Rabu, 01 Desember 2010

Penulis Ronggeng Dukuh Paruk

Lelaki kelahiran Tinggarjaya Banyumas 13 Juni 1948 ini telah melalangbuana dalam hal pekerjaan. Berbagai macam profesi telah digelutinya sejak muda. Namun akhirnya kembali juga ke kampung halamannya yang teduh di Tinggarjaya. Tenang dengan dunia tulis menulis.
Ijazah terakhirnya adalah sebuah SMA di Purwokerto dan kemudian bekerja di majalah Keluarga dan Amanah, pernah pula mencicipi menjadi karyawan sebuah bank milik pemerintah. Ia mengaku tidak betah tinggal di Jakarta yang sibuk berbeda jauh dengan suasana desa dan pilihannya kemudian adalah menetap di kampung halaman, mengurus sebuah pesantren dan tetap menulis.
Bersama istri tercinta yang seorang guru Sekolah Dasar telah dikaruniani tiga orang anak. Ketiganya kini telah mengenyam pendidikan tinggi yaitu satu di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta dan dua di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Menurut pengakuannya Ahmad Tohari menulis karya sastra karena mengejawantahkan kemarahan atau kegelisahannya terhadap para pemimpin yang belum juga membuktikan komitmennya kepada orang-orang kecil.  Menurutnya, para pemimpin negeri menganggap kepemimpinan itu suatu keberuntungan yang datang dari atas berupa wahyu, sehingga kekuasaannya ditafsirkan sebagai hak-hak istimewa yang dampaknya muncul sebagai korupsi.
Beliau pun sadar betul kalau dirinya tidak memiliki kekuatan yang besar untuk mengubah keadaan masyarakat. Maka disalurkannya kemarahan dan kegelisahannya itu ke dalam karya sastra dengan harapan bisa sedikit memberikan pencerahan bagi masyarakat untuk mewujudkan kehidupan yang penuh rahmat di bumi nusantara ini.
Karya-karya Ahmad Tohari sarat makna dengan pesan moral yang begitu mendalam. Novel pertamanya Di Kaki Bukit Cibalak mendobrak kesewenang-wenangan penguasa (dari tingkas desa sampai kabupaten) yang digambarkan hanya ABS (Asal Bapak Senang). Sikap ini menutupi kebobrokan yang sesungguhnya manakala ada salah seorang warga yang miskin sakit-sakitan tak mendapat bantuan apa-apa dari perangkat desa, sedang kepala desa sibuk mengutak-atik kekayaan koperasi desa untuk mengembalikan modal waktu pencalonannya dulu sebagai kepala desa. Karena munculnya seorang pemuda yang berani mendobrak birokrasi maka gegerlah desa hingga ke kantor kabupaten. Dan intrik pun berlaku untuk menyingkirkan pemuda yang dianggap membahayakan kedudukannya sebagai kepala desa.
Bahkan setidaknya ada lima novel yang dihasilkan oleh Ahmad Tohari yang mengangkat setting geger politik 1965. Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Kubah, dan Lingkar Tanah Lingkar Air.  Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk bercerita tentang seorang penari ronggeng yang karena ketidaktahuannya (kesederhaannya dimanfaatkan pihak lain) terseret ke dalam pertikaian politik, diklaim oleh pihak tertentu sebagai bagian dari komunis. Akibatnya kehidupannya sangat tidak normal bahkan di bagian endingnya si tokoh menjadi gila. Adapun pada Kubah Ahmad Tohari mengisahkan pertobatan mantan tahanan politik yang hendak kembali ke masyarakat, namun susah untuk duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan yang lainnya, bukan karena penolakan kaum kerabat tapi beban mental yang dirasakannya karena pernah mengkhianati saudaranya sendiri. Maka seorang kyai memberikan jalan dengan memberikan kepercayaan membuat kubah masjid di desanya. Akhir yang membahagiakan.
Lain lagi ketika menyoroti pertikaian politik yang menjerumuskan tokoh-tokoh muslim dalam pemberontakan DI/TII. Ahmad Tohari membidik bahwa peperangan yang terjadi sebenarnya bukanlah keinginan para pelakunya untuk mengadakan pemberontakan terhadap pemerintah yang sah, akan tetapi karena fitnah pihak lain yang diduga adalah komunis. Pihak komunis sengaja memanas-manasi pertikaian antara hizbullah dengan TNI yang berujung pada keterpeksaan beberapa orang itu disematkan kata pemberontak.
Perkembangan selanjutnya setelah masa revolusi terlewati dan masuk era orde baru, maka tulisan-tulisan Ahmad Tohari pun tetap kritis terhadap kondisi sosial masyarakat. Masalah korupsi yang menggurita saat itu tak luput dari kegeramannya hingga lahirlah novel sindiran dengan Judul Bekisar Merah yang berlanjut dengan Belantik (Bekisar merah 2). Keduanya bertutur tentang kesewenang-wenangan ekonomi. Karena memiliki kekuasaan dan harta yang lebih, bisa memperlakukan orang miskin semuanya saja.
Lebih tegas Ahmad Tohari dalam mengungkap perilaku korupsi adalah dalam novelnya Orang-orang Proyek. Novel ini benar-benar menelanjangi perilaku orang-orang yang terlibat dalam proyek, menggerogoti proyek hingga setiap proyek selalu terjadi mark up. Adanya tokoh yang mencoba mendobrak kebiasaan ini akhirnya terpental keluar dan memilih jalan di dunia pendidikan yang dengan harapan tak sebobrok di tempat yang lainnya.
Ahmad Tohari telah lega melunasi ketidakberdayaaan masa mudanya yang tak sempat menyelesaikan studinya di perguruan tinggi dengan menyekolahkan ketiga anaknya hingga sarjana.
Dalam kehariannya yang bertempat tinggal tak jauh dari jalan raya antara banyumas Cilacap memudahkan siapapun untuk bersilaturrahim. Ahmad Tohari lebih senang yang datang bertamu adalah anak muda dengan membawa bahan diskusi tentang sastra dan kehidupan, dari pada hangar binger politik. Hal yang sebenarnya agak aneh jika menengok tulisan-tulisannya sebagian besar mengulas tentang pergulatan politik. Bisa jadi beliau mengharapkan peran serta pemuda tak hanya secara teoritis yang mengkritisi kekuasaan dari segi kekuasan pula namun bagiaman mengkritisi dari segi para penulis, karena para penulis selalu menemukan caranya sendiir untuk mengkritisi kondisi social masyarakat di sekitarnya.
Sebagai penulis telah banyak prestasi yang telah diraih oleh Ahmad Tohari. Disamping berupa novel beliau juga menulis cerpen yang dikumpulkan dalam Senyum karyamin. Juga banyak menulis kolom di harian Suara Merdeka yang salah satunya dibukukan dengan judul Mas Mantri Menjenguk Tuhan. Tahun 1990 mengikuti International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat, tahun 1995 menerima hadiah sastra Asean.
Ada ciri khusus jika membicarakan karya-karya Ahmad Tohari. Beliau sangat piawai menggambarkan cita rasa desa, hingga ke reluing-relungnya, sehingga bagi siapa saja yang membaca terutama novel-novelnya seolah merasakan langsung suasana yang dibangun dalam karya sastranya.
Hingga saat ini telah puluhan orang yang mengangkat karya-karya Ahmad Tohari ke dalam karya ilmiah baik untuk seminar maupun skripsi. Dan beberapa novelnya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, Jerman, Jepang dan Inggris.

0 komentar:

To Use A Smiley In Your Comment, Simply Add The Characters Beside Your Choosen Smiley To The Comment:
:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =)) Grab Smily Gadget

Posting Komentar