Sabtu, 21 Januari 2012

Proposal Sekripsi Kualitatif

A.    Judul : KONFLIK SOSIOLOGIS FEMINIS DAN KONTRA MEMINIS DALAM NOVEL TRILOGI RONGGENG DUKUH PARUK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA
B.     Latar Belakang Masalah
Karya sastra adalah salah satu jenis hasil budidaya masyarakat yang dinyatakan dengan bahasa, baik lisan maupun tulis, yang mengandung keindahan. Karya sastra diciptakan pengarang untuk dinikmati, dipahami, dihanyati, dan dimanfaatkan oleh masyarakat pembacanya. Pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat dan lingkungannya, ia tak bisa begitu saja melepaskan diri dari masyarakat lingkungannya.
Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang mengangkat persoalan perempuan dan menceritakan perjalanan hidup seorang perempuan (Srintil) dalam menggapai kehidupan yang diinginkannya. Selanjutnya, tokoh perempuan itu juga bertemu dengan banyak tokoh laki-laki yang mempunyai karakter yang berbeda-beda, karakter yang mendukung tokoh perempuan dan karakter yang menghambat kebahagiaan tokoh wanita..
Karya sastra, seperti diakui banyak orang, merupakan suatu bentuk komunikasi yang disampaikan dengan cara yang khas dan menolak segala sesuatu yang serba “rutinitas” dengan memberikan kebebasan kepada pengarang untuk menuangkan kreativitas imajinasinya. Hal ini menyebabkan karya sastra menjadi lain, tidak lazim, namun juga kompleks sehingga memiliki berbagai kemungkinan penafsiran dan sekaligus menyebabkan pembaca menjadi “terbata-bata” untuk berkomunikasi dengannya. Berawal dari inilah kemudian muncul berbagai teori untuk mengkaji karya sastra, termasuk karya sastra novel.
Novel merupakan sebuah “struktur organisme” yang kompleks, unik, dan mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung. Hal inilah, antara lain, yang menyebabkan sulitnya pembaca menafsirkan sebuah novel, dan untuk keperluan tersebut dibutuhkan suatu upaya untuk menjelaskannya disertai bukti-bukti hasil kerja kajian yang dihasilkan.
Novel merupakan salah satu jenis karya sastra prosa yang mengungkapkan sesuatu secara luas. Berbagai kejadian di dalam kehidupan yang dialami oleh tokoh cerita merupakan gejala kejiwaan.
Manfaat yang akan terasa dari hasil kajian itu adalah apabila pembaca (segera) membaca ulang karya sastra yang dikajinya. Dengan cara ini akan dirasakan adanya pembedaan: ditemukan sesuatu yang baru, yang terdapat dalam karya sastra itu sebagai akibat kekompleksitasan karya yang bersangkutan sehingga sesuatu yang dihadapi baru dapat ditentukan. Dengan demikian, pembaca akan lebih menikmati dan memahami cerita, tema, pesan-pesan, tokoh, gaya bahasa, dan hal-hal lain yang diungkapkan dalam karya yang dikaji (Nurgiyantoro 1995: 32).
Dalam kesusastraan Indonesia modern banyak pengarang yang menghasilkan cerita fiksi, sebagai contoh dapat disebutkan di antaranya Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari dan Jantera Bianglala karya Ahmad Tohari, Para Priyayi karya Umar Kayam. Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG serta Roro Mendut karya J.B. Mangunwijaya. Kebanyakan inti cerita dan karya-karya itu tentang etika Jawa dan persoalan wanita Jawa yang masih memegang teguh nilai-nilai dan pandangan hidup wanita Jawa.
Karya sastra yang dijadikan objek kajian penelitian ini adalah novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari karena novel tersebut menempatkan wanita sebagai tokoh utama meskipun masih dipengaruhi tokoh pria. Tokoh wanita dalam novel Ahmad Tohari adalah sosok wanita yang penuh dengan permasalahan yang harus dihadapi. Masalah cinta, rumah tangga, asal usul, dan kebahagiaan yang masih dihadapi dan harus dipecahkan oleh sang tokoh.
Lebih lanjut, Srintil ingin mempertahankan sesuatu yang menjadi haknya. Ia ingin berhenti menjadi ronggeng dan menjadi perempuan seutuhnya, menikah dan mempunyai anak. Srintil sebagai ronggeng harus melakukan pengorbanan, ia mengorbankan sebuah kesucian dalam acara Bukak-Klambu. Kartareja telah menyanyembarakan kesucian Srintil pada laki-laki yng bisa memenuhi syarat.
Pembaca menyukai novel-novel Ahmad Tohari karena kemenarikan ceritanya. Ahmad tohari sering mengangkat tema tentang kehidupan masyarakat lapisan bawah yang disajikan dengan gaya bahasa yang mampu menghidupkan suasana cerita dan mudah dipahami pembaca. Ahmad Tohari bisa melahirkan karya yang mengangkat kesukaran hidup kaum bawah karena pengalaman hidup yang sangat berkesan, terutama yang mengangkat tentang kemelaratan para tetangga, kebodohan, serta ketidakberdayaan mereka keberpihakan Ahmad Tohari terhadap wong cilik seakan menjadi obsesinya yang tidak pernah berkesudahan.
Pribadi-pribadi yang terwujud dalam diri tokoh-tokoh manusia Jawa dalam karya Ahmad Tohari merupakan cerminan dari kepribadiannya selaku pengarang dalam pergulatannya dengan pengalaman hidup. Ahmad Tohari memang tinggal dan dibesarkan di daerah Jawa, tepatnya di daerah Jati Lawang, Banyumas, sehingga wajar bila nilai kultur Jawa yang melatarbelakangi hidupnya sangat lekat dan kentara mewarnai hampir dalam semua karyanya.
Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk terdiri dari tiga episode yaitu episode pertama berjudul Ronggeng Dukuh Paruk, episode kedua diberi judul Lintang Kemukus Dini Hari, dan yang ketiga adalah Jantera Bianglala. Menurut pengarangnya, novel Ronggeng Dukuh Paruk sengaja dipersiapkan untuk menjadi trilogi, ketika menulis episode pertama, pengarang mengakui mengalami kebuntuan untuk menyelesaikan dalam sebuah trilogi sekaligus. Novel tersebut berkisah tentang dunia Ronggeng Dukuh Paruk. Tokoh-tokohnya adalah Srintil dan Rasus yang menginjak dewasa pada sekitar tahun 1965. Sekian tahun sebelumnya, Dukuh Paruk adalah sebuah desa kecil yang terpencil dan terbilang miskin. Namun, segenap warganya memiliki suatu kebanggaan tersendiri karena mewarisi kesenian ronggeng yang senantiasa menggairahkan kehidupan. Tradisi itu nyaris musnah setelah terjadi musibah keracunan tempe bongkrek yang mematikan belasan warga Dukuh Paruk. Untunglah mereka menemukan kembali semangat kehidupan setelah gadis cilik Srintil pada umur belasan tahun secara alamiah memperlihatkan bakatnya sebagai calon ronggeng (Yudiono 2003: 17-18).
Lebih jauh, novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari sepertinya ingin menunjukkan sisi lain dari kehidupan perempuan, sebuah fenomena yang jarang terjadi ketika sosok perempuan dengan tekad dan kegigihannya berusaha keluar dari jeratan nasib yang kurang memihaknya. Hal lain, novel ini banyak mengangkat tokoh laki-laki untuk secara bersama-sama memerangi suatu ketidakadilan, baik yang berasal dari sosok laki-laki maupun sosok perempuan itu sendiri. Laki-laki dan perempuan adalah sosok yang secara maknawi mereka sama, konstruksi sosial di masyarakatlah yang menyebabkan mereka diperlakukan berbeda.
Dalam waktu singkat, Srintil membuktikan kebolehannya menari disaksikan orang-orang Dukuh Paruk sendiri. Srintil sebagai seorang ronggeng, harus menjalani serangkaian upacara tradisional yang puncaknya menjalani upacara bukak klambu, yaitu menyerahkan keperawanannya kepada siapapun lelaki yang mampu memberikan imbalan paling mahal.
Selama ini perempuan dipandang sebagai sosok yang lemah. Banyak anggapan yang beredar di masyarakat tentang diri perempuan itu sendiri yang menyebabkan perempuan semakin terpinggirkan. Adanya anggapan bahwa sosok perempuan itu irrasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Laki-lakilah yang dianggap dominan yang berada di pusat. Perempuan hanya sebagai kanca wingking atau dalam istilah bahasa jawanya “swargo nunut neroko katut” (Fakih 2003: 12).
Srintil merupakan sosok wanita yang berparas cantik. Sejak usia sebelas tahun ia sudah menjadi Primadona karena menjadi ronggeng. Kecantikan Srintil banyak menrik perhatian orang terutama kaum laki-laki. Mereka rela mengeluarkan uang dalam jumlah banyak untuk sekedar bertayub dan tidur dengan Srintil.
Perbedaan yang jelas antara konsep jenis kelamin (sex) telah melahirkan ketidakadilan, baik kaum laki-laki dan terutama perempuan. Disadari atau tidak, ketika gagasan feminis ini dilihat secara sekilas, sepertinya perempuanlah yang menjadi korban konsep-konsep gender tersebut. Laki-laki bisa menjadi feminis jika sikap dan tingkah laku mereka menunjukkan sikap menghargai dan menghormati perempuan. Namun, tatkala istilah male feminis dimunculkan, akan ada sebuh oposisi yang menyatakan perlawanan dari male feminis yang bisa disebut dengan istilah kontra male feminis. Sikap laki-laki yang kontra male feminis terlihat dari tingkah laku mereka yang tidak menghargai perempuan, bahkan cenderung semena-mena (Adian dalam Subono 2001: 26).
Dominasi tokoh laki-laki cukup mewarnai novel Ronggeng Dukuh Paruk tersebut Srintil banyak melibatkan tokoh laki-laki. Pada kenyataannya tokoh laki-laki ada yang mendukung atau yang disebut male feminis dan ada pula yang tidak mendukung dan disebut kontra male feminis. Namun, seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa tokoh kontra kontra feminis lebih dominan dibanding dengan laki-laki yang male feminis. Tokoh male feminis inilah yang banyak membantu tokoh perempuan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Mereka dalam bersikap dan tingkah lakunya sangat menghormati dan menghargai perempuan.
Jadi, laki-laki pun bisa menjadi feminis jika tingkah laku mereka menunjukkan sikap menghargai dan menghormati perempuan. Dan laki-laki bisa menjadi kontra male feminis jika mereka menunjukkan sikap tidak menghargai dan menghormati perempuan. Terlihat jelas bahwa laki-laki dan perempuan perlu berkolaborasi untuk membangun sebuah masyarakat yang bebas dari diskriminasi dan hal ini jelas terlihat dalam novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
Tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk adalah Srintil, Rasus, Ki Kertareja, Bajus, Marsusi, Sakarya, Sulam, Dower, Warta, Darsun, dan lain-lain. Deretan nama-nama dalam novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk telah mampu memerankan perannya dengan baik. Hampir semua tokoh yang dimunculkan oleh Ahmad Tohari telah mampu menunjukkan karakteristik pribadi yang unik, sanggup memberikan penginderaan yang jelas dan terasa begitu nyata, lengkap dengan segala pelukisan gambaran, penempatan, dan perwatakannya masing-masing tokoh tersebut.
Berdasarkan hal di atas, dalam penelitian ini penulis tertarik untuk meneliti tokoh male feminis dan kontra male feminis dalam novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari berdasarkan teori male feminis dan kontra male feminis.
C.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah yang akan diangkat adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana peran male feminis dan kontra male feminis dalam novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari?
2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan munculnya male feminis dan kontra male feminis dalam novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari?
3. Bagaimana implikasi terhadap pembelajaran sastra Indonesia di SMA?
D.    Tujuan Penelitian
1. Mengungkap peran male feminis dan kontra male feminis dalam novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari?
2. Mengungkap faktor-faktor apa yang menyebabkan munculnya male feminis dan kontra male feminis dalam novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari?
3. Untuk mendeskripsikan implikasinya terhadap pembelajaran sastra Indonesia di SMA

E.     Manfaat Penelitian
1. Menambah pengetahuan dan wawasan tentang bagaimana peran male feminis dan kontra male feminis dalam novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
2. Menambah pengetahuan dan wawasan tentang faktor-faktor apa yang menyebabkan munculnya male feminis dan kontra male feminis dalam novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
3. Mengetahui implikasi novel bagi pelajaran bahasa dan sastra di SMA.
F.     Metode Penelitian
1.      Metode Penelitian
Menurut Nyoman (2009 : 34), “Metode dikatakan sebagai cara-cara, strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya”. Dengan demikian, metode dikatakan sebagai alat, sama dengan teori yang berfungsi untuk menyederhanakan masalah, sehingga lebih mudah untuk dipecahkan dan dipahami.
Ada dua metode penelitian, yaitu metode penelitian deskriptif dan metode penelitian kualitatif. Metode penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian (novel, drama, cerita pendek, puisi) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Sedangkan metode penelitian kualitatif merupakan metode yang hanya memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif, yaitu menganalisa data-data yang ada dari konflik sosial pada novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya A. Tohari.
2.      Sumber Data
Dalam skripsi ini data dipilih dari novel Ronggeng Dukuh Paruk. Kemudian penulis menentukan konflik sosial yang ada dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya A. Tohari yang diterbitkan oleh PT Gramedia Utama cetakan tahun 2009 di Jakata.
3.      Populasi
Populasi merupakan keseluruhan subjek penelitian. Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh tokoh dan penokohan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya A. Tohari.


4.      Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitiam ini berupa pembacaan, pencatatan, dan pengumpulan data dengan mengamati.
5.      Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel
Pada dasarnya sampel yang digunakan penulis hanya satu karya sastra dari sejumlah karya yang ada. Dipilihnya karya sastra Novel Ronggeng Dukuh Paruk karena karya sastra tersebut mengandung konflik sosial pada kehidupan sehari-hari.
6.      Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian ini dengan pengetahuan peneliti dapat mencari dan menemukan data yang berkaitan dengan masalah penelitian yaitu dari kemampuan kelogisan dan kekritisan penelitian ini melakukan perencanaan, pengumpulan data, penganalisisan data, dan juga pelaporan hasil penelitian. Alat bantu penelitian yang dipakai dalam pengumpulan dataadalah kartu data. Kartu data ini digunakan untuk mencatat data yang diperoleh dari sumber data yang berkaitan dengan butir-butir mengenai konflik sosial di catat tersendiri dengan kategori yang digunakan.
7.      Langkah-langkah Penelitian
Data diperoleh dari Perilaku para tokoh laki-laki dalam novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Cara kerja analisis data dimulai dengan mengelompokkan perilaku tokoh laki-laki yang berhubungan dengan peran tokoh utama.
Kemudian diterapkan dalam model aktan (peran tokoh) menurut Claude Bremond untuk mengetahui peran masing-masing tokoh sebagai male feminis dan kontra male feminis.
Selanjutnya perlu diungkap faktor-faktor apa yang menyebabkan munculnya male feminis dan kontra male feminis dengan cara mengungkap peran masing-masing tokoh yang berhubungan dengan peran utama sehingga dapat diketahui faktor-faktor yang menyebabkan munculnya male feminis dan kontra male feminis.
Adapun langkah kerja dalam penelitian ini dapat dipaparkan secara rinci sebagai berikut:
1. Membaca novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
2. Menentukan tokoh yang berperan sebagai male feminis dan kontra male feminis dalam novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dengan menggunakan model aktan menurut Claude Bremond untuk mengetahui peran masing-masing tokoh sebagai male feminis dan kontra male feminis dan menentukan faktor-faktor yang menyebabkan munculnya male feminis dan kontra male feminis novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
3. Menyimpulkan hasil analisis tentang peran tokoh male feminis dan kontra male feminis serta faktor-faktor yang menyebabkan munculnya male feminis dan kontra male feminis.

G.    Landasan Teoretis
1.      Karya Sastra
Karya sastra merupakan karya seni yang bersifat kreatif dan imajinatif, baik karya lisan maupun tertulis. Karya sastra ialah karya yang bersifat fiktif (rekaan). Sebuah karya sastra meskipun bahannya (inspirasinya) diambil dari dunia nyata, tetapi sudah diolah oleh pengarang melalui imajinasinya sehingga tidak dapat diharapkan realitas karya sastra sama dengan realitas dunia nyata. Sebab, realitas dalam karya sastra sudah ditambah “sesuatu” oleh pengarang, sehingga kebenaran dalam karya sastra ialah kebenaran yang dianggap ideal oleh pengarangnya.
Sebagai pencerminan kehidupan tidak berarti karya sastra itu merupakan gambaran tentang kehidupan, tetapi merupakan pendapat pengarang tentang keseluruhan kehidupan.

2.      Novel
a.      Pengertian Novel
Novel berasal dari bahasa Itali yaitu novella (yang dalam bahasa Jerman : no-velle). Secara harfiah novella berarti ‘sebuah barang baru yang kecil’ dan kemudian diartikan sebagai ‘cerita pendek dalam bentuk prosa’, Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2009 : 9)
Dalam The American College Dictionary, novel adalah suatu cerita prosa yang diktif yang panjangnya tertentu, yang melukiskan sejumlah tokoh, gerak serta adegan kehidupan nyata yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut.

b.      Ciri-ciri Novel
Eddy (dalam Mulyono, 2008 : 15) menyebutkan bahwa novel adalah satu jenis cerita rekaan (prosa fiksi) yang memiliki ciri-ciri sebagaii berikut :
1.      Mengandung sejumlah tokoh yang terdiri atas tokoh utama dan tokoh figuran, lengkap dengan perwatakannya.
2.      Mengandung serangkaian peristiwa yang terikat dalam jalinan alur.
3.      Mengandung latar tempat para tokohnya bermain dan melatarbelakangi tokoh-tokoh itu.
4.      Mengandung unsur konflik atau tikaian antar tokoh-tokohnya.

c.       Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Novel
Karya sastra disusun oleh dua unsur yang menyusunnya. Dua unsur yang dimaksud ialah unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur intrinsik meliputi tema, penokohan, latar, sudut pandang, gaya bahasa. Sedangkan unsur Ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Seperti aspek sosiologi, aspek psikologi, agama, sejarah, filsafat, ideologi, polotik, dan lain-lain.

1.      Unsur Intrinsik
a.      Tema dan Amanat
Istilah tema menurut Scharbach berasal dari bahasa Latin yang berarti ‘tempat meletakan suatu perangkat’. Disebut demikian karena tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Sedangkan menurut Staton dan Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2009 : 67), tema (theme) adalah makna yang dikadung oleh sebuah cerita. Sedangkan amanat adalah pemecahan yang diberikan oleh pengarang bagi persoalan di dalam karya sastra.
b.      Tokoh dan Penokohan
Tokoh ialah pelaku dalam karya sastra. Tokoh cerita (Character), menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2009: 165), adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
(Jones, 1968: 33) menyatakan bahwa penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.
Istilah penokohan lebih luas pengertianya dari pada “tokoh” dan :perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah tanpa siapa tokoh cerita. (Nurgiantoro, 167: 2010).
c.       Alur atau Plot
Pengertian alur dalam karya fiksi pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Sadangkan menurut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2009: 113), plot adalah cerita yang berisi urutan kajadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Sedangkan menurut Kenny mengemukakan plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdassarkan sebab-akibat.
2.      Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Seperti aspek sosiologi, aspek psikologi, agama, sejarah, filsafat, ideologi, polotik, dan lain-lain.

3.      Feminisme
      Feminisme pada dasarnya merupakan sebuah topik pembicaraan wanita dengan mengikutsertakan pria sebagai “makhluk” yang selalu dicemburui, sebagai makhluk yang superior (kuat), yang senantiasa menganggap wanita sebagai mahkluk inferior (lemah). Pandangan inilah yang tidak pernah mendudukkan wanita sebagai subjek dalam bidang apapun. Apalagi pembagian kerja yang secara seksual juga tidak menguntungkan. Bidang-bidang kerja domestik akhirnya memarginalkan mereka sebagai makhluk yang lemah, yang hanya dapat bekerja sesuai dengan kodratnya. Pandangan sikap yang masih diskriminatif tersebut masih tampak diberbagai negara di dunia.
      Feminisme berasal dari kata feminist (pejuang hak-hak kaum wanita), yang kemudian meluas menjadi feminism (suatu faham yang memperjuangkan hak-hak kaum wanita). Dalam arti leksikal feminisme berarti gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan kaum pria (Moeliono 1988: 241).
Sejarah feminis indonesia telah dimulai pada abad 18 oleh RA Kartini melalui hak yang sama atas pendidikan bagi anak-anak perempuan. Ini sejalan dengan Barat di masa pencerahan/The Enlightenment , di Barat oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis den Condorcet yang berjuang untuk pendidikan perempuan. Perjuangan feminist sering disebut dengan istilah gelombang/wave dan menimbulkan kontroversi/perdebatan, mulai dari feminis gelombang pertama (first wave feminism) dari abad 18 sampai ke pra 1960, kemudian gelombang kedua setelah 1960, dan bahkan gelombang ketiga atau Post Feminisme.
             4. Pembelajaran Sastra di SMA
Hakikat pembelajaran sastra ialah pembinaan apresiasi sastra pada siswa, sedangkan tujuannya ialah membimbing siswa agar memiliki kemampuan mengapresiasi sastra dan berekspresi sastra. Apresiasi sebagai sebuah istilah dalam bidang sastra dan seni pada umumnya sebenarnya lebih mengacu pada aktivitas memahami, menginterpretasi, menilai dan pada akhirnya memproduksi sesuatu yang sejenis dengan karya yang diapresiasikan. Oleh karena itu, kegiatan apresiasi tidak hanya bersifat reseptif: menerima sesuatu secara pasif. Tetapi, yang lebih penting apresiasi juga bersifat produktif: menghasilkan sesuatu secara aktif. Karena itu, pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal idealnya tidak hanya sebatas pada pemberian teks sastra dalam genre tertentu untuk dipahami dan diinterpretasikan oleh siswa (apresiasi reseptif). Pengajaran sastra harus diarahkan pada penumbuhan kemampuan siswa dalam menilai atau mengkritik kelebihan dan kekurangan teks yang ada dan akhirnya, berdasarkan penilaian atau kritik tersebut, siswa mampu membuat sebuah teks lain yang lebih bermutu, baik teks yang segenre ataupun tidak.
Untuk mengaplikasikan sastra dalam pembelajaran, tidak perlu harus disertai dengan implementasi secara kurikuler. Ini bisa dilakukan dengan menggunakan pengajaran tematis yang melibatkan disiplin di luar bahasa atau pendekatan lintas disipliner (cross-discipline). Sebagai contoh, guru bahasa Indonesia bisa mengajarkan tentang pantun lama dengan cara bekerjasama dengan guru bidang lain, misalnya guru bidang Pendidikan Moral. Dalam sesi tatap muka dengan guru Bahasa Indonesia, siswa akan diberi aspek-aspek teknis tentang pantun, seperti konsep sampiran dan isi, konsep persajakan dan beberapa contoh karya pantun lama. Kemudian siswa diminta untuk mencoba membuat pantun sendiri dengan kreatifitas mereka masing-masing dengan mengambil tema dari Pendidikan Moral, yaitu pantun didaktis yang berisi ajakan-ajakan atau pesan-pesan moral. Hal serupa juga bisa diterapkan untuk pelajaran drama, di mana guru Bahasa Indonesia bekerjasama dengan guru sejarah. Siswa bisa diberi instruksi tentang aspek-aspek teknis dari drama dan kemudian diminta untuk membuat pertunjukan drama dengan mengambil tema dari pelajaran sejarah yang sedang diberikan pada saat itu, mungkin misalnya mengadegankan kepahlawanan Diponegoro saat ditangkap Jendral De Kock sebagai bentuk ekspresi dari tragedi.
Seperti kita ketahui banyak sekali manfaat yang dapat diperoleh dari pembelajaran sastra, antara lain.
1.      Meningkatkan keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis).
2.      Memperluas wawasan tentang manusia dan kehidupanya (agama, adat istiadat, kebudayaan, dan sebagainya).
3.      Memberi kenyamanan dan kepuasan.
4.      Membantu pembentukan watak.
5.      Membantu mengembangkan diri pribadi.
6.      Memperpeka perasaan dan menumbuhkan simpati akan nasib manusia.
7.      Menumbuhkan kecintaan dan kebanggaan terhadap hasil budaya bangsa.
8.      Mendekatkan diri pada Sang Pencipta.

H.    Sistematika Skripsi
Skripsi terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian awal, bagian isi dan bagian akhir, yang secara rinci adalah sebagai berikut.
Bagian awal berisi persetujuan, pengesahan, motto, persembahan, kata pengantar, daftar isi dan abstrak. Bagian isi terdiri dari lima bab, yaitu pendahuluan, landasan teori, metodologi penelitian, hasil penelitian dan penutup.
Bab I Pendahuluan. Bab ini memberikan petunjuk arah pembicaraan skripsi yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan skripsi.
Bab II Landasan Teoretis. Dalam bab ini dibicarakan teori-teori yang melandasi penulisan skripsi.
Bab III Metode Penelitian. Bab ini berisi tentang pengertian penelitian dan metodeloginya, teknik pengumpulan data, teknik analisis data dan obyek penelitian.
Bab IV Hasil Penelitian. Bab ini khusus membahas analisis kajiaan sosilogis pada novel Ronggeng Dukuh Paruk.
Bab V Penutup. Bab ini merupakan akhir skripsi berupa simpulan pembahasan hasil penelitian yang meliputi simpulan dan saran.
Bagian akhir skripsi berisi daftar pustaka yang dijadikan acuan.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tohari 2009. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta : PT Gramedia Utama.

Aminuddin. 2009. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar                Baru Algesindo.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penenlitian Sastra. Yogyakarta:  
         Media Pressindo.
Kutha Ratna, Nyoman. 2009. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra.
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Mulyono, Tri. 2008. “Apresiasi Prosa Fiksi”. Universitas Pancasakti Tegal
Noor, Redyantoro. 2009. Pengantar Pengkajian sastra. Fasindo, 
Semarang.
Nurgiyantoro, Burhan. 2009. Teori Pengkajian Fiksi. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Suharianto, S. 2009. Menuju Pengajaran Sastra yang Apresiatif.
                   Bandungan Institut, Semarang.
Universitas Pancasakti Tegal. 2009. Pedoman Umum Skripsi. Tegal.
-----,------- 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jaksrta : PT Gramedia Utama.

0 komentar:

To Use A Smiley In Your Comment, Simply Add The Characters Beside Your Choosen Smiley To The Comment:
:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =)) Grab Smily Gadget

Posting Komentar