemungkinan imatur secara sosial, fisik, dan emosional dalam tingkatan kelas tertentu.
4) Proses akselerasi menyebabkan siswa akseleran terikat pada keputusan karier lebih dini. Agar siswa dapat berprestasi baik, dibutuhkan pelatihan yang mahal dan tidak efisien untuk dirinya sebagai pemula. Bisa jadi kemungkinan buruk yang terjadi adalah karier tersebut tidak sesuai bagi dirinya.
5) Siswa akseleran mungkin mengembangkan kedewasaan yang luara biasa tanpa adanya pengalaman yang dimiliki sebelumnya.
6) Pengalaman-pengalaman yang sesuai untuk anak seusianya tidak dialami oleh siswa akseleran karena tidak merupakan bagian dari kurikulum.
7) Tuntutan sebagai siswa sebagian besar pada produk akademik konvergen sehingga siswa akseleran akan kehilangan kesempatan mengembangkan kemampuan berpikir kreatif dan divergen.
b. Segi Penyesuaian Sosial
1) Siswa akan didorong untuk berprestasi dalam bidang akademiknya sehingga mereka kekurangan waktu beraktivitas dengan teman sebaya.
2) Siswa akan kehilangan aktivitas sosial yang penting dalam usia sebenarnya. Hal ini menyebabkan mereka menyesal kehilangan kesempatan tersebut dan akan mengarahkannya dalam social maladjustment selaku orang dewasa kelak. Mereka akan mengalami hambatan dalam bergaul dengan teman sebayanya.
3) Siswa sekelasnya yang lebih tua kemungkinan akan menolaknya, sementara itu siswa akseleran akan kehilangan waktu bermain dengan teman sebayanya. Akibatnya, siswa akan mengalami kekurangan jumalah dan frekuensi pertemuan dengan teman-temannya.
4) Siswa sekelasnya yang lebih tua tidak mungkin setuju memberikan perhatian dan respek pada teman sekelasnya yang lebih muda usia. Hal ini menyebabkan akseleran akan kehilangan kesempatan dalam keterampilan kepemimpinan yang dibutuhkannya dalam pengembangan karier dan sosialnya di masa depan.
c. Aktivitas Ekstrakurikuler
Kebanyakan aktivitas ekstrakurikuler berkaitan erat dengan usia. Hal ini menyebabkan siswa akseleran akan berhadapan dengan teman sekelasnya yang tua dan tidak memberikannya kesempatan. Hal ini menyebabkan siswa akan kehilangan kesempayan yang penting dan berharga di luar kurikulum sekolah yang normal. Akibatnya, mereka akan kehilangan pengalaman yang penting yang berkaitan bagi kariernya di masa depan.
d. Penyesuaian Emosional
1) Siswa akseleran pada akhirnya akan mengalami burn out di bawah tekanan yang ada dan kemungkinan menjadi underachiever.
2) Siswa akseleran akan mudah frustasi dengan adanya tekanan dan tuntutan berprestasi. Siswa yang mengalami sedikit kesempatan untuk membentuk persahabatan pada masanya akan menjadi terasing atau agresif terhadap orang lain.
3) Adanya tekanan untuk berprestasi membuat siswa akseleran kehilangan kesempatan untuk mengembangkan hobi.
Sisk (1986) dikutip dari Delisle (1992) menyebutkan beberapa ciri yang diatribusikan pada siswa akseleran, yaitu bosan, fobia sekolah, dan kekurangan hubungan teman sebaya (dalam Hawadi, 2004).
 
Yang perlu untuk dicatat adalah penyelenggaraan program percepatan belajar di SD, SMP, dan SMA, harus memberi kesempatan kepada peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa tanpa membedakan tingkat strata sosial ekonomi seseorang, dan harus dihindarkan terjadinya kesenjangan antara siswa/akseleran dengan siswa regular.
Check it out !!!