Kamis, 01 Desember 2011

Kajian Sosiologis Feminisme dalam Ronggeng Dukuh Paruk

       Dukuh paruk adalah sebuah dukuh yang kecil dan menyendiri. Dukuh paruk mempunyai seorang moyang yang bernama Ki Secamenggala. Pedukuhan tersebut juga sangat terkenal karena pertunjukan ronggengnya, namun pedukuhan tersebut telah ditinggal ronggeng selama du belas tahuh. Selelah dua belas tahun menunggu akhirnya Dukuh Paruk menemuka ronggeng penerus yaitu Srintil. Bagi pendukuhan yang kecil, miskin, terpencil, dan bersahaja itu, ronggeng adalah sebuah simbol. Tanpa ronggeng, Dukuh Paruk akan kehilangan jati diri. Karena penampilan Seritil yang sangat mempesona, dia menjadi primadona di Dukuh Paruk tersebut semua lelaki ingin memiliki nya.
                  Namun akibat kerusuhan politik tahun 1965 membuat dukuh tersebut hancur, baik secara fisik maupun mental. Karena kecerobohannya, masyarakat Dukuh Paruk akhirnya terbawa arus dan divonis sebagai pemberontak negara ini. Pedukuhan itu dibakar. Sritil beserta teman-temannay ditahan. Selama Srintil dipenjara dia diperlakukan semena-mena oleh para polisa di penjara tersebut.
                   Namun pengalaman pahit sebagai tahanan politik membuat Srintil sadar akan harkatnya sebagai manusia. Karena itu setelah bebas, ia berniat memperbaiki citra dirinya. Ia tak ingin lagi melayani lelaki mana pun. Ia ingin menjadi wanita baik-baik. Dan ketika Seorang Pengusaha bernama Bajus datang dalam kehidupannya, Srintil mendapat harapan yang tinggi. Tapi, ternyata Srintil kembali terjebak kedalam dunia yang buruk, kali ini bahkan membuat jiwanya hancur berantakan.

 A.  Pengertian Feminisme
Feminisme pada dasarnya merupakan sebuah topik pembicaraan wanita dengan mengikutsertakan pria sebagai “makhluk” yang selalu dicemburui, sebagai makhluk yang superior (kuat), yang senantiasa menganggap wanita sebagai mahkluk inferior (lemah). Pandangan inilah yang tidak pernah mendudukkan wanita sebagai subjek dalam bidang apapun. Apalagi pembagian kerja yang secara seksual juga tidak menguntungkan. Bidang-bidang kerja domestik akhirnya memarginalkan mereka sebagai makhluk yang lemah, yang hanya dapat bekerja sesuai dengan kodratnya. Pandangan sikap yang masih diskriminatif tersebut masih tampak diberbagai negara di dunia.
Feminisme berasal dari kata feminist (pejuang hak-hak kaum wanita), yang kemudian meluas menjadi feminism (suatu faham yang memperjuangkan hak-hak kaum wanita). Dalam arti leksikal feminisme berarti gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan kaum pria (Moeliono 1988: 241).
Sejarah feminis indonesia telah dimulai pada abad 18 oleh RA Kartini melalui hak yang sama atas pendidikan bagi anak-anak perempuan. Ini sejalan dengan Barat di masa pencerahan/The Enlightenment , di Barat oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis den Condorcet yang berjuang untuk pendidikan perempuan. Perjuangan feminist sering disebut dengan istilah gelombang/wave dan menimbulkan kontroversi/perdebatan, mulai dari feminis gelombang pertama (first wave feminism) dari abad 18 sampai ke pra 1960, kemudian gelombang kedua setelah 1960, dan bahkan gelombang ketiga atau Post Feminisme.
Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari merupakan salah satu novel yang menceritakan perjalanan tokoh perempuan sebagai tokoh utama yaitu Srintil yang dipengaruhi oleh tokoh laki-laki. Dalam kehidupannya Srintil bertemu dengan tokoh penyelamat (male feminis) dan tokoh penghambat (kontra male feminis).
Hasil pembahasan ini menunjukkan bahwa laki-laki ada yang menghargai perempuan dan juga ada yang tidak menghormati perempuan. Peran male feminis dan kontra male feminis ini pada intinya menggambarkan perilaku yang menghargai sosok perempuan dan perilaku yang tidak menghargai perempuan. Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya male feminis adalah faktor kultur kesenian tradisional dan kontra male feminis itu meliputi faktor ekonomi, faktor seksualitas dalam kultur masyarakat Jawa.
Sebagian kaum feminis berpendapat bahwa laki-laki dapat menyatakan diri mereka feminis sepanjang mereka ikut berjuang bagi kepentingan kaum perempuan. Sekelompok feminis lain beranggapan bahwa laki-laki tidak dapat menjadi feminis karena tidak mengalami diskriminasi dan penindasan sebagaimana dialami kaum perempuan. Oleh karena itu, kaum laki-laki yang ikut berjuang melawan penindasan terhadap perempuan lebih tepat dikatakan sebagai kelompok pro-feminis (male feminis) (Muchtar 1999: 5). Kontra male feminis merupakan kebalikan dari male feminis. Jika male feminis mempunyai sifat menghargai terhadap perempuan, maka kontra male feminis adalah mempunyai sifat menentang perempuan. Tokoh kontra male feminis ini tidak mempunyai upaya untuk menyelamatkan perempuan atau bahkan menghargai perempuan. Tokoh seperti ini hanya menginginkan keuntungan saja tanpa memperdulikan orang lain. Asal ia puas dan bahagia maka jalan apa saja akan ia tempuh. Sifat inilah yang membedakan antara tokoh male feminis dan kontra male feminis.

 B.   Tema dan Amanat
Tema ialah persoalan yang menduduki tempat utama dalam karya sastra, Sedangkan yang dimaksud amanat adalah pemecahan yang diberikan oleh pengarang bagi persoalan di dalam karya sastra. Tema yang tedapat pada novel Ronggeng Dukuh Paruk adalahaKehidupan Ronggeng dukuh Paruk yang Terkoyak”. Amanat yang tekadung dalam novei Ronggeng Dukuh Paruk ialah “Manusia harus selalu bisa mengendalikan diri dan selalu menjaga diri. Manusia hendaknya menerima dengan ikhlas setiap cobaan tang diberikan Tuhan YME karena kehidupan yang ada pada manusia selalu menuju kearah perubahan yang selaras”.

 C.  Latar
Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Dalam nonel ini latar yang digunakan adalah pedukuhan  kecil yang terletak disudut tenggara Jawa Tengah dengan suasana pedesaan yang kental, hamparan sawah, perbukitan, hutan-hutan jati, kota kecamatan dan pasar tradisional.

 D.  Alur
Yang dimaksud dengan alur adalah rangkaian sebuah peristiwa yang memiliki hubungan sebab-akibat yang erat dari awal ceriat sampai akhir cerita pada suwatu cerita rekaan. Sedangkan alur yang terdapat pada novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah alur campuran karena dalam novel itu ada alur maju dan alur mundur yang secara runtut diceritakan.Dalam alur maju diceritakan Srintil yang sudah 11 tahun kemudian diceritakan dalam alur mundur kematian kedua Srintil pada tahun 1946 akibat keracunan tempe bongkrek dan kemudian diteruskan dengan alur maju sampai akhir cerita.

 E.   Tokoh dan Penokohan
Yang dimaksud dengan tokoh ialah sebuah objek (pelaku) yang diciptakan pengarang melalui imajinasinya. Dengan kata lain tokoh bisa diartikan sebagai individu rekaan. Sedangkan penokohan adalah cara kerja atau sifat yang dikenakan pada tokoh dalam sebuah cerita rekaan.
Suatu cerita bukan hanya rangkaian kejadian-kejadian saja. Kejadian- kejadian itu ada yang bersangkutan dengan orang-orang tertentu atau sekelompok orang tertentu. Oleh karena itu, dalam suatu cerita harus ada tokoh utama, tokoh antagonis, tokoh bawahan (tokoh penunjang cerita), dan tokoh tambahan.Berdasarkan cara pengarang dalam menampilkan tokoh cerita, dibedakan menjadi tokoh datar dan tokoh bulat. Tokoh datar adalah tokoh stereotif Tokoh bulat yaitu tokoh yang watak kompleks, terlihat kekuatan dan kelemahannya. Tokoh ini mempunyai watak yang dapat mengejutkan pembaca, karena kadang dirinya dapat terungkap watak yang tidak terduga sebelumnya dan sedikit sekali berubah (Sudjiman, 1991:20).
Tokoh utama dalam novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk adalah seorang perempuan cantik yang bernama Srintil. Dukuh Paruk yang telah di tinggalkan ronggeng kini kembali menggliat ketika Srintil, bocah yang berusia sebelas tahun, menjadi ronggeng, seorang bromocorah yang dianggap moyang mereka, menganggap bahwa kehadiran Srintil akan mengembalikan citra pedukuhan yang sebenarnya. Tentunna kehudupa Srintil tidak lepas dengan orang-orang yang pro feminisme atau kontra feminisme.
Disini Srintil harus melayani beberapa tamu lelaki yang berani memberinya imbalanl. Dalam keadaan apaupun  Srintil harus melayani tamu yang mendatanginya.
”Mata Srintil terbuka lebar-lebar. Suaranya serak ketika ia bertanya kepada Nyai Kartareja, ’Jadi aku harus melayani Sulam pula?’ ’Tak mengapa bukan? Engkau akan menjadi satu-satunya anak yang memiliki ringgit emas di Dukuh Paruk ini.’.’Tapi perutku sakit Nek. Amat sakit” (RDP: 77).
Srintil terlahir bukan untuk dirinya. Dia terlahir untuk Dukuh Paruk, hidupnya hanyalah untuk meronggeng, karena ronggeng adalah impiannya sekak kecil.
”Dukuh Paruk telah menemukan keasliannya, dengan munculnya kelompok ronggeng di bawah asuhan dukunnya yang terkenal, Kartareja. Keinginan Sakarya maupun Kartareja agar Srintil menjadi ronggeng tenar telah terlaksana.” (RDP : 81).
Srintil memegang tnggung jawab yang sangat besar. Pada masa paceklik karena pada saat itu ronggeng menjadi tontonnan di tempat umun. Tak ada yang mengenal Dukuh Paruk jika tak ada Srintil.
” Tetapi pada tahun 1964 itu, ketika paceklik merajalela di mana-mana, ronggeng Dukuh Paruk malah sering naik pentas. Bukan di tempat-tempat orang berhajat, melainkan di tengah rapat umum, baik siang atau malam hari. Karena sering berada di tengah rapat itu maka rombongan ronggeng Dukuh Paruk mengenal Pak Bakar; orang yang selalu berpidato berapi-api. Pak Bakar dari Dawuan yang amat pandai berbicara, sudah beruban tetapi semangatnya luar biasa (RDP : 228).
Di sisi lain, keberanian juga ada pada diri Srintil. Dalam bahasa Sunda kata Srintil berpadanan dengan kata Nyirintil. Padanan kata ini dapat menjadikan Srintil sebagai ikon keberanian.
 “Ayolah Kek, yang tidak bersalah tidak perlu takut.” (RDP : 239).
Ucap Srintil yang kala itu sedang mengajak kakeknya untuk pergi ke kantor polisi. Keberanian itu dicitrakan sebagai pemberian dari Ki Secamenggala yang menjadi leluhurnya. Atas keberanian yang diikonkan kepada Srintil membuatnya menjadi tokoh yang dikorbankan oleh para pemberontak. Para pemberontak masuk ke Dukuh Paruk dengan mendekati Kelompok ronggeng Srintil.  Mereka mengganti kelompok ronggeng itu dengan nama Ronggeng Rakyat. Mereka mengganti tembang-tembang yang dinyanyikan oleh Srintil dengan tambahan kata rakyat dan revolusi. Pada akhirnya tidak hanya kelompok ronggeng yang dianggap sebagai para pemberontak tapi juga perkampungan Dukuh Paruk. Akhirnya Srintil ditangkap sebagai tahanan politik karena dikira menjadi bagian dari pemberontak.
”Catatan ini diawali dengan kisah seorang ronggeng cantik berusia dua puluh tahun. Ia dipenjara secara fisik dan dikurung secara psikis dalam tembok sejarah yang muncul sebagai keserakahan nafsiyah serta petualangan.”(RDP : 244).

a)      Pro Feminisme
Berikut ini adalah pemaparan mengenai perilaku beberapa tokoh yang berperan sebagai Pro male feminis.
(1)   Rasus
Rasus adalah teman bermain Srintil sebelum menjadi ronggeng. Persahabatan mereka mulai renggang setelah Srintil menjadi ronggeng. Rasus merasa Srintil makin menjauh. Rasus mengakui hatinya tersiksa dengan keadaan seperti itu. Rasus tetap kecewa karena tidak bisa lagi bermain bersama Srintil. Rasus mulai mencari jalan untuk memperoleh kembali perhatian Srintil. Rasus acap kali mendengar orang berceloteh bila Srintil habis menari tari Baladewa. Tubuh Srintil masih terlampau kecil bagi kerisnya yang terselip di punggungnya. Celoteh semacam itu membuka jalan karena di rumah Rasus ada sebuah keris tinggalan Ayahnya. Rasus berani berbohong tentang keris itu dengan mengatakan mendapat wangsit Ayahnya.
“Nek, tadi malam aku bermimpi bertemu Ayah. Dalam mimpiku itu Ayah berpesan yang wanti-wantinya harus kulaksanakan, ”kataku dengan hati-hati.
“Apa pesan Ayahmu?” jawab Nenek yang mulai terpancing kebohonganku.
“Soal keris itu, Nek. Kata Ayah keris itu harus kuberikan kepada siapa saja yang menjadi ronggeng di pedukuhan ini. Demikian wangsit Ayah, Nek.” (RDP : 39).
Neneknya percaya dengan mimpi Rasus karena menyebut kata wangsit. Orang Dukuh Paruk menganggap wangsit sebagai bagian dari hukum yang pantang dilanggar. Akhirnya Rasus menyerahkan keris itu kepada Srintil ketika Srintil sedang terlelap. Perhatikan kutipan berikut.
“Keris yang kubawa dari rumah masih kuselipkan di ketiakku, rapi tergulung dalam baju. Aku merasa lebih baik menyerahkan benda ittu kepada Srintil selagi dia tertidur...... yang terwujud dalam diri Srintil yang sedang tidur.” (RDP : 41).

Rasus berharap Srintil mengenali pemilik baju yang digunakan untuk membungkus keris itu. Rasus berharap perhatian Srintil akan kembali padanya. Keris peninggalan Ayahnya ternyata adalah pusaka ronggeng yang telah hilang. Keris pemberian Rasus dipakai Srintil saat melaksanakan upacara pemandian. Upacara pemandiaan yang dilaksanakan di depan cungkup makam Ki Secamenggala sedang berlangsung, ada kejadian yang sangat menyesakkan dada Rasus dan membuat Rasus bertindak untuk menolong Srintil ketika semua orang sibuk mengurus Kartareja. Tubuh Kartareja telah dirasuki roh Ki Secamenggala.
Kartareja perlahan-lahan mengendurkan dekapan atas diri Srintil, entah oleh siraman air kembang atau oleh siraman kepulan asap pedupaan. Dukun ronggeng itu mulai berdiri goyah, dan akhirnya roboh ke tanah. Tangan dan kaki Kartareja kejang. Melihat kejadian itu, Rasus langsung ke depan. Ia ingin menjadi orang pertama yang menolong Srintil dari ketakutan.
“Kau tidak apa-apa, Srin?” tanyaku.
Srintil hanya menggeleng. Dingin terasa tubuhnya. Tangannya gemetar.” (RDP : 49).
Rasus hanya ingin segera membawa Srintil menyingkir. Rasus menggandeng tangan Srintil menuruni bukit kecil pekuburan. Srintil tidak diantar ke rumahnya, melainkan di bawa ke rumah Rasus untuk dihiburnya. Suatu keberanian yang tak pernah terbayangkan dapat dilakukan oleh Rasus. Srintil menurut. Srintil bisa terbebas dari cengkraman Kartareja yang saat itu sedang kemasukan arwah Ki Secamenggala.

Rasus salah mengira bahwa upacara pemandian itu akhir dari segalanya, masih ada satu acara lagi yaitu bukak-klambu. Rasus merasa tidak bisa berbuat apa-apa dengan adanya sayembara bukak-klambu. Rasus hanya bisa berjalan tanpa arah, perjalanan yang tanpa tujuan membawa Rasus sampai ke lorong yang menuju pekuburan Dukuh Paruk. Srintil dalam waktu yang sama ternyata juga berjalan menuju cungkup makam Ki Secamenggala. Srintil tidak mengetahuinya kalau Rasus membuntutinya. Srintil menaruh sesaji di depan pintu makam Ki Secamenggala. Srintil bangkit dan berbalik, setelah selesai ia baru menyadari Rasus ada di belakangnya. Rasus hendak melangkah pergi setelah berbicara sebentar, Srintil menghalangi langkah Rasus dengan menarik bajunya. Srintil membimbing Rasus duduk di atas akar beringin. Keduanya duduk dengan membungkam mulut masing-masing. Ronggeng kecil itu merasa sedang menghadapi seorang anak laki-laki yang sedang mengalami kekecewaan. Srintil pasti tahu Rasus menyukainya. Srintil tahu pula bahwa malam bukak-klambu baginya menjadi sesuatu yang sangat dibenci Rasus.
“Aku tak bergerak sedikit pun ketika Srintil merangkulku, menciumiku. Nafasnya terdengar cepat. Kurasakan telapak tangannya berkeringat. Ketika menoleh ke samping kulihat wajah Srintil tegang. Ah, sesungguhnya aku tidak menyukai Srintil dengan keadaan seperti itu......pohon-pohon puring dan kamboja yang mengelilingi pekuburan Dukuh Paruk menjadi pagar yang sangat rapat.”
“Srintil melepaskan rangkulannya. Kemudian aku mengerti perbuatan itu dilakukannya agar ia dapat membuka pakaiannya dengan mudah.” (RDP : 66).
Rasus sering melihat perempuan mandi telanjang di pancuran. Rasus sudah tahu beda tubuh laki-laki dan tubuh perempuan. Rasus merasa jantungnya memompa darahnya ke segala penjuru ketika melihat Srintil telanjang di hadapannya. Kehendak alam terasa begitu perkasa menuntut Rasus bertindak. Srintil dengan tidak canggung menarik tangan Rasus. Wajahnya merona merah, matanya berkilat-kilat. Srintil mulai mendekat badan Rasus yang mulai basah oleh keringat dingin. Kemudian Rasus tak bisa berbuat lain kecuali menutup muka dengan dua telapak tangan.
“Kita tak bisa berbuat sembrono di tempat ini,” kataku sambil membenahi pakaian Srintil.
“Ya, tetapi kau sungguh bangsat.”
“Maafkan aku, Srin. Sungguh! Aku minta engkau jangan marah kepadaku,” kataku menirukan cara seorang kacung yang minta belas kasihan kepada majikannya. (RDP : 67)
Srintil kecewa dengan penolakan Rasus dan ia merasa malu. Rasus mencoba menjelaskan pada Srintil bahwa perbuatannya akan mendapat kualat. Konon menurut cerita di Dukuh Paruk pernah terjadi sepasang manusia mati di pekuburan itu dalam keadaan tidak senonoh. Mereka kena kutuk setelah berzina di atas makam Ki Secamenggala. Rasus percaya akan cerita itu, dan segera mencegah perbuatan Srintil yang akan berbuat senonoh.
Rasus memilih meninggalkan Dukuh Paruk setelah kejadian itu. Pertama kalinya Rasus diajak berburu oleh Sersan Slamet setelah ia keluar dari Dukuh Paruk, sekarang ia menjadi seorang tobang. Rasus berburu bersama tiga orang tentara ke hutan. Rasus berharap orang Dukuh Paruk akan melihat Rasus mengenakan baju hijau. Rasus tidak pernah mimpi sebelumnya bahwa suatu pengalaman yang amat luar biasa diperolehnya dalam kesempatan berburu itu. Rasus sempat kecewa karena tiga orang tentara yang diiringnya sama sekali tidak berpengalaman dalam hal berburu, hanya seekor ular yang didapatnya. Rasus bertugas menguliti ular besar itu, memotongnya pendek-pendek dan memasukkan dalam tiga ransel.
Pekerjaan mengguliti ular besar selesai sudah. Sementara suasana sepi, Sersan Slamet dan dua orang anggotanya masih terlelap. Rasus tidak mempunyai keberanian membangunkan ketiganya, Rasus hanya duduk berdiam diri dalam kelengangan hutan. Dalam kesendiriannya tiba-tiba Rasus mendapat ilham gemilang ketika memandang tiga pucuk bedil yang dibiarkan tersandar oleh pemiliknya.
“Ketiga bedil itu masih tersandar di tempatnya. Selagi Sersan Slamet bersama dua rekannya pulas, aku bisa menggunakan salah sebuah bedil mereka untuk kepentinganku sendiri. Aku mempunyai musuh bebuyutan yang meski hanya merajalela dalam angan-angan, namun sudah sekian lama aku ingin menghancurkan kepalanya hingga berkeping-keping:......Ketika datang kesempatan buat menghancurkan kepala mantri itu, mengapa aku tidak segera bertindak?” (RDP :96)
Rasus merasa sudah saatnya membalas kesumatnya. Rasus mulai mencari sebongkah batu cadas sebesar kepala. Rasus membayangkan kepala mantri keparat yang telah mencuri Emaknya. Rasus memantapkan hatinya, Rasus mengambil sebuah bedil dengan tangan gemetar. Denyut jantungnya ternyata mampu menggerak-gerakkan ujung laras bedil yang telah bertuju lurus pada sasaran. Kepala Mantri itu! Rasus menunggu sampai jantungnya tenang.
“Bedil kembali kuarahkan kepada sasaran.....Picu kutarik. Ledakan dendam membuat gerak telunjuk kananku menjadi kuat dan pasti. Aku hampir tidak mendengar letupan karena seluruh indra terpusat kepada kepala Mantri yang hancur dan terlempar ke belakang. Tapi gabusnya terbang entah ke mana.” (RDP : 98).
Rasus telah membalas dendam kesumatnya pada Mantri yang telah membawa Emaknya. Rasus bahkan siap menerima hukuman dari Sersan Slamet karena telah menggunakan senjata sembarangan, Rasus sekarang benar-benar puas. Rasus benar-benar puas walau yang dibunuh hanya sekedar bayangan Emaknya.
Selama Rasus menjadi tobang Rasus telah membuktikan kejujuran dan kerja kerasnya pada Sersan Slamet sebagai atasannya. Rasus juga berhasil membunuh perampok yang akan merampok rumah Kartareja di mana Srintil tinggal.
Kedatangan tentara di Dawuan tidak selamanya dapat mencegah perampokan. Rasus tidak berharap sesuatu akan memimpa Dukuh Paruk. Malam kesembilan dari tempat pengintaian Rasus melihat sinar lampu senter mendekat. Empat-lima orang sedang berjalan beiringan di atas pemantang. Keadaan genting seperti itu Kopral Pujo tidak bisa dengan cepat mengambil keputusan. Rasuslah yang mengambil keputusan.
“Kita perlu bantuan. Kopral tetap di sini. Aku akan berlari secepatnya ke Dawuan. Dalam dua puluh menit kuharap aku sudah kembali bersama Sersan Slamet.”
“Terlalu lama. Mana sentermu. Aku akan memberi isyarat ke markas.”
“Tetapi dari tempat ini isyarat itu takkan terlihat oleh Sersan Slamet. Kopral harus berlari sampai ke pertengahan pemantang.”
“Tak mengapa.”
“Nah, inilah senter yang Kopral minta. Aku juga akan meninggalkan tempat ini, mengikuti para perampok itu dari belakang.” (RDP :100).
Kopral Pujo langsung ke tengah pemantang dan Rasus mengendap mengikuti para perampok yang baru beberapa menit lewat di dekat tempat pengintaian. Perampok tidak mendatangi rumah Kartareja di mana Srintil tinggal, melainkan ke rumah Sakarya. Perampok itu tidak menemukan Srintil maupun hartanya. Perampok itu langsung menanyakan di mana Srintil tinggal. Kegaduhan di rumah Sakarya saat itu sudah mendengar oleh dukun ronggeng itu. Barang-barang miliknya dan milik Srintil disembunyikannya di dalam abu tungku.
Rasus tetap mengintai di balik pohon beberapa langkah dengan salah seorang di antara mereka. Perampok itu mendobrak pintu dan Srintil menjerit ketakutan. Rasus mengutuk sengit mengapa Kopral Pujo belum juga muncul dalm keadaan seperti itu. Rasus tidak sabar menunggu dan akhirnya timbul keberaniannya.
“.......Aku mencari sesuatu di tanah. Sebuah batu sudah cukup. Tetapi yang kutemukan sebatang gagang pacul......Pembunuhan kulakukan untuk kali pertama.....Pengalaman pertama itu membuat aku gemetar......Aku mendengar langkah mendekat. Cepat aku ambil senjata milik orang yang sudah kubunuh. Sebuah Thomson yang tangkainya sudah diganti dengan kayu buatan sendiri......Senjata yang telah terkokang ittu kugunakan untuk pembunuhan kali kedua.” (RDP :102).
Keberanian Rasus muncul karena keadaan. Rasus merasa harus menyelamatkan Srintil dan hartanya. Sesaat setelah kejadian itu Kopral Pujo datang dengan membawa bantuan. Rasus mengatakan kalau perampok sedang berada di rumah Kertareja, dua di antara mereka telah dibunuh dirinya.
Kejadian perampokan di Dukuh Paruk sudah tidak terdengar lagi. Rasus dan rombongan tentara kembali ke markas mereka. Setelah beberapa lama Rasus meninggalkan neneknya sendirian di Dukuh Paruk, ia meminta izin pulang untuk menjenguk neneknya.
Rasus Meninggalkan Dukuh Paruk selama dua tahun dan kini dia kembali untuk menjenguk neneknya. Rasus terkejut setelah sampai di depan rumah melihat banyak orang berkumpul. Langkahnya dipercepat, perasaannya kembali seperti seorang bocah yang ingin segera menghambur ke pangkuan neneknya.
“Nek, aku pulang!”
“Oalah, Gusti Pangeran. Rasus, cucuku wong bagus. Kau datang kemari bukan hendak menangkap kami, bukan? Kau hendak menjenguk nenekmu yang sudah payah ini, bukan? Kau masih mengaku saudara kepada kami orang-orang Dukuh Paruk, bukan?” (RDP :256).
Rasus seperti mendapat pukulan keras di dadanya setelah mendengar ucapan itu. Lengan dan bibirnya bergetar. Rasus langsung mendekap neneknya perlahan dia mulai bergerak menjauh membiarkan neneknya istirahat.
Tengah malam ketika bulan terbenam hanya tinggal Rasus dan Sakarya yang masih terjaga. Tiba-tiba mata nenek itu terbeliak. Lalu kelihatan ada sesuatu yang bergerak cepat dari arah dada dan berhenti dalam tekak. Rasus merasakan neneknya telah berangkat. Keberangkatan neneknya ke tempat asal-muasalnya Rasus merasa berada dalam ketenangan sempurna. Rasus tidak menyesal menjenguk neneknya saat ajal sudah menunggu neneknya, Rasus akan benar-benar menyesal bila saat kematian nenek, ia tidak berada di samping neneknya.
Rasus ikut menguburkan neneknya, dan setelah keadaan tenang ia bermaksud mencari Srintil karena perintah semua warga Dukuh Paruk. Rasus seperti bertanggung jawab atas diri Srintil. Sakarya tidak salah ketika dia menitipkan nasib Srintil kepada Rasus. Rasus tergagap ketika mendengar kenyataan bahwa Sakarya sendiri yang menyampaikan ketegasan tanggung jawab moral Rasus atas nasib Dukuh Paruk, khususnya atas diri Srintil.
“Bagaimana cucuku, sampean mau, kan?”
“Yah, ya. Besok akan kucoba mencari tahu di mana Srintil kini berada dan bagaimana keadaannya.”
Sakarya kembali mengusap air matanya.
“Kemudian, cucuku, apakah sampean mau berusaha agar Srintil segera dibebaskan? Karena sampean tahu tak seorang Dukuh Paruk pun sebenarnya mengerti urusan yang menyebabkan geger itu.”
“Akan kucoba juga, Kek.” (RDP : 263).
Kesediaan Rasus mencari Srintil adalah kesanggupan seorang anak Dukuh Paruk yang bertanggung jawab. Rasus merasa semua orang Dukuh Paruh adalah tanggung jawabnya karena ia merupakan satu-satunya anak yang menjadi tentara.
Rasus berhasil mencari Srintil tetapi tidak segera menikahinya karena sebagai seorang tentara Rasus akan ditugaskan di luar Jawa. Setelah kembali bertugas dari luar Jawa Rasus menyesal karena Srintil ternyata merasa tertekan dan menjadikan Srintil hilang ingatan. Merasa bertanggung jawab pada Srintil, Rasus segera membawa Srintil berobat ke rumah sakit.
Rasus menengok Dukuh Paruk setelah dia berangkat ditugaskan ke luar Jawa. Ketika Rasus melintasi rumah Srintil sejenak ia tertegun. Srintil tertawa terbahak-bahak lalu bertembang seorang diri di dalam rumah terdengar. Srintil menjadi gila karena Bajus menjadikan impiannya lenyap seketika.
“Srintil jadi ngengleng begitu Bajus menyatakan tidak bisa mengawininya. Itu kata Bajus sendiri, yang mengantar Srintil pulang.”
“Aku bangkit dan mengentakkan kaki ke tanah. Bagaimanapun jua aku ingin menempeleng laki-laki yang bernama Bajus. Ah, tetapi tindakan semacam itu percuma saja. Ada benarnya kata Kartareja; bukan hal yang mudah meminta pertanggungjawaban kepada Bajus. Aku hanya akan menambah kepusingan.” (RDP : 387)
      Semua orang seolah menyalahkan Rasus yang selalu menunda menikahi Srintil sampai terjadi peristiwa itu. Rasus mengajak Srintil untuk berobat untuk menghapus rasa bersalahnya. Rasus membawa Srintil ke rumah sakit jiwa. Sikap Rasus yang mempunyai keinginan supaya Srintil bisa disembuhkan. Rasus mempunyai harapan Srintil bisa sembuh dan mereka bisa hidup bahagia.

(2)   Sakum
Srintil berhenti di depan rumah Sakum ketika mau ke rumah Tampi untuk mengambil Goder. Hatinya terkesan oleh suasana di rumah Sakum. Setelah Srintil memutuskan tidak berjoget yang berakibat kehidupan Sakum menjadi berantakan karena penghasilannya hanya diperolehnya ketika mengiringi ronggeng. Sakum membuat anyaman kukusan setiap hari untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
“……Jemarinya terus bekerja; menganyam, menyambung, atau memotong serpih bambu yang kepanjangan. ”Bila aku masih mendengar suara anakku, itu pertanda baik. Berarti mereka masih hidup.” Ini senda gurau Sakum yang bukan sekali-dua diucapkan.” (RDP : 163).
Sakum tidak bisa hanya mengandalkan indra pendengarannya, terkadang naluri dan perasaannya lebih dipercaya. Mata Sakum buta tapi dia bisa membuat anyaman kukusan dengan baik dan ketika ia sedang menabuh gendang mengiringi ronggeng, Sakum sempurna melakukannya. Naluri Sakum bisa mencukupi kebutuhan keluarganya.
Sakum kecewa dengan Srintil tidak mau berjoget lagi, Sakum dengan sabar mendengarkan keluh kesah Srintil. Srintil tetap teringat Rasus dan membuat dia tidak mau berjoget lagi.
“Ya, Kang. Sebaiknya aku menuruti permintaan mereka. Aku mau menari lagi, Kang. Tetapi hatiku, Kang, hatiku!”
“Hati?”
“Ya. Hatiku tak bisa kubawa menari.”
“bisa,” ujar Sakum cepat. “Aku percaya indang ronggeng masih tetap bersemayam pada diri sampean. Hati sampean yang buntu akan terobati bila sampean melupakan dia.” (RDP : 165).
Sakum memperlihatkan kesungguhannya. Sakum ingin menyatakan kebenciannya dengan cara itu atas hubungan Srintil-Rasus yang telah membawa banyak persoalan bagi rombongan ronggeng, bagi Dukuh Paruk. Sakum kembali menarik nafas lega setelah memberi penjelasan pada Srintil, Sakum telah lama ingin mengungkapkan perasaannya kepada Srintil; mengingatkannya dan mengajarinya tentang bagaimana seharusnya sikap seorang ronggeng.
Srintil menolak berjoget setelah sekian lama dan kini ia menerima tawaran panitia Agustusan. Tidak semua orang tahu bahwa sebenarnya Srintil menari dalam keadaan marah..
“Kecuali Sakum. Laki-laki buta itu sudah terbiasa memahami sesuatu dengan intuisinya. Sakum ingin menghentikan Srintil……..Maka Sakum yang bertindak. Sentuhan irama calungnya dibuat sumbang dengan cara menyimpangkan nada-nada tertentu………Baru setelah tiga buah lagu berlalu Srintil patuh akan aba-aba yang diberikan Sakum.” (RDP : 192).
Calung berhenti suasana mendadak janggal dan hampa. Tiba-tiba Srintil pingsan. Sakum yang mengerti keadaan Srintil hanya dengan nalurinya.
Sakum dengan keadaan cacat fisik tidak bisa mencari keberadaan Srintil setelah Srintil pergi melapor ke kantor polisi, Sakum menyuruh Rasus mencari Srintil.
Nenek Rasus dikuburkan di pekuburan Dukuh Paruk. Selesai menguburkan jasad neneknya Rasus tidak segera turun dari bukit pekuburan itu. Sakarya dan Rasus menuruni bukit pekuburan Dukuh Paruk setelah beberapa lama termenung dan memilih jalan memutar karena Rasus ingin melihat-lihat keadaan lebih menyeluruh. Ketika Rasus melewati rumah Sakum dan Rasus berdiri agak lama. Sakum keluar memanggil Rasus.
“Ah, Pak Tentara. Jadilah orang Dukuh Paruk lagi.”
“Aku tetap orang Dukuh Paruk, Kang.”
“Itu iya. Maksudku, ada sesuatu yang sangat layak, sangat pantas. Semua orang di sini pasti senang bila sampean kembali tinggal bersama kami. Dan mengambil istri orang sini. Ah, Pak Tentara. Aku kan Sakum. Aku tidak pernah lupa siapa sampean, siapa Srintil, dan bagaimana kalian pada waktu dulu. Carilah Srintil dan bawa kemari. Ambil dia jadi istri sampean.” (RDP : 261).
Mendengar kata-kata Sakum, wajah Rasus langsung berubah. Kata-kata Sakum mengusik harapan yang pernah ada dan kini diam-diam masih dipeliharanya, Rasus akan menjadi cucu menantunya suatu hari nanti. Sakum menunggu jawaban Rasus dengan hampa. Sakum tidak mendapat jawaban pasti dari Rasus.
Srintil setelah sekian lama di penjara akhirnya dia dibebaskan bersyarat. Srintil keluar dari penjara dan ia tidak kembali meronggeng karena takut terjadi apa-apa. Srintil menemukan pria yang dikira bisa menggantikan Rasus.
Perkenalannya dengan Pak Bajus menjadikan keduanya akrab. Bajus berjanji datang ke rumah Srintil untuk berkunjung. Tidak seperti biasanya Srintil mempersiapkan semua. Srintil merasa Bajus bisa menggantikan Rasus yang telah pergi meninggalkannya. Srintil menyuruh Sakum untuk membelikan keperluan menyambut Bajus.
“Ya. Aku mau minta tolong, Kang. Belikan gula dan bubuk kopi yang bagus. Juga papaya dan jeruk. Mau, Kang?”
“Tentu saja mau, jenganten,” jawab Sakum yang cengar-cengir. “Ada tamu ya? Siapa?”
“Benar, Kang. Ada orang mau bertamu ke rumahku.”
“He….he. Marsusi, ya?”
“Salah. Orang Jakarta, Kang.” (RDP : 325).
Srintil menyerahkan uang pada Sakum, dan Sakum langsung berangkat ke Pasar Dawuan. Sakum membeli menurut pesanan. Sambil menunggu Sakum, Srintil mandi di pancuran. Pulang dari pancuran Srintil menengok Goder yang masih tidur. Sakum pulang beberapa saat kemudian dan menyerahkan barang belanjaannya pada Srintil.

(3)   Martanakim
Rombongan Srintil memenuhi undangan datang ke Alaswangkal. Mereka naik bus tua dari Dawuan dan untuk sampai Alaswangkal harus menempuh perjalanan beberapa jam. Rombongan dari Dukuh Paruk turun di daerah sepi berhutan jati setelah dua jam dalam kendaraan. Seorang laki-laki tua bercawat lancingan tergopoh-gopoh menjumpai Kartareja.
“Saya Mertanakim,” katanya. “Saya utusan Pak Sentika untuk menjemput sampean semua.”
“Ah, ya. Terima kasih,”jawab Kartareja. “Apakah ada tenaga buat mengangkut bawaan kami?”
“Lha, orang-orang ini! Sampean semua tinggal berjalan bersama saya.”
“Jauh?”
“Paling-paling dua jam perjalanan,” jawab Mertanakim tanpa perubahan emosi pada wajahnya.” (RDP : 205).
Rombongan Srintil mulai berjalan mengikuti Mertanakim. Mereka berjalan di jalan sempit, turun-naik, dan berlapis batu cadas yang besar dan kasar. Mertanakim membimbing rombongan Srintil dengan sadar, dan selalu membesarkan hati rombongan Srintil bila mereka kelihatan lelah.
“Apa kira-kira masih jauh lagi, Kang Kartareja?” kata Sakum, yang merasa paling sengsara bila melangkahkan kaki pada jalan yang belum dikenalnya.
“Memang masih jauh,” kata Mertanakim. “Tetapi sampean tidak perlu berkecil hati. Majikan kami sudah mempersiapkan sambutan yang istimewa bagi sampean semua.” (RDP : 206).
Mendengar rayuan Mertanakim rombongan Srintil menjadi semangat untuk melanjutkan perjalanan. Perjalanan diteruskan saat matahari mulai terik. Rombongan Dukuh Paruk memasuki kampung Alaswangkal ketika hampir tengah hari. Ucapan Mertanakim benar-benar terbukti. Di Alaswangkal rombongan Srintil diperlakukan istimewa, terlebih perlakuan tuan rumah terhadap Srintil.

(4)   Partadasim
Srintil masih diwajibkan lapor setelah keluar dari penjara. Srintil ditawari Marsusi untuk membonceng motornya ketika hendak melapor. Marsusi merayu Srintil supaya Srintil mau membonceng motornya. Srintil mau juga membonceng Marsusi.
Srintil yang semula mengira akan diantar ke rumah oleh Marsusi salah mengira. Marsusi hendak berbuat jahat pada Srintil.
“Namun ketika perjalanan hampir sampai simpang tiga, ada pikiran baru yang membuat Marsusi mengambil keputusan mendadak. Dibelokkannya motornya ke kiri masuk ke jalan kecil yang menuju daerah perkebunan karet Wanakeling. Ketika “barang” yang sangat diinginkannya sudah berada di tangan, mengapa tidak langsung membawanya pulang ke rumah?” pikir Marsusi. (RDP : 287).
Srintil merasa dibohongi, dan segera menanyakan hendak ke mana dirinya di bawa. Srintil tidak mau di ajak ke Wanakeling oleh Marsusi. Marsusi tetap memaksanya. Srintil Berkali-kali berusaha terjun dari motor, namun setiap kali diurungkannya. Marsusi begitu semangat membawa Srintil ke Wanakeling, tanpa disadari kecerobohannya mengakibatkan rencananya gagal. Ketika melewati ruas jalan yang sangat rusak motor Marsusi kelihatan melompat-lompat dalam kecepatan yang berubah-ubah. Kejadian itu membuat pantat Srintil terangkat karena guncangan dan terhempas ke permukaan jalan tanpa diketahui Marsusi.
Srintil yang merasa mendapat jalan berusaha bangkit keluar dari hutan. Srintil berjalan menuruni lorong setapak menuju jalan pengunungan yang membelah hutan jati. Usaha Srintil sia-sia, Marsusi telah mencegatnya di tepi jalan. Marsusi merasa bersalah karena telah menjatuhkan Srintil dan melukainya. Srintil menolak diantar Marsusi pulang. Marsusi terus mengejar Srintil yang terus menjauh.
Sintil sudah kehabisan tenaga ketika mencapai jalan pengunungan. Marsusi muncul sesaat kemudian. Seorang laki-laki pengendara sepeda lewat di depan mereka saat Marsusi merayu Srintil untuk mengantarnya pulang.
“Kang, sampean mau ke mana?”
“Lha, aku mau pulang.”
“Ke mana?”
“Lha, ya ke Pecikalan. Aku kan orang Pecikalan. Sampean orang Dukuh Paruk, kan?”
“Kebetulan, Kang. Aku minta dengan sangat sampean mau menolongku. Mau?”
“Ya mau saja. Lalu apa tidak salah, karena sampean kan.....kan….kan….” (RDP : 295).
Srintil menjelaskan kejadiannya pada Partadasim, Partadasim mau mengantarkan Srintil pulang. Kesempatan memboncengkan Srintil adalah sesuatu yang diimpikannya selama ini. Marsusi kalah dan berusaha menutupi kekalahannya dengan menyuruh Partadasim untuk mengantar Srintil.

(5)   Pak Blengur
Bajus membawa Srintil untuk mengikuti sebuah rapat. Sikap Bajus memperlihatkan bahwa Bajus seolah-olah hendak menikahi Srintil. Srintil salah mengartikannya sikap Bajus. Bajus menyuruh Srintil melayani Pak Blengur demi untuk mendapatkan pekerjaan juga uang lima juta.
“Anu, Srin. Kamu sudah kuperkenalkan kepada Pak Blengur. Percayalah, dia orangnya baik. Aku yakin bila kamu minta apa-apa kepadanya, berapa pun harganya, akan dia kabulkan. Nanti dia akan bermalam di sini. Temanilah dia. Temanilah dia, Srin.” (TRDP, hlm. 372).
Srintil tersentak mendengar kata-kata Bajus. Gerakannya limbung, Srintil bangkit dan berlari ke kamar. Srintil menyesal ikut Bajus. Srintil dengan keberaniannya hendak melawan Bajus, Bajus segera bertindak, menangkap tangan Srintil dan mengunci Srintil di dalam kamar.
Beberapa langkah di luar kamar, Bajus duduk gelisah ketika sopir Pak Blengur menyuruhnya datang ke hotel. Berbagai alasan telah dipersiapkan untuk Pak Blengur tentang Srintil. Bajus tidak menyangka akan berhadapan dengan sosok yang penuh kesantaian.
“Jus, aku membuktikan sendiri katamu memang benar.”
“Kata yang mana, Pak?”
“…...Aku terkesan oleh citra pada wajahnya. Wajah perempuan jajanan yang sangat berhasrat menjadi ibu rumah tangga. Jus!”
“Ya, Pak.”
“Ya. Berilah dia kesempatan mencapai keinginannya menjadi seorang ibu rumah tangga. Masih banyak perempuan lain yang dengan sukarela menjadi objek petualangan. Jumlah mereka tak akan berkurang sekalipun Srintil mengundurkan diri dari dunia lamanya.” (RDP : 375).
Pak Blengur menyuruh Bajus mengantar Srintil pulang. Pak Blengur memberi uang pada Srintil tanpa harus melayaninya.

b)     Kontra Feminisme
Berikut ini adalah pemaparan mengenai perilaku beberapa tokoh yang berperan sebagai kontra male feminis.
(1)   Sekarya
Sakarya adalah kakek Srintil yang merawat dirinya sejak kecil sejak bencana tempe bongkrek yang melanda Dukuh Paruk. Karena tanpa sepengetahuan Srintil, kakeknya mengetahui ulahnya tadi sewaktu menari layaknya seorang ronggeng di bawah pohon nangka. Sakarya yakin cucunya itu telah kerasukan indang ronggeng. Sakarya yakin cucunya akan mengembalikan citra sebenarnya pedukuhan.
“Sakarya tersenyum. Sudah lama pemangku keturunan Ki Secamenggala itu merasakan hambarnya Dukuh Paruk karena tidak terlahirnya seorang ronggeng di sana. “Dukuh Paruk tanpa ronggeng bukanlah Dukuh Paruk. Srintil, cucuku sendiri, akan mengembalikan citra sebenarnya pedukuhan ini,” kata Sakarya kepada dirinya sendiri……… (RDP : 15).
Sakarya tahu kalau cucunya telah kerasukan indang ronggeng lalu ia menyerahkan Srintil pada Kartareja seorang dukun ronggeng. Sakarya tahu akibat setelah Srintil menjadi ronggeng, ia akan menjadi pelampiasan nafsu kaum laki-laki. Dukuh Paruk tanpa ronggeng bukanlah ronggeng. Dukuh Paruk hanya lengkap bila di sana ada keramat Ki Secamenggala, ada seloroh cabul, ada sumpah serapah, dan ada ronggeng bersama perangkat calungnya.
“Keesokan harinya Sakarya menemui Kartareja. Laki-laki yang hampir sebaya ini secara turun temurun menjadi dukun ronggeng di Dukuh Paruk. Pagi itu Kartareja mendapat kabar gembira. Dia pun sudah bertahun-tahun menunggu kedatangan seorang calon ronggeng untuk diasuhnya. Belasan tahun sudah perangkat calungnya tersimpan di para-para di atas dapur. Dengan adanya laporan Sakarya tentang Srintil, Dukun ronggeng itu berharap bunyi calung akan kembali terdengar semarak di Dukuh Paruk.” (RDP : 16).
Srintil segera diserahkan ke dukun ronggeng yaitu Kartareja. Srintil sekarang sudah berada dalam asuhan Kartareja dan Srintil harus menjalani serangkaian upacara sebelum Srintil sah menjadi ronggeng. Srintil setelah selesai dimandikan. Ronggeng itu dituntun ke depan pintu cungkup. Di sana Srintil menyembah dengan takzim, lalu bangkit dan berjalan ke hadapan lingkaran para penabuh. Kartareja komat-kamit sebentar, laki-laki itu memberi aba-aba kepada pemukul gendang. Kelengangan pekuburan Dukuh Paruk pecah. Semua gendang dan calung menggema bersama dalam irama khas.

(2)   Kartareja
Upacara pemandian dilaksanakan di pekuburan Ki Secamenggala, dan Srintil harus menempuh satu syarat lagi yaitu bukak-klambu. Bukak-klambu adalah semacam sayembara, terbuka bagi laki-laki mana pun, dan yang disayembarakan adalah keperawanan calon ronggeng. Laki-laki yang dapat menyerahkan sejumlah uang yang ditentukan oleh dukun ronggeng, berhak menikmati virginitas itu.
Kartareja sebagai dukun ronggeng jauh-jauh hari sudah menentukan malam bukak-klambu tersebut. Kartareja memasang syarat sekeping uang ringgit emas.
“......Dukun ronggeng itu rajin keluar Dukuh Paruk untuk menyebarkan berita. Hanya dalam beberapa hari telah tersiar kabar tentang malam bukak-klambu bagi ronggeng Srintil. Orang-orang segera tahu pula, Kartareja menentukan syarat sekeping uang ringgit emas bagi laki-laki yang ingin menjadi pemenang.” (RDP : 54).
Kartareja merasa layak memasang harga sekeping uang ringgit emas untuk acara bukak-klambu karena di Dukuh Paruk belum pernah ada ronggeng secantik Srintil. Harga itu sudah terlalu pantas.
Kartareja ditegur oleh beberapa pemuda di pasar saat menyebarkan berita itu. Mereka menegur Kartareja karena terlalu berat harga untuk mengikuti sayembara bukak-klambu bagi orang Dukuh Paruk. Jangankan ringgit emas, sebuah rupiah perak pun tak dimiliki oleh laki-laki Dukuh Paruk.
“Berita tentang malam berahi itu cepat menyebar ke mana-mana, jauh ke kampung-kampung di luar Dukuh Paruk......Tetapi sebagian besar segera memadamkan keinginan setelah mengerti apa syarat untuk tidur bersama Srintil pada malam bukak-klambu.......Hanya beberapa pemuda yang merasa dirinya sanggup mengalahkan tantangan itu.” (RDP : 54).
Kartareja mendapat keraguan setelah menyebarkan berita itu. Kartareja tetap melaksanakan malam bukak-klambu pada sabtu malam.
Kartareja menyuruh istrinya untuk melayani Sulam. Kartareja mempunyai cara licik untuk mendapatkan uang Dower dan Sulam dalam acara Bukak-klambu. Kartareja memberi keduanya minuman ciu, Sulam mulai mengigau karena dia minum terlalu banyak. Sebaliknya Dower sama sekali tidak mabuk. Sulam merasakan melihat beribu bintang jatuh dari langit. Telinganya mendengar suara tembang asmara, dan Nyai Kartareja dianggapnya Srintil dan mengajaknya bertayub.
“Oleh suaminya Nyai Kartareja disuruh melayani Sulam yang sedang hilang ingatan. Soal bertayub tak usah ditanyakan kepada istri dukun ronggeng itu......Dia membiarkan dirinya dibawa berjoget, bahkan diciumi oleh Sulam.” (RDP : 74).
Nyai Kartareja menuruti kemauan suaminya untuk melayani Sulam. Keduanya sudah membayangkan sebuah ringgit emas, dua rupiah perak, dan seekor kerbau. Nyai Kartareja melayani Sulam bertayub, renjana yang menguasai Sulam tidak berlangsung lama karena kemudian Sulam roboh dalam pelukan Nyai Kartareja. Dan Nyai kartareja segera melapor pada suaminya kalau tugas melayani Sulam sudah selesai.

(3)   Dower
Dower pemuda dari Pecikalan adalah pemuda pertama yang datang ke rumah Kartareja untuk mengikuti sayembara. Dower sampai di rumah Kartareja ketika Kartareja sedang melamun karena sudah jumat malam belum ada seorang pemuda pun yang datang memenuhi harapannya, menyerahkan sekeping ringgit emas bagi keperawanan Srintil. Lamunan dukun ronggeng itu berhenti ketika pintu depan berbunyi.
Kula nuwun,” Dower mengucapkan salam.
Mangga,” jawab Kartareja. Dijulurkannya lehernya sambil menyipitkan mata. Sinar lampu membuat matanya silau. “Oh, maari masuk.””
Dower melangkah di bawah tatapan Kartareja. Lalu duduk.....Kartareja segera tahu tamunya datang dari jauh karena mendengar nafas Dower yang terengah-engah.” (RDP : 58).
Kartareja segera mempersilakan tamunya masuk dan segera menanyakan maksud kedatangannya. Dower datang untuk mengikuti sayembara. Kartareja harus kecewa karena Dower baru membawa dua buah rupiah perak, dan uang itu dijadikan panjar terlebih dahulu kemudian besok harinya Dower akan datang lagi dengan membawa seringgit emas.
“Jadi beginilah maksudmu, Nak?’
“Ya, Kek.”
“Baiklah. Uang panjarmu bisa kuterima. Tetapi besok malam kau harus datang membwa sebuah ringgit emas. Kalau tidak, apa boleh buat. Kau kalah dan uang panjarmu hilang. Bagaimana?”
“Kalau engkau berkeberatan, maka terserah. Silakan berpikir. Atau segera pulang ke Pecikalan selagi malam belum larut. Aku akan menunggu pemuda lain, beberapa orang akan segera tiba.” (RDP : 59).
Gertakan Kartareja menggena di hati Dower. Dower berjanji datang lagi dengan membawa sebuah ringgit emas. Sesaat kemudiaan terdengar gemerincing. Dower menyerahkan dua buah uang rupiah perak pada Kartareja.
Dower datang lagi ke rumah Kartareja pada malam berikutnya dengan menuntun seekor kerbau. Dower dengan bajunya yang baru duduk di hadapan tuan rumah. Dower menyerahkan seekor kerbau sebagai pengganti ringgit emas setelah berbincang-bincang dengan Kertareja,. Kartareja menyambutnya dengan senyum kecut, bahkan menyepelekan.
“Tetapi bagaimana juga kau tak bisa kuanggap telah mencukupi syarat yang kutentukan. Seekor kerbau dan dua buah rupiah perak tidak sama dengan sebuah ringgit emaas.”
“Jadi engkau menolak, Kek?” tanya Dower gelisah.
“Ya. Kecuali......”
“Kecuali apa?” potong Dower cepat.
“Kecuali kau mau hanya menjadi cadangan. Bila sampai tengah malam nanti tak ada orang lain membawa ringgit emas kepadaku, maka kaulah pemenangnya. Kalau kau menolak, silakan terima kembali dua rupiah perak ini. Bawalah pula kerbaumu itu.” (RDP : 70).
Dower tidak menyangka Kartareja akan menolak dengan kata-kata sekeras itu. Perjaka Pecikalan tergagap. Bukan main kecewa hati Dower.

(4)   Sulam
Dower dan Kartareja ketika sedang mendiskusikan masalah bukak-klambu. Di halaman seorang pemuda datang ke rumah Kartareja. Sulam dengan angkuhnya melangkah ke dalam rumah Kartareja. Kebanggaan menjadi anak seorang lurah dibawanya ke mana-mana. Di rumah Kartareja, Sulam terkejut sejenak ketika dilihatnya Dower sudah duduk di hadapan Kartareja. Sebelum terjadi bersitegang antara Dower dan Sulam, Kartareja bertanya pada Sulam tentang maksud kedatangan Sulam ke rumahnya. Sulam seperti halnya dower datang untuk mengikuti sayembara bukak-klambu.
 “Baiklah. Bila demikian katamu, pasti kau sudah siap dengan sebuah ringgit emas,” ujar Kartareja.
“Sebuah pertanyaan yang menghina, kecuali engkau belum mengenalku. Tentu saja aku membawa ringgit emaas. Bukan rupiah perak, apalagi seekor kerbau seperti anak Pecikalan ini,” ujar Sulam sambil melirik ke arah Dower. Yang dilirik tersengat hatinya lalu membalas keras.” (RDP : 72).
Sulam dengan angkuh menyerahkan ringgit emas pada Kartareja. Sulam merasa telah mengalahkan Dower anak Pecikalan. Mereka berdua belum tahu siasat sedang dijalankan Kartareja untuk mendapatkan uang keduanya, Sulam tetap angkuh.

(5)   Marsusi
Suatu malam Marsusi datang lagi ke rumah Kartareja dengan membawa kalung emas yang diminta Nyai Kartareja. Suami-istri Kartareja menerima keuntungan lebih besar manakala mereka menjadi mucikari. Seorang laki-laki yang mabuk kepayang terhadap Srintil dan ingin bersamanya barang satu-dua malam harus melalui perantara Nai Kartareja. Baginya untuk sementara tak mengapa kalau Srintil masih enggan menari asalkan dia mau melayani laki-laki yang menginginkannya.
“Ketika suatu malam Marsusi muncul kembali di Dukuh Paruk, tibalah saat bagi Nyai kartareja meminta Srintil kembali kepada kebiasaan semula. Dalam mempengaruhi Srintil, Nyai Kartareja menggunakan segala kemampuannya karena dia tahu Marsusi pastilah membawa kalung emas seratus gram dengan bandul berlian. Perhiasan seperti milik istri lurah pecikalan itu telah lama menjadi buah impiannya. Tetapi kepada Marsusi dia menyatakan Srintil-lah yang menginginkannya.” (RDP : 140).
Nyai kartareja menggunakan dalih bahwa Srintil yang menginginkan kalung itu. Srintil masih berada di rumah Sakarya dengan mengendong Goder ketika Marsusi datang lagi. Srintil disusul oleh Nyai Kartareja untuk segera menemui tamunya. Nyai Kartareja menyuruh Srintil melayani Marsusi dengan imbalan kalung emas seratus gram dengan bandul berlian. Srintil dengan tegas menolak melayani Marsusi, ia akan menerima kalung tersebut sebagai upah menari bukan melayani Marsusi.
Kemarahan Marsusi membawa dia mendatangi Pak Tarim seorang dukun teluh. Pak Tarim adalah laki-laki tua berkepala semar. Setiap hari berleha-leha menghadapi gelas besar dengan kue-kue jajan pasar. Di kampung laut nama Tarim sering dihubungkan dengan ngelmu. Melalui jalur informasi yang panjang berliku-liku sampailah Marsusi kepada Tarim. Marsusi datang ke rumah Tarim ketika panas udara mulai reda. Marsusi di suruh istirahat terlebih dahulu setelah sampai rumah Tarim. Tarim memanggilnya untuk diajak diskusi setelah Marsusi istirahat.
Marsusi mulai menceritakan perihal yang membawanya sampai ke rumah Tarim. Mendengar cerita Marsusi, Tarim berusaha menasehati Marsusi supaya mengubah rencana balas dendamnya. Tarim berhasil mengubah keinginan Marsusi.
“Ya. Dan untunglah, setidaknya aku telah berhasil mengubah niatku,” kata Marsusi setelah beberapa kali mengangguk. Tetapi dia kaget karena Tarim menertawakannya, ditambah dengan pandangan mata menyindir.” (RDP : 177).
Marsusi merasa rencana balas dendamnya akan berakibat fatal. Srintil bukan hanya milik dirinya tapi ia milik semua orang. Sikap awal Marsusi yang ingin membalas dendam Srintil bisa dikatakan sebagai peran kontra male feminis. Marsusi tidak jadi membalas dendam pada Srintil, Marsusi masih mempunyai keinginan melihat Srintil menderita. Srintil mengisi acara Agustusan itulah Marsusi dapat melaksanakan rencananya. Semangat Agustusan tidak hanya ada pada orang-orang yang menonton acara itu, Srintil juga dengan semangat yang mengesankan terus menari. Srintil terus melenggang dan melenggok pada saat yang biasa dia gunakan untuk istirahat, Srintil sedang melampiaskan kemurkaannya sampai alam bawah sadarnya tanpa seorang pun tahu. Srintil menari setelah beberapa lama tanpa istirahat akhirnya Srintil pingsan. Suasana mulai kalut. Sesaat setelah sadar Srintil menari lagi sesat setelah sadar dan begitu seterusnya.
Kartareja adalah orang yang mengetahui kalau Srintil sedang dalam bahaya. Kartareja menduga adanya tangan jail. Kartareja segera menemukannya.
“Tunggu sebentar, Mas,” panggilnya. Laki-laki itu menoleh. Mata Kartareja membulat untuk lebih memahami wajah laki-laki itu. Mula-mula Kartareja ragu.
“Oh, sampean? Ah, meskinya sampean menonton bersama Pak Camat. Tak pantas di sini, bukan?”
“Yah, terkadang orang ingin menyendiri,” jawab Marsusi tenang.” (RDP : 195).
Ulah Marsusi diketahui oleh Kartareja. Marsusi sengaja merusak acara itu karena ia masih merasa sakit hati terus menerus ditolak Srintil.

(6)   Komandan Polisi
Sakarya menangis keras karena mendapati cungkup makam Ki Secamenggala poranda dirobohkan orang. Orang Dukuh Paruk merasa sedih dan marah, mereka merasa terhina. Mereka melaporkan kejadian itu kepada polisi untuk meminta perlindungan. Polisi yang mendapat laporan kejadian di Dukuh Paruk hanya mengecewakan. Polisi belum memberikan keterangan siapa sebenarnya para pelakunya sampai lima hari. Kejadian demi kejadian yang memilukan terus menimpa Dukuh Paruk. Srintil sebagai warga Dukuh Paruk merasa harus melakukan tindakan.
“Aku akan pergi ke kantor polisi!” kata Srintil tiba-tiba. “Aku akan bertanya kepada mereka apa kesalahan kita.”
“Ya. Aku setuju,” ujar Kartareja. “Kami hanya meronggeng. Kita sama sekali tidak merojeng pada siapa pun. Srintil, aku akan menyertaimu ke kantor polisi.”
Kata-kata Kartareja menimbulkan sedikit harapan dan percaya diri. Hanya Nyai Sakarya yang mempertahankan Srintil agar jangan pergi ke kantor polisi. Tetapi nenek itu mengalah karena Srintil bersikeras.
“Aku mengenal mereka, Nek. Juga komandannya,” kata Srintil.” (RDP : 239).
Srintil dan Kartareja berangkat menuju kantor polisi dengan membawa harapan. Mereka berdua tidak tahu bahwa sesungguhnya mereka sedang menyerahkan diri, sebenarnya mereka ikut dalam nama orang yang ditahan.
“Kami datang kemari hendak bertanya, Pak,” kata Srintil dengan keberanian yang masih tersisa......Apabila kami dikatakan salah, maka tolong, Pak, katakan apakah kesalahan kami.”
“Mereka malah datang sendiri. Bagaimana ini?”
“Belum nama-nama mereka tercantum dalam daftar?”
“Ini, lihat,” kata komandan polisi sambil membuka cacatan yang mulai kumal.” (RDP : 240).
Srintil dan Kartareja mendengar seluruh ucapan komandan, bahwa mereka termasuk orang-orang yang harus ditahan. Komandan menahan Srintil dan Kartareja tanpa alasan yang jelas.

(7)   Darman
Darman adalah salah satu orang yang bekerja di kantor polisi. Marsusi dengan Darman sudah saling kenal. Marsusi mendatangi Darman dikira Marsusi mau menawarkan pohon karet yang mau ditebang, Marsusi datang dengan membawa maksud. Marsusi menanyakan Srintil. Dengan ditutup satu truk pohon karet mulut Darman, ia membantu rencana Marsusi.
“Baik, Pak Marsusi. Asal sampean camkan, situasinya bisa berkembang demikian rupa sehingga dapat menyulitkan diriku.”
“Oh, aku sadar betul, Mas Darman. Akan kujaga sekuat tenaga agar segala akibat tindakanku, akulah yang menanggung, aku seorang. Sekarang katakan, kapan kiranya Srintil bebas dari kewajiban melapor.” (RDP : 283).
Kedua orang itu menyusun rencana untuk Srintil. Srintil datang ke kantor polisi untuk melapor seperti biasanya. Srintil minta diri setelah selesai, Darman dengan santainya menyuruh Srintil membonceng Marsusi, Srintil mau membonceng Marsusi karena takut terjadi apa-apa lagi akhirnya. Demi satu truk pohon karet Darman rela membantu Marsusi.

(8)   Bajus
Bajus sudah dipercaya Srintil sejak pertama kali mereka kenal. Bajus sekarang dapat dengan mudah membawa Srintil pergi ke mana dia mau. Bajus mengajak Srintil pergi ke Jakarta untuk menenami menghadiri rapat, Srintil dengan mudah diajaknya. Srintil sudah berangan-angan terlalu tinggi untuk menjadi istri Bajus. Harapan Srintil sirna seketika karena ternyata Srintil dibawa ke Jakarta untuk melayani nafsu bosnya Bajus.
“Anu, Srin. Kamu sudah kuperkenalkan kepada Pak Blengur. Percayalah, dia orangnya baik......Nanti dia akan bermalam di sini. Temanilah dia. Temanilah dia, Srin.”
Srintil tersentak dengan kedua matanya terbelalak. Mulutnya terbuka dan dadanya turun cepat. Kedua tangannya gemetar.
“Tidak!”
“Tunggu dulu....”
“Tidak, tidak, tidak!” (RDP : 373).
Srintil bangkit dengan gerakan limbung dan berlari ke kamar. Bajus langsung naik pitam melihat sikap Srintil. Bajus berkelakuan keras pada Srintil untuk pertama kali. Srintil dikunci dari luar. Bajus berjalan menemui Pak Blengur.

(9)   Pak Simbar
Srintil dan Nyai Kartareja ketika sedang berbelanja di pasar menjadi perhatian orang banyak. Tidak sedikit pedagang yang memberikan barang dagangannya secara cuma-cuma. Bermacam-macam celoteh orang pasar. Para perempuan kelihatan tulus ikhlas memanjakan Srintil, tidak demikian dengan para lelaki. Pak Simbar, penjual sabun di pasar Dawuan, berkata dengan mata bersinar kepada Srintil.
“Eh, wang kenes, wong kewes. Aku tahu di Dukuh Paruk orang menggosok-gosokkan batu ke badan bila sedang mandi. Tetapi engkau tak pantas melakukannya. Mandilah dengan sabun mandinya. Tak usah bayar bila malam nanti kaubukakan pintu bilikmu bagiku. Nah, kemarilah.”........Aku melihat dengan pasti, Srintil tidak menepiskan tangan laki-laki itu. Bangsat!” (RDP : 83).
Sebagai ganti karena memberikan sabun mandi Pak Simbar ingin bersama Srintil. Tinadakanya resebut tidak terlalu dihiraukan Srintil.

(10)           Babah Pincang
Pak Simbar bermaksud memberikan sabun pada Srintil tapi ia meminta imbalan yaitu tidur bersama ronggeng itu. Di pasar itu bukan hanya Pak Simbar yang gatal tangannya pada Srintil. Babah Pincang juga memperlakukan Srintil senonoh.
“Nah. Aku punya sandal kulit. Mulah. Barang baik, kamu olang tida pantas beltelanjang kaki. Betismu baagus. Bayal sandalku. Nanti aku juga mau bayal kalau aku tidul di Dukuh Paruk.” (RDP : 83).
Babah Pincang di tengah dagangannya akhirnya ikut berbicara dengan wajah beringas dan mata berkilat menawarkan dagangannya. Selain menawarkan dagangannya tangan Babah Pincang juga mengamit pipi Srintil.

 F.   Unsur Ekstrinsik
Ahmad Tohari lahiran di Tinggarjaya Banyumas 13 Juni 1948 ia telah melalangbuana dalam hal pekerjaan. Berbagai macam profesi telah ia digeluti sejak muda. Namun akhirnya kembali juga ke kampung halamannya yang teduh di Tinggarjaya. Tenang dengan dunia tulis menulis.
Dengan modal ijasah SMA ia bekerja di majalah Keluarga dan Amanah, pernah pula mencicipi menjadi karyawan sebuah bank milik pemerintah. Ia mengaku tidak betah tinggal di Jakarta yang sibuk berbeda jauh dengan suasana desa dan pilihannya kemudian adalah menetap di kampung halaman, mengurus sebuah pesantren dan tetap menulis.
Ahmad Tohari menulis karya sastra karena mengejawantahkan kemarahan atau kegelisahannya terhadap para pemimpin yang belum juga membuktikan komitmennya kepada orang-orang kecil. Menurutnya, para pemimpin negeri menganggap kepemimpinan itu suatu keberuntungan yang datang dari atas berupa wahyu, sehingga kekuasaannya ditafsirkan sebagai hak-hak istimewa yang dampaknya muncul sebagai korupsi.
Beliau pun sadar betul kalau dirinya tidak memiliki kekuatan yang besar untuk mengubah keadaan masyarakat. Maka disalurkannya kemarahan dan kegelisahannya itu ke dalam karya sastra dengan harapan bisa sedikit memberikan pencerahan bagi masyarakat untuk mewujudkan kehidupan yang penuh rahmat di bumi nusantara ini.
Ahmad Tohari telah lega melunasi ketidakberdayaaan masa mudanya yang tak sempat menyelesaikan studinya di perguruan tinggi dengan menyekolahkan ketiga anaknya hingga sarjana.
Sebagai penulis telah banyak prestasi yang telah diraih oleh Ahmad Tohari. Disamping berupa novel beliau juga menulis cerpen. Ada ciri khusus jika membicarakan karya-karya Ahmad Tohari. Beliau sangat piawai menggambarkan cita rasa desa, hingga ke reluing-relungnya, sehingga bagi siapa saja yang membaca terutama novel-novelnya seolah merasakan langsung suasana yang dibangun dalam karya sastranya. Hingga saat ini novel Ronggeng Dukuh Paruk karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, Jerman, Jepang dan Inggris.


Daftar Pustaka
Nurgiyantoro, Burhan 2007.Teori Pengkajian Fiksi.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Ahmad Tohari 2009. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta : PT Gramedia Utama.

Aminuddin 2002. Pangantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung : Sinar Baru Algensindo.

Baribin, Raminah 1990. Teori dan Patrsiasi Puisi. Semarang : IKIP Semarang Press.

Effendi, Anwar dkk. 2001. Pengajaran Apresiasi Sastra. Jakata : Pusat Penerbiatan UT.

-----,------- 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jaksrta : PT Gramedia Utama.

0 komentar:

To Use A Smiley In Your Comment, Simply Add The Characters Beside Your Choosen Smiley To The Comment:
:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =)) Grab Smily Gadget

Posting Komentar