A language is a system of arbitrary vocal symbols by means of which a social groups (Bloch and Trager (1942:5)).
Language is a system of communication by sound, through the organs of speech and hearing among human beings of a certain group or community, using vocal symbol possessing arbitrary conventional meanings.(Pei and Gaynor (1954 :19)).
Based on two theories from linguist. A language has two principal concept are arbitrary and conventional. For example is clown with their jokes. Because language (especially: oral tongue) is articulate general communication.
Since clown has been exist in Indonesia for more than 10 years, it’s important to review and research the language of joke existence as well as it’s content we know about vocable of clown cam make our laugh. Because they have characteristics performance. The arbitrary and conventional of it make they well-known on public that interpretation within the characteristics word spelling which is considered symbols from their jokes.
I PENDAHULUAN
Fungsi bahasa sebagai alat komunikasi primer memang tidak dapat disangkal lagi. Terlebih bagi bahasa lisan yang merupakan rekaman unutk bahasa tulis. Kefundamentalan fungsi bahasa mungkin dikarenakan oleh fungsi itu sendiri yang merupakan hasil turunan dari komponen dasar interaksi, yaitu : penutur (ekspresif), petutur (direktif)dan pesan (referensial).
Retorika dalam berbahasapun kian menjadi komoditi yang tidak habis dikonsumsi. Kegiatan berbahasa yang tidak mengenal apa, siapa, kapan, dimana dan bagaimana ini pun menjadi good object serta kajian bagi para peneliti bahasa.
Dalam kesempatan ini, menarik rasanya untuk mengkaji gejala bahasa yang terjadi dalam dunia perlawakan nasional. Diselenggarakannya ajang kompetisi nasional dalam berbagai bidang termasuk lawak, oleh beberapa stasiun televisi swasta telah memperkaya kuantitas dan kualtas khazanah berbahasa di tanah air.
Tak bisa dipungkiri juga, banyaknya gejala bahasa yang terjadi memungkinkan bagi bahasa Indonesia itu sendiri cepat masuk ke liang lahat. Kita tahu bahwa setiap bahasa memiliki kemungkinan untuk berkembang dan mati. Itu semua tinggal menunggu waktu dan peranan manusia itu sendiri dalam penggunaannya.
Ada hal baru yang perlu disorot dari dunia perlawakan kita. Yaitu salah satu tim lawak yang tergabung dan menamakan dirinya “LIMAU” (salah satu kontestan 3 besar di API) dengan ciri khas melawaknya yang kerap mengimbuhkan bunyi “s” pada beberapa akhir kata yang diucapkannya.
II PEMBAHASAN
II.1 KONTEKS PENELITIAN
II.1.1 Penutur
Penutur adalah pelawak perwakilan kota Jakarta. Namun lahir dan berasal dari kota lamongan, Jawa Tengah. Beralmamaterkan Universitas Muhammadiyah Prof DR Hamka Jakarta (UHAMKA).
II.1.2 Petutur
Petutur adalah Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Semester II.
II.1.3 Tempat Pengambilan Data
Data diambil dari televisi (TPI) dalam siaran langsung Audisi Pelawak TPI.
II.1.4 Waktu Pengambilan Data
Data diambil secara berturut turut pada :
Hari : Minggu
Tanggal : 1 dan 8 mei 2005
Waktu : 20:47 dan 20:41 WIB.
II.1.5 Latar Belakang Penutur
Nama asli : Sumono
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia :
Latar belakang kebahasaan : Indonesia
Latar belakang dialek : Jawa-Indoensia, dan Jakarta-Indonesia.
Latar belakang sosial ekonomi : Kelas menengah
Tingkat pendidikan : Perguruan Tinggi.
II.1.6 Latar Belakan Petutur
Nama asli : Dheka Dwi Agusti Ningsih
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 18 tahun
Latar belakang kebahasaan : Indonesia
Latar belakang dialek : Jawa- Indonesia
Latar belakang sosial ekonomi : Kelas menengah
Tingkat pendidikan : Perguruan tinggi
II.1.7 Tujuan Percakapan
Percakapan bertujuan untuk menghibur dam membuat orang tertawa (melawak) dalam sebuah kompetisi yang disiarkan langsung setiap minggu.
II.1.8 Metode Pengambilan Data
Merekam lawakan menggunakan recorder micro cassette. Membuat transkripsi ortografis dan fonetis serta menganalisisnya.
II.2 Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk menganalisis kemampuan fonologi sebagai salah satu komponen pembangun linguistik generatif transformasi. Di mana di dalamnya termasuk gejala bahasa yang terjadi dan hendak memperkaya khazanah berbahasa, khususnya di Indonesia.
II.3 Hasil transkripsi
II.3.2 Transkripsi Fonetis
[#mam+pUs / tu / la+lAts # mÂ+sa? / tiy+aps / ja+lAns // tiy+aps / gə+raks // sə+la+lU / di+kə+jAr / a+mA / la+lAts # E+mAŋ+ña / gU+we / jə+nA+jah / go+sOŋs / a+pAh # səm+ba+ra+ŋAn / tu / la+ lAts # Eh / ŋə+lɛ+dɛks / la+gIks # tər+ña+ta / kə+tAŋ+kaps # biy+ar / ti+dAk / kə+ma_na / ma+na / la+gIks #]
[#cu+kUp / ba+gUs // cu+man / sa+yaŋ / a+gA? / sə+di+kIt / ba+uks #]
[#sa+yam / mo+nO ks // pə+tu+gas / di+nas / pər+hu+bu+ŋan s # gi+nI / gi+nIks / a+dA+lAh / pə+tu+gas / yaŋ / di+sIp+lIns // pu+ ña / də+di+ka+si / lo+ya+li+tAs/ ro+yal+ti / dan / pu+ ña // tan+gUŋ / ja+wab // yaŋ / tiŋ+gi #]
[#sa+ya / di+buw+atIn / ja+lUr / ku+sUs // sə+pə+si+al s / tAm+pa / tə+lOr#]
[#oks // a+duw+an / ka+mu/ sa+ya / sɛt / du+lu / yah #]
[#hEy / dIks / dIks / a+dIk+kAn / ta+u / ka+lo / a+dIk / mə+laŋ+gar / pə+ra+tu+rAn s #]
[#ka+pɛ+ka // ka+gAk s / pu+ ña / kən+dA+rA+ an s #]
II.4. Hasil Analisis
Terdapat beberapa gejala fonetis, baik yang sudah lazim, maupun gejala yang dianggap cukup baru dalam sebuah ujaran pada kegiatan berbahasa. Yaitu :
1.
Gejala pengurangan atau penghilangan fonem
a.1 Gejala afaresis (pengurangan diawal)
/itu/ menjadi /tu/
/sama/ menjadi /ama/
memang/ menjadi /emang/
a.2 Gejala Sinkop (pengurangan di tengah)
/tahu/ menjadi /tau/
1.
Gejala penambahan fonem
b.1 paragog
/cuma/ menjadi /cuman/
b.2 Gejala Epentesis
/spesial/ menjadi /sepesials/
1.
Gejala hypercorrect
/zenajah/ menjadi /jenajah/
/tanpa/ menjadi /tampa/
/khusus/ menjadi /kusus/
1.
Gejala Marginal
/telur/ menjadi /telor/
1.
Gejala Labialisasi
/buat/ menjadi /buwat/
/aduan/ menjadi /aduwan/
1.
Gejala Palatalisasi
/tiap/ menjadi /tiyap/
biar/ menjadi /biyar/
1.
Gejala monoftongisasi
/kalau/ menjadi /kalo/
1.
Laminalisasi Fortes 1)
/lalat/ menjadi /lalats/
/tiap/ menjadi /tiyaps/
/gerak/ menjadi /geraks/
/gosong/ menjadi /gosongs/
/ngeledek/ menjadi /ngeledeks/
/lagi/ menjadi /lagiks/
/ketangkap/ menjadi /ketangkaps/
/mono/ menjadi /monoks/
/perhubungan/ menjadi /perhubungans/
/gini/ menjadi /giniks/
/disiplin/ menjadi /disiplins/
/spesial/ menjadi /spesials/
/ok/ menjadi /oks/
/peraturan/ menjadi /peraturans/
/kagak/ menjadi /kagaks/
/kendaraan/ menjadi /kendaraans/
II.5 Analisis Laminalisasi Fortes
Pelawak sebagai Intraverbal Operant dimana operan berbahasa terdahulu yang dlakukan atau dialami oleh penutur. Umpamanya jika sebuah kata yang diucapkan sebagai stimulus, maka kata yang lain yang mempunyai hubungan dengan kata tersebut akan diucapkan respons. (contohnya: jika kata “terima kasih” berkedudukan sebagai stimlus maka akan membangkitkan kata “kembali” sebagai respons). Demikian analisis Bloomfield & Shuner (1957) yang mengatakan bahwa intraverbal operant merupakan salah satu kategori respons berbahasa selain mands, tacts, echois, dan textuals.
Seorang pelawak juga harus memiliki tingkat imajinasi yang tinggi agar dapat mencapai kategori intraverbal operant seperti di atas. Terlebih bahasa atau kata yang menjadi stimulus dan respons harus diperoleh secara alamiah.
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, ditemukan 10 gejala fonetis yang berbeda. Pada kesempatan kali ini, penelitian lebih difokuskan pada gejala laminalisasi fortes saja (lihat II.4.h).
a. Laminalisasi fortes terdapat kata yang berakhiran :
vokal : i,u, dan o
konsonan : t, p,n,k,m,l.
b. analisa terhadap laminalisasi fortes hanya terjadi pada kata yang berkhiran vokal laminalisasi fortes, terklasifikasi dengan tinggi lidah minimal madya atas.
i= tinggi atas
u= tinggi bawah
o= madya atas
Karena hanya pada ketinggian lidah seperti diataslah konsonan hambat letup dorso-velar (k) yang juga berstriktur tertutup lebih mudah dan alamiah ketika diucapkan. Baru kemudian diikuti kembali oleh laminalisasi fortes (s).i,u, dan o yang merupakan vokal dengan bunyi keras (fortes) juga memiliki striktur :
I= close vowels
U=close vowels
O= half-close vowels
c. Analisis terhadap konsonan
Laminalisasi fortes hanya terjadi pada konsonan yang terklasifikasi sebagai berikut :
Struktur
Cara Artikulasi
Tempat Artikulasi
Bilabial
Apiko Dental
Apiko Alveolar
Dorso Velar
Rapat tiba-tiba lepas
Hambat letup
p
t
k
nasal
n
lateral
l
p, t, dan k = hambat letup
k = dorsovelar
= nasal
Dapat dilihat dari tabel di atas, terdapat kesamaan antara konsonan satu dengan lainnya. Hal tersebut melahirkan kemungkinan-kemungkin penyebab terjadinya gejala laminalisasi fortes adalah sebagai berikut.
“s ” merupakan konsonan frikatif (geseran) lamino alveolar yang terjadi bila artikulator aktifnya ialah daun lidah dan ujung lidah sedangkan artikulator pasifnya ialah gusi. Bunyi “s” terbentuk jika :
1.
Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan sehingga udara tidak keluar melalui rongga hidung tetapi terpaksa melalui rongga mulut.
2.
Daun lidah dan ujung lidah ditekankan pada gusi, sehingga ruangan jalannya udara antara daun lidah dengan gusi itu sempit sekali yang menyebabkan keluarnya udara dengan bergeser.
3.
Gigi atas dan gigi bawah dirapatkan.
Dari proses produksi bunyi “s” yang telah dikemukakan di atas. Ternyata memiliki hubungan yang posisional dengan bunyi konsonan, yaitu :
Konsonan /p/ /t/ dan /k/ dimana bunyi tersebut terbentuk jika langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan dan udara keluar melalui rongga mulut, sedangkan pada /n/dan//, walaupun bunyi tersebut terbentuk jika langit-langit lunak dan anak tekaknya diturunkan dan udara keluar dari hidung, tetapi disertai dengan bergetarnya pita suara. Dan pada /l/ terbentuknta bunyi jika langit-kangit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan dan udara keluar melalui rongga mulut serta pita suara ikut bergetar.
Proses dan posisi yang terjadi pada bunyi konsonan tersebutlah yang menyebabkan bunyi ‘s ’dapat mengimbuh dan menjadi bunyi pengiring baru dalam gejala fonologis.
III. KESIMPULAN
Pada dasarnya banyak sekali gejala dalam kegiatan berbahasa yang terjadi di sekitar kita dan menarik untuk dikaji. Karena bahasa merupakan sesuatu yang universal dan integral. Tidak ada satu hal pun yang dapat lepas dari bahasa. Seperti halnya lawakan. Banyak cara digunakan agar seseorang memiliki karakteristik yang kelak akan menjadi sebuah ciri khas atau bahkan trendsetter. Hal tersebut dimungkinkan oleh beberapa faktor (yang dapat dikaji dalam disiplin ilmu lain) seperti kesengajaan. Namun hal tersebut ketika diteliti dan dikaji lebih lanjut secara fonetis ternyata kita akan menemukan suatu pola atau rumus baru yang akan memperluas dan mempertajam pola pemikiran kita.
(tantrapuan.wordpress.com)
II PEMBAHASAN
II.1 KONTEKS PENELITIAN
II.1.1 Penutur
Penutur adalah pelawak perwakilan kota Jakarta. Namun lahir dan berasal dari kota lamongan, Jawa Tengah. Beralmamaterkan Universitas Muhammadiyah Prof DR Hamka Jakarta (UHAMKA).
II.1.2 Petutur
Petutur adalah Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Semester II.
II.1.3 Tempat Pengambilan Data
Data diambil dari televisi (TPI) dalam siaran langsung Audisi Pelawak TPI.
II.1.4 Waktu Pengambilan Data
Data diambil secara berturut turut pada :
Hari : Minggu
Tanggal : 1 dan 8 mei 2005
Waktu : 20:47 dan 20:41 WIB.
II.1.5 Latar Belakang Penutur
Nama asli : Sumono
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia :
Latar belakang kebahasaan : Indonesia
Latar belakang dialek : Jawa-Indoensia, dan Jakarta-Indonesia.
Latar belakang sosial ekonomi : Kelas menengah
Tingkat pendidikan : Perguruan Tinggi.
II.1.6 Latar Belakan Petutur
Nama asli : Dheka Dwi Agusti Ningsih
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 18 tahun
Latar belakang kebahasaan : Indonesia
Latar belakang dialek : Jawa- Indonesia
Latar belakang sosial ekonomi : Kelas menengah
Tingkat pendidikan : Perguruan tinggi
II.1.7 Tujuan Percakapan
Percakapan bertujuan untuk menghibur dam membuat orang tertawa (melawak) dalam sebuah kompetisi yang disiarkan langsung setiap minggu.
II.1.8 Metode Pengambilan Data
Merekam lawakan menggunakan recorder micro cassette. Membuat transkripsi ortografis dan fonetis serta menganalisisnya.
II.2 Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk menganalisis kemampuan fonologi sebagai salah satu komponen pembangun linguistik generatif transformasi. Di mana di dalamnya termasuk gejala bahasa yang terjadi dan hendak memperkaya khazanah berbahasa, khususnya di Indonesia.
II.3 Hasil transkripsi
II.3.2 Transkripsi Fonetis
[#mam+pUs / tu / la+lAts # mÂ+sa? / tiy+aps / ja+lAns // tiy+aps / gə+raks // sə+la+lU / di+kə+jAr / a+mA / la+lAts # E+mAŋ+ña / gU+we / jə+nA+jah / go+sOŋs / a+pAh # səm+ba+ra+ŋAn / tu / la+ lAts # Eh / ŋə+lɛ+dɛks / la+gIks # tər+ña+ta / kə+tAŋ+kaps # biy+ar / ti+dAk / kə+ma_na / ma+na / la+gIks #]
[#cu+kUp / ba+gUs // cu+man / sa+yaŋ / a+gA? / sə+di+kIt / ba+uks #]
[#sa+yam / mo+nO ks // pə+tu+gas / di+nas / pər+hu+bu+ŋan s # gi+nI / gi+nIks / a+dA+lAh / pə+tu+gas / yaŋ / di+sIp+lIns // pu+ ña / də+di+ka+si / lo+ya+li+tAs/ ro+yal+ti / dan / pu+ ña // tan+gUŋ / ja+wab // yaŋ / tiŋ+gi #]
[#sa+ya / di+buw+atIn / ja+lUr / ku+sUs // sə+pə+si+al s / tAm+pa / tə+lOr#]
[#oks // a+duw+an / ka+mu/ sa+ya / sɛt / du+lu / yah #]
[#hEy / dIks / dIks / a+dIk+kAn / ta+u / ka+lo / a+dIk / mə+laŋ+gar / pə+ra+tu+rAn s #]
[#ka+pɛ+ka // ka+gAk s / pu+ ña / kən+dA+rA+ an s #]
II.4. Hasil Analisis
Terdapat beberapa gejala fonetis, baik yang sudah lazim, maupun gejala yang dianggap cukup baru dalam sebuah ujaran pada kegiatan berbahasa. Yaitu :
1.
Gejala pengurangan atau penghilangan fonem
a.1 Gejala afaresis (pengurangan diawal)
/itu/ menjadi /tu/
/sama/ menjadi /ama/
memang/ menjadi /emang/
a.2 Gejala Sinkop (pengurangan di tengah)
/tahu/ menjadi /tau/
1.
Gejala penambahan fonem
b.1 paragog
/cuma/ menjadi /cuman/
b.2 Gejala Epentesis
/spesial/ menjadi /sepesials/
1.
Gejala hypercorrect
/zenajah/ menjadi /jenajah/
/tanpa/ menjadi /tampa/
/khusus/ menjadi /kusus/
1.
Gejala Marginal
/telur/ menjadi /telor/
1.
Gejala Labialisasi
/buat/ menjadi /buwat/
/aduan/ menjadi /aduwan/
1.
Gejala Palatalisasi
/tiap/ menjadi /tiyap/
biar/ menjadi /biyar/
1.
Gejala monoftongisasi
/kalau/ menjadi /kalo/
1.
Laminalisasi Fortes 1)
/lalat/ menjadi /lalats/
/tiap/ menjadi /tiyaps/
/gerak/ menjadi /geraks/
/gosong/ menjadi /gosongs/
/ngeledek/ menjadi /ngeledeks/
/lagi/ menjadi /lagiks/
/ketangkap/ menjadi /ketangkaps/
/mono/ menjadi /monoks/
/perhubungan/ menjadi /perhubungans/
/gini/ menjadi /giniks/
/disiplin/ menjadi /disiplins/
/spesial/ menjadi /spesials/
/ok/ menjadi /oks/
/peraturan/ menjadi /peraturans/
/kagak/ menjadi /kagaks/
/kendaraan/ menjadi /kendaraans/
II.5 Analisis Laminalisasi Fortes
Pelawak sebagai Intraverbal Operant dimana operan berbahasa terdahulu yang dlakukan atau dialami oleh penutur. Umpamanya jika sebuah kata yang diucapkan sebagai stimulus, maka kata yang lain yang mempunyai hubungan dengan kata tersebut akan diucapkan respons. (contohnya: jika kata “terima kasih” berkedudukan sebagai stimlus maka akan membangkitkan kata “kembali” sebagai respons). Demikian analisis Bloomfield & Shuner (1957) yang mengatakan bahwa intraverbal operant merupakan salah satu kategori respons berbahasa selain mands, tacts, echois, dan textuals.
Seorang pelawak juga harus memiliki tingkat imajinasi yang tinggi agar dapat mencapai kategori intraverbal operant seperti di atas. Terlebih bahasa atau kata yang menjadi stimulus dan respons harus diperoleh secara alamiah.
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, ditemukan 10 gejala fonetis yang berbeda. Pada kesempatan kali ini, penelitian lebih difokuskan pada gejala laminalisasi fortes saja (lihat II.4.h).
a. Laminalisasi fortes terdapat kata yang berakhiran :
vokal : i,u, dan o
konsonan : t, p,n,k,m,l.
b. analisa terhadap laminalisasi fortes hanya terjadi pada kata yang berkhiran vokal laminalisasi fortes, terklasifikasi dengan tinggi lidah minimal madya atas.
i= tinggi atas
u= tinggi bawah
o= madya atas
Karena hanya pada ketinggian lidah seperti diataslah konsonan hambat letup dorso-velar (k) yang juga berstriktur tertutup lebih mudah dan alamiah ketika diucapkan. Baru kemudian diikuti kembali oleh laminalisasi fortes (s).i,u, dan o yang merupakan vokal dengan bunyi keras (fortes) juga memiliki striktur :
I= close vowels
U=close vowels
O= half-close vowels
c. Analisis terhadap konsonan
Laminalisasi fortes hanya terjadi pada konsonan yang terklasifikasi sebagai berikut :
Struktur
Cara Artikulasi
Tempat Artikulasi
Bilabial
Apiko Dental
Apiko Alveolar
Dorso Velar
Rapat tiba-tiba lepas
Hambat letup
p
t
k
nasal
n
lateral
l
p, t, dan k = hambat letup
k = dorsovelar
= nasal
Dapat dilihat dari tabel di atas, terdapat kesamaan antara konsonan satu dengan lainnya. Hal tersebut melahirkan kemungkinan-kemungkin penyebab terjadinya gejala laminalisasi fortes adalah sebagai berikut.
“s ” merupakan konsonan frikatif (geseran) lamino alveolar yang terjadi bila artikulator aktifnya ialah daun lidah dan ujung lidah sedangkan artikulator pasifnya ialah gusi. Bunyi “s” terbentuk jika :
1.
Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan sehingga udara tidak keluar melalui rongga hidung tetapi terpaksa melalui rongga mulut.
2.
Daun lidah dan ujung lidah ditekankan pada gusi, sehingga ruangan jalannya udara antara daun lidah dengan gusi itu sempit sekali yang menyebabkan keluarnya udara dengan bergeser.
3.
Gigi atas dan gigi bawah dirapatkan.
Dari proses produksi bunyi “s” yang telah dikemukakan di atas. Ternyata memiliki hubungan yang posisional dengan bunyi konsonan, yaitu :
Konsonan /p/ /t/ dan /k/ dimana bunyi tersebut terbentuk jika langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan dan udara keluar melalui rongga mulut, sedangkan pada /n/dan//, walaupun bunyi tersebut terbentuk jika langit-langit lunak dan anak tekaknya diturunkan dan udara keluar dari hidung, tetapi disertai dengan bergetarnya pita suara. Dan pada /l/ terbentuknta bunyi jika langit-kangit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan dan udara keluar melalui rongga mulut serta pita suara ikut bergetar.
Proses dan posisi yang terjadi pada bunyi konsonan tersebutlah yang menyebabkan bunyi ‘s ’dapat mengimbuh dan menjadi bunyi pengiring baru dalam gejala fonologis.
III. KESIMPULAN
Pada dasarnya banyak sekali gejala dalam kegiatan berbahasa yang terjadi di sekitar kita dan menarik untuk dikaji. Karena bahasa merupakan sesuatu yang universal dan integral. Tidak ada satu hal pun yang dapat lepas dari bahasa. Seperti halnya lawakan. Banyak cara digunakan agar seseorang memiliki karakteristik yang kelak akan menjadi sebuah ciri khas atau bahkan trendsetter. Hal tersebut dimungkinkan oleh beberapa faktor (yang dapat dikaji dalam disiplin ilmu lain) seperti kesengajaan. Namun hal tersebut ketika diteliti dan dikaji lebih lanjut secara fonetis ternyata kita akan menemukan suatu pola atau rumus baru yang akan memperluas dan mempertajam pola pemikiran kita.
(tantrapuan.wordpress.com)