Jumat, 11 Juni 2010

Fonolog Indonesia 'n Belanda

Oleh Dheka Dwi Agusti N

(proxy.caw2.com)

1. Sistem Fonologi Bahasa Indonesia dan Bahasa Belanda

Semua bentuk pungutan pada umumnya akan disesuaikan dengan kaidah yang berlaku dalam bahasa pemungut. Agar proses adaptasi itu dapat dipahami, ada baiknya kita meninjau terlebih dahulu sistem fonologi bahasa-bahasa yang bersangkutan. Berdasarkan peninjauan ini dapat dilihat persamaan serta perbedaannya sehingga dapat diperkirakan gerak penyesuaian fonologi bahasa sumber ke dalam sistem fonologi bahasa pemungut. Dalam hal ini yang menjadi bahasa sumber dalah bahasa Belanda, sedangkan bahasa Indonesia merupakan bahasa pemungut.

2. Adaptasi Fonologis

Dalam percakapan, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, maupun dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia banyak yang menggunakan unsur-unsur asing. Unsur-unsur itu antara lain diserap dari bahasa Arab, Sansekerta, Portugis, Inggris, dan Belanda disamping bahasa nusantara lainnya. Unsur-unsur serapan ini biasanya tidak diterima begitu saja dalam suatu bahasa, karena akan mengalami proses adaptasi yang sesuai dengan kaidah yang berlaku dalam bahasa penerima. Hal ini dilakukan agar unsur-unsur asing itu tidak merusak unsur yang ada dalam bahasa penerima. Begitu pula halnya dengan bentuk pungut dari bahasa Belanda, sebelum diserap bentuk pungut tadi disesuaikan terlebih dahulu dengan kaidah bahasa Indonesia.

Sebagian besar dari bentuk yang diserap ini akan dilafalkan seperti yang terdengar oleh telinga karena cara penulisan kata dalam bahasa Indonesia adalah satu bunyi satu grafem, maka bunyi-bunyi ini akan ditulis sesuai dengan apa yang didengar. Bentuk-bentuk yang sudah disesuaikan dengan cara seperti ini tidak dirasakan seperti unsur asing lagi, bahkan banyak diantara unsur serapan ini dianggap sebagai unsur asli oleh pemakainya. Unsur-unsur yang diadaptasikan dengan cara ini dapat dibedakan atas adaptasi fonologis murni, adaptasi silabis, dan suara bakti.

2.1.Adaptasi Fonologis Murni

Sebelum sebuah kata atau istilah diterima dalam suatu bahasa, terlebih dahulu akan disesuaikan dengan kaidah yang berlaku. Fonem Belanda tidak tidak mempunyai kesamaan ciri dengan dengan fonem Indonesia, maka perlu diadakan motivasi sehingga mendekati bunyi yang ada sesuai dengan sistem fonologi bahasa Indonesia. Penyesuaian bunyi asing dengan perubahan berdasarkan sistem fonologi suatu bahasa disebut adaptasi fonologis murni.

Makalah ini tidak hanya menilai bagaimana suatu kata dilafalkan, melainkan mengambil grafem sebagai titik tolaknya. Hal ini dilakukan karena pada prinsipnya grafem dapat mewakili suatu fonem atau lebih. Hal yang sama terjadi dalam bahasa Belanda. Terdapat grafem Belanda yang melambangkan satu bunyi saja, tetapi terdapat juga grafem yang mewakili beberapa bunyi. Tidak sedikit juga grafem yang menjadi dasar bagaimana suatu unsur diadaptasikan, terutama jika bunyi atau unsur tersebut tidak mempunyai kesamaan ciri dengan fonem dalam bahasa indonesia.

Adaptasi fonologis murni hanya terjadi pada fonem Belanda yang terdapat dalam sistem fonologi bahasa Indonesia. Penyesuaian ini pada umumnya dilakukan berdasarkan lafal, sedangkan tulisan disesuaikan dengan kaidah ejaan bahasa Indonesia. Apabila penyesuaian terjadi berdasarkan ejaanya, sering hal ini disebabkan untuk menghindari terjadinya homonim, mungkin juga karena struktur morfologinya kurang sesuai.

2.1.1 Grafem c yang dalam bahasa asalnya dilafalkan sebagai /_ s _/, diadaptasikan sebagai /s/, misalnya :

Cent  sen

Cement  semen

Circus  sirkus

Cyclus  siklus

Licentie  lisensi

December  desember

Incident  insident

Encyclopedie  ensiklopedi

Dalam posisi lain dimuka vokal belakang, di muka konsonan, maupun pada akhir suku kata, grafem c yang dalam bahasa asalnya dilafalkan sebagai /_ k _/ , diadaptasikan sebagai K, misalnya :

Categorie  kategori

Compleet  komplit

Cultuur  kultur

Critiek  kritik

Classiek  klasik

Actie  aksi

Academie  akademi

Decoratie  dekorasi

Aculatie  okulasi

Decreet  dekrit

Declamatie  deklamasi

Contact kontak

Dalam pemakaian sehari-hari dapat kita temukan beberapa kata yang ditulis dan dilafalkan seperti dalam bahasa sumber. Biasanya kata-kata itu merupakan istilah umum yang digunakan hampir diseluruh dunia.

2.1.2 grafem ch dalam bahasa Belanda tidak dapat dipastikan pelafalan seperti c, karena itu proses adaptasinya pun lebih rumit. Sebagian besar dari grafem ini, yang dilafalkan /_ s _/, merupakan bentuk pungut dari bahasa Perancis. Bunyi ini dilafalkan sebagai /_ s _/ setelah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia, misalnya :

Chauffeur  sopir

Chep  sep

Chimpanse  simpanse

Machine  mesin

Satu hal yang dapat dicatat dari grafem ini adalah bahwa dalam bahasa sumber tidak pernah ditemukan didepan konsonan. Hal ini juga terjadi atas grafem lainnya yang dilafalkan /_ s _/.

Sebagai grafem ch ini dilafalkan sebagai /_ x _/, yang diadaptasikan kedalam bahasa Indonesia sebagai k, misalnya ;

Chronish  kronis

Chemie  kimia

Cholera  kolera

Schema  skema

Schandaal  skandal

Synchronishch  sinkronis

Techniek  teknik

Psykologie  psikologi

Archeologi  arkeologi

Beschuit  biskuit

Dari kata diatas dapat dicatat bahwa ch yang mengikuti s dilafalkan /_ sx _/, diadaptasikan sebagai /_ sk _/ bila terdapat di muka vokal. Apabila terdapat di belakang vokal dan dilafalkan /_ s _/, maka akan diadaptasikan sebagai /_ s _/. Dari contoh-contoh ini terlihat dengan nyata bahwa penyesuaian ini dilakukan berdasarkan lafal.

Selain perubahan diatas, fonem ini ada pula yang dilafalkan /_ s _/ meskipun terletak di muka vokal seperti archief (/_ ?arxif_/) diadaptasikan sebagai /_ ?arsip_/. Ada kemungkinan bahwa grafem yang dilafalkan /_ s _/ dikacaukan dengan yang dilafalkan /_ s _/. Disamping contoh ini ada pula sebuah kata yang berubah sama sekali, menyimpang dari bagaimana kata itu dilafalkan maupun maupun bagaimana kata itu ditulis yaitu achteruit yang diadaptasikan sebagai /_ ?atret _/. Dari segi fonologi memang ada beberapa fonem yang perlu disesuaikan, dari segi morfologinya pun segmennya terlalu panjang.

2.1.3 Grafem Belanda ei mempunyai kemiripan lafal dengan grafem Indonesia ai yang diucapkan dalam satu kesatuan waktu. Dalam bahasa Indonesia grafem ini dilafalkan /_ ey _/ variasi fonetis dari /ay/ apabila menduduki posisi akhir:

Aardbei  /_ ?arbEy_/

Gelei  /_ selay_/

Sprei  /_ seprEy_/, /_ seperay_/

Keizer  /_ kaysar_/

Pada posisi tengah ei biasanya diadaptasikan sebagai /_ E _/ karena dalam suku tertutup, terdengar sebagai vokal tunggal, misalnya :

Kapitein  /_ kaptEn _/

Pleister  /_ plEster _/

Porselein  /_ pOrselEn_/

2.1.4 Grafem eu yang merupakan unsur sebuah kata dasar, diadaptasikan ke dalam bahasa Indonesia sebagai /_ I _/, misalnya :

Keur  /_ kIr _/

Kleur  /_ kelIr_/

Chauffer  /_ sOpIr _/

Sebagai unsur morfem terikat, grafem ini bisa diadaptasikan sebagai /_ u _/.

2.1.5 Proses adaptasi unsur-unsur Belanda bukannya baru saja terjadi. Proses ini sedah dikenal jauh sebelum dikenal adanya bahasa indonesia, ketika itu masih dikenal bahasa melayu karena hubungan dengan bangsa Belanda sudah terjalin beberapa abad sebelumnya. Pada mulanya bahasa indonesia tidak mengenal fonem /_f_/ sehingga semua fonem /_f_/ yang ada baik dari bahasa Belanda maupun dari bahasa asing lainnya diadaptasikan sebagai /_p_/. Lama-kelamaan dengan banyaknya kata atau istilah yang masuk kedalam bangasa indonesia ke bangsa indonesia /_f_/ tidak berubah.

Selain pengaruh dari luar, /_f_/ juga tidak berubah karena ada kata atau istilah asing yang mempunyai fonem nini bisa dikacaukan dengan bentuk lain yang sudah dikenal, seperti : fakta, fatal dan folio. Jadi fonem f ini juga diterima agar tidak terjadi homofon. Akibatnya, banyak kata atau istilah yang sudah disesuaikan menjadi /p/, kembali lagi menjadi /p/ seperti dalam bahasa asalnya.

Perubahan sejenis ini memang tidak terjadi dalam waktu beberapa bulan saja. Secara hukum perubahan ini bvaru terjadi dengan diresmikannya EYD, yang diresmikan /f/ sebagai suatu fonem. Secara liguistik fonem ini digunakan oleh bahasa nusantara. Rupanya inilah alasan mengapa kaum terpelajar indonesia menggunakan fonem ini bahkan menjadikan fonem /p/ menjadi /f/.

Penyesuaian kembali menjadi f tidak berlaku bagi semua bentuk. Masih cukup banyak kata atau istilah yang sudah digunakan secara meluas di kalangan masyarakat yang merupakan golongan mayoritas, tetap dieja dan dilafalkan sebagai fonem /p/. Hal ini berlaku juga untuk bentuk-bentuk yang tidak dirasakan atau dianggap asing lagi. Akibatnya didalam pemakaian sehari-hari dapat ditemukan adanya bentuk kembar (kata yang bentuknya mirip dan berasal dari sumber yang sama), misalnya :

Familie  famili

Film  film

Professor  profesor

Actief  aktif

Positief  positif

Selain ditemukannya bentuk kembar adapula beberapa bentuk yang tetap p, tidak berubah kembali menjadi f, misalnya :

Fabriek  pabrik

Feest  pesta

Chauffer  sopir

Komfoor  kompor

Koffer  koper

Cshroef  sekrup

Slof  selop

2.1.6 Grafem g dalam bahasa Belanda tidak dilafalkan secara sama seperti dalam bahasa Indonesia. Grafem yang dilafalkan dalam bahasa Belanda tetap dituliskan /_g_/ dalam bahasa indonesia dan dilafalkan /_g_/. Dalam hal ini yang menjadi patokan adalah tulisan, bukan lafal.

Dari daftar yang diteliti dapat dicatat beberapa istilah yang ditulis dan dilafalkan sama seperti dalam bahasa sumber. Garfem ini tidak dilafalkan /_g_/ karena posisinya yang terletak pada akhir suku kata, sedangkan berdasarkan distribusinya, /_g_/ tidak pernah menduduki posisi akhir dalam bahasa indonesia. Bentuk-bentuk ini pun tidak ditemuakan dalam pembicaraan sehari-hari selain dalam pembicaraan ilmiah.

Selain penyesuaian seperti tersebut di atas, kadang-kadang g diadaptasikan sebagai k. Bentuk-bentuk ini banyak digunakan masyarakat, misalnya:

Gaas  kasa

Raagbol  rakbol

Velg  pelek

Apabila g dalam bahasa sumber dilafalkan s, akan diadaptasikan sebagai /_s_/, sebagaimana grafem lain yang dilafalkan /_s_/. Tetapi ada beberapa contoh yang dalam bahasa sumber dilafalhan /_z_/, diadaptasikan kedalam bahasa Indonesia sebagai /_s_/. Misalnya :

Gelei /_ zelEi _/  selai /_ selay _/

Gilette /_ zilEt _/  silet /_ silEt _/

2.1.7 Diagraf Belanda ij melambangkan satu bunyi dan dilafalkan sama dengan ei. Jika ei diadaptasikan sebagai /_ ey _/ atau /_ ay _/, maka ij dapat diadaptasikan sebagai /_E_/ atau /_i_/. Apa yang menjadi dasar penyesuaian ini menjadi tiga bentuk, tidak jelas karena /_Ey_/ dianggap variasi fonetis dari /ay/ :

  1. menjadi /_ ay _/ seperti dalam:

maatschappij  maskapai

partaij  partai

batterij  baterai

1. ada kalanya menjadi /_ E _/ seperti dalam :

lijm  lem

ijs  es

loterij  lotere

rijbewijs  rebewes

2. kadang-kadang menjadi /_i_/, seperti dalam :

lijn  lin

pijp  pipa

strijk(en)  strika

Sebenarnya lafal diagraf ini paling dekat dengan bemtuk pertama, tetapi dari contoh diatas dapat disimpulkan bahwa ij hanya menjadi ai jika menduduki posisi akhir.

2.1.8 Dalam bahasa Belanda grafem j dialfalkan dengan dua cara, /_y_/ dan /_z_/. Grafem j yang dilafalkan /_z_/ dalam bahasa sumber diadaptasikan sebagai j dalam bahasa Indonesia, misalnya:

Journaal /_ zurna.l_/ jurnal

Journalistiek /_ zurnalistik_/  jurnalistik

Perlu dicatat bahwa sebagian besar kata atau istilah belanda dengan grafem j yang dilafalkan /_z_/ merupakan bentuk pungut dari bahasa Perancis.

2.1.9 Grafem u belanda yang dalam bahasa sumber dilafalkan sebagai u dalam bahasa Indonesia diadaptasikan sebagai /_u_/. Hal ini terjadi karena bahasa Indonesia tidak mengenal fonem u sehingga grafemlah yang menjadi pangkal pengadaptasiannya, misalnya :

Communist /_ kOm. unIst _/ komunis

Rubriek /_ rubrik _/  rubrik

Cyclus /_ siklAs _/  siklus

Syllabus /_ silabAs _/  silabus

Dari data yang terkumpul ditemukan hanya satu contoh yang dalam bahasa Belanda dilafalkan /_ A _/, tetapi diadaptasikan sebagai /_ I _/, yaitu bus dilafalkan /­_ bAs _/ dan diadaptasikan sebagai /_ bis _/.

2.1.10 Bahasa Belanda seperti juga bahasa-bahasa lainnya membedakan secara nyata /v/ dan /f/ : tidak demikian halnya dalam bahasa Indonesia yang mengenal v hanya sebagai grafem v akibat berhubungan dengan masyarakat barat. Grafem ini dilafalkan /_f_/, untuk mengganti grafem menjadi f tidaklah mungkin karena perubahan ini bisa menyebabkan bentuk asalnya menjadi kacau sehingga sukar bagi mereka yang mau membandingkannya dengan bentuk asalnya.

Mengganti kata atau istilah dengan yang baru bukanlah hal yang mudah, sedangkan istilah yang mengungkapkan pengertian suatu ilmu sangat diperlukan. Karena itulah grafem ini diterima dalam bahgasa indonesia, tetapi tetap dilafalkan /_f_/. Jadi dalam bahasa Indonesia ini merupakan alograf dari f. Karena dilafalkan f, maka dalam bentukannya grafem ini menjadi p dan f, kata atau istilah yang sudah dipakai secara meluas di kalangan masyarakat tetap p, misalnya :

Vanille  panili

Ventiel  pentil

Verband  perban

Verlof  perlop

Provincie  propinsi

Civiel  sipil

Kaveling  kapling

Advocaat  alpokat

Ilmu semakin berkembang dan istilah yang diserap pun semakin banyak sehingga banyak istilah dengan grafem v digunakan dan dilafalkan sebagai /_f_/, terutama dalam istilah internasional.

Selain penyesuaian di atas, data menunjukan adnya v yang tidak berubah menjadi p, melainkan berubah menjadi b, misalnya :

Gouverneur  gubernur

Servet  serbet

Veranda  beranda

Mungkin hal ini terjadi karena v diucapkan sangat berat sehingga terdengar sebagai /_b_/.

2.1.11 Diftong Belanda yang dilafalkan /_ ou _/ diadaptasikan kedalam bahasa Indonesia sebagai /_ aw _/. Meskipun mempunyai kesamaan ciri, kata yang mengandung fonem ini tidak dilafalkan demikian tetapi dilafalkan sebagaimana diftong ini dieja dalam bahasa Indonesia.

2.1.12 Diftong Belanda yang dilambangkan dengan grafem u i dilafalkan sebagaimana bunyi itu dieja dalam bahasa Indonesia karena tidak adanya padanan dalam bahasa Indonesia. Sebagai diftong depan, diadaptasikan sebagai vokal depan tinggi merendah /i/, misalnya :

Besluit  beslit

Buis  bis

2.1.13 Grafem Belanda x yang dalam bahasa Indonesia pada umumnya hanya digunakan dalam perhitungan ilmu eksakta diadaptasikan kedalam bahasa Indonesia kedalam dua cara. Bila grafem ini menduduki posisi tengah antara dua vokal atau pada akhir suku kata, maka akan dilafalkan /_ks_/ sebagaimana dalam bahasa sumber. Sebaliknya bila menduduki posisi awal, maka dilafalkan sebagai /_s_/ dan tetap dieja x, misalnya :

Xanthate  xantat

Xenon  xenon

Xylophoon  xilofon

2.1.14 Huruf terakhir dari abjad internasional diadaptasikan kedalam bahasa Indonesia sebagai /s/. Pada tahun 1972 grafem ini diresmikan pemakaiannya, dalam pemakaiannya ini hanya digunakan dalam inlmu eksakta dan dalam istilah ilmiah atau internasional, tetapi dilafalkan /_s_/. Karena dilafalkan /_s_/ itulah, grafem ini diadaptasikan sebagai s dan pada umumnya ditemukan pada posisi awal, misalnya :

Zak  saku

Zalf  salep

Zadel  sadel

Zaink  seng

Zegel  segel

Zenuwen  senewen

Zuster suster

2.2 Adaptasi Silabis

Penyesuaian bumnyi tidak hanya terjadi atas fonem tertentu saja. Ada kalanya penyesuaian seperti ini ditemukan juga pada suku kata, biasanya didasarkan pada lafal. Penyesuaian sejenis ini disebut adaptasai silabis. Penyesuaian ini terjadi karena struktur suku kata bahasa Belanda berbeda dari struktur kata bahasa Indonesia. Adaptasi ini dapat dibagi menjadi empat bagian :

  1. kata ekasuku menjadi dwisuku

  2. vokal tegang, baik yang dinyatakan dengan grafem ganda maupun dengan grafem tunggal, menjadi grafem tunggal

  3. konsonan ganda menjadi konsonan tunggal

  4. menghilangnya konsonan hambat pada akhir gugus konsonan pascavokal

2.2.1 Kata dasar dalam bahasa Indonesia, seperti juga kata dasar bahasa-bahasa Nusantara lainnya, umumnya terjadi dari dua suku kata; sebaliknya dalam bahasa belanda dapat ditemukan banyak kata ekasuku. Jika bentuk-bentuk ini diserap, biasanya akan dijadikan kata dwisuku seperti kata dasar Indonesia pada umumnya. Banyak kata ekasuku menjadi dwisuku, tetapi tidak semua disesuaikan melalui proses yang sama karena bentuk asalnya pun tidak sama. Penyesuaian ini bisa berbentuk :

1. Gugus dua vokal yang dalam tatabahasa tradisional disebut diftong, menjadi dua vokal dari dua suku kata, misalnya :

bout /_ bOut _/  baut /_ baut _/

kous /_ kOus _/  kaus /_ kaus _/

duit  duit /_ duwit _/

puin  puing /_ puWiN _/

Apabila kata ekasuku yang mempunyai gugus vokal tersebut dimulai dengan gugus konsonan, dalam bahasa Indonesia gugus konsonan kata ekasuku tadi akan mendapat suara bakti sehingga menjadi trisuku, misalnya :

fluit  peluit /_ peluwit _/

spuit  sepuit /_ sepuwit _/

2. Kata ekasuku menjadi dwisuku akibat gejala paragoge, suatu proses penambahan bunyi pada akhir suatu kata tanpa mengubah arti, diasanya berupa fonem. Penambahan fonem ini tidak terikat pada kaidah tertentu karena tidak semua kata ekasuku yang diserap akan disesuaikan dan tidak semua kata ekasuku akan mendapat penambahan dengan cara ini. Kata ekasuku ini ada yang mempunyai gugus konsonan pravokal, ada yang mempunyai gugus konsonan pascavokal, bahkan ada pula yang tidak mempunyai gugus konsonan. Kata yang mendapat perubahan akibat gejala paragoge adalah:

  • penambahan fonem /a/ :

feest  pesta

lens  lensa

schets  sketsa

norm  norma

pen  pena

pijp  pipa

pomp  pompa

strijk(en)  strika

  • penambahan fonem /u/ :

bank  bangku

boek  buku

kaart  kartu

lamp  lampu

zak  saku

2.2.2 Bahasa Indonesia tidak membedakan vokal tegang dan tidak tegang. Kalaupun ada hanya merupakan variasi vokal atau berbeda karena distribusinya ; dengan kata lain dalam bahasa Indonesia perbedaan ini tidak fonemis. Dalam bahasa Belanda vokal tegang pada umumnya dituliskan dengan grafem ganda pada suku tertutup, atau dengan grafem tunggal dalam suku terbuka ; sedangkan vokal tidak tegang dituliskan dengan grafem tunggal.

Grafem ganda yang menunjukkan vokal tegang juga tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia. Jika dalam sebuah kata Indonesia ditemukan dua buah vokal yang sama secara berturut-turut, kedua vokal tadi merupakan anggota dari dua suku kata yantg berbeda. Karena itu, vokal tegang dalam bahasa Belanda menjadi vokal tidak tegang, sedangkan grafem ganda atau diagraf menjadi grafem tunggal atau monograf, misalnya :

Lokaal  lokal

Veer  per

Goot  got

Absoluut  absolut

Nominaal  nominal

Feest  pesta

Spier  sepir

Kool  kol

Instituut  institute

2.2 3 Selain grafem ganda berupa vokal, bahasa Indonesia juga tidak mempunyai konsonan ganda seperti bahasa-bahasa Nusantara lainnya. Karena itu, semua kata atau istilah yang mempunyai kinsonan ganda akan diadaptasikan ke dalam bahasa Indonesia menjadi konsonan tunggal, misalnya :

Acclamatie  aklamasi

Koffer  koper

Abonnement  abonemen

Appel  apel

Patrouille  patroli

Assistent  asisten

Commandant  komandan

Aggressie  agresi

Seandainya konsonan ganda itu mewakili bunyi-bunyi yang berbeda dalam bahasa sumber, penyesuaiannya akan mengikuti lafal, tidak semata-mata mengubah konsonan ganda menjadi konsonan tunggal.

Accent  aksen

Vaccin  vaksin

Milliard  mlyar

Millioen  milyun

2.2.4 Sebagian besar gugus konsonan pascavokal Belanda diakhiri oleh konsonan hambat di samping konsonan geser dan nasal. Sebaliknya struktur bahasa Indonesia tidak menghendaki gugus konsonan, apalagi gugus konsonan pascavokal, lebih-lebih lagi jika konsonan akhir dari gugus konsonan itu konsonan hambat dental. Jika dalam istilah yang akan diserap terdapat gugus konsonan jenis ini, biasanya konsonan hambat itu hilang, misalnya :

Brandkast  brankas

Verband  perban

Accoord  akur

Agent  agen

Di dalam kata atau istilah ekasuku, konsonan hambat pada akhir gugus konsonan pascavokal biasanya tetap, tidak hilang, bahkan kadang-kadang mendapat penambahan. Kata-kata ini pada umumnya merupakan istlah internasional yang masuk kemudian, setelah banyak dari bangsa indonesia mengenyam pendidikan. Hal ini menyebabkan istilah dwisuku bergugus konsonan pascavokal mempertahankan konsonan hambatnya , misalnya : Volt ,Kobalt, Sport.


2.3. Suara Bakti

Pada beberapa contoh diatas, adakalanya terlihat atau terdengar bahwa suatu kata atau istilah mendapat penambahan bunyi yang berfungsi sebagai pelancar ucapan. Bunyi seperti ini disebut suara bakti. Pada awal masuknya kata pungut, semua kata atau istilah yang mempunyai gugus konsonan mendapat suara bakti. Suara bakti, yang dalam hal ini biasanya diwakili oleh bunyi pepet, pasti timbul apabila konsonan pertama dari gugus konsonan pravokal adalah konsonan spiran /s/ atau jika konsonan kedua dari gugus konsonan pravokal itu adalah konsonan likuida /l/, dan sebaliknya apabila konsonan pertama dari gugus konsonan pascavokal itu adalah /l/, misalnya :

1. Konsonan pertama gugus konsonan pravokal adalah konsonan spiral /s/, misalnya

Scop  sekop

Smeer  semir

Smokkel  semokel

2. Konsonan kedua dari gugus konsonan pravokal adalah konsonan likuida, misalnya

Glas  gelas

Kleuir  kelir

Slof  selop

3. Sebaliknya dari 2, bila konsonan pertama gugus konsonan pascavokal adalah konsonan /l/, misalnya

Kalm  kalem

Velg  pelek

Dari contoh diatas ternyata bahwa istilah yang merupakan kebalikan dari kelompok pertama, tidak mendapat suara bakti, seperti dalam ; ambulans, korps, mars, krans, ons. Istilah ini tidak berubah terutama gugus konsonannya, tetapi sebagian besar dari contoh ini diserap kemudian. Berdasarkan contoh istilah yang tidak kehilangan gugus konsonan, kemudian diserap beberapa bentuk yang sejenis dengan dengan diatas, tetapi tidak mendapat suara bakti, misalnya :

  1. Slogan, skripsi, spiral, staf, statistik

  2. Blangko, klep, klimaks, plot, konflik

  3. Film, helm, wals.

Sebagian besar kata atau istilah yang tidak mengalami penyesuaian, merupakan kata atau istilah internasional dan istilah ilmiah. Beberapa istilah diantaranya yang sudah lama diserap, memang mendapat suara bakti ; tetapi dengan makin majunya pengetahuan, justru bentuk dengan suara bakti tadi mulai menghilang, misalnya dalam pilem, kompelek, setasiun, setandar, yang sekarang lebih dikenal sebagai film, komplek, stasiun, standar. Pada umumnya bentukan yang digunakan masyarakat yang kurang terpelajar lebih banyak mendapat penambahan suara bakti karena bahasa nusantara tidak mengenal adanya gugus konsonan.


3. Sistem Morfologi Bahasa Belanda dan Indonesia

Penyesuaian unsur serapan suatu bahasa tidak hanya terjadi dalam tataran fonologi saja, tetapi dapat juga terjadi dalam tataran morfologi. Penyesuaian ini pun akan mengikuti kaidah yang berlaku, dalam hal ini kaidah morfologi bahasa Indonesia. Untuk mengikuti penyesuaian ini ada baiknya kita meninjau dahulu system morfologi kedua bahasa yang bersangkutan. Dari penguraian ini dapat dilihat persamaan dan perbedaan kedua bahasa ini yang diperlukan untuk mengetahui penyesuaian kata/istilah Belanda ke dalam bahasa Indonesia.

Kami akan membahas sistem kedua bahasa ini tidak secara luas, tetapi yang ada hubungannya dengan proses adaptasi unsure-unsur bahasa Belanda. Sehubungan dengan ini kami hanya membicarakan morfem ditinjau dari segi bentuk yang dapat membantu kita untuk lebih mengerti proses adaptasi morfologis, khususnya penyesuaian morfem bahasa Belanda dalam bahasa Indonesia.

3. 1 Sistem Morfologi Bahasa Indonesia

Dalam bidang morfologi suatu bahasa terdapat dua unsure yang mempunyai fungsi pembentuk kata: unsur yang secara langsung membina suatu kalimat dan unsur yang secara tidak langsung membina suatu kalimat. Yang dapat membina kalimat secara langsung disebut morfem bebas dan morfem dasar, sedangkan yang tidak dapt membina kalimat secara langsung disebut morfem terikat. Morfem bebas sudah merupakan kata, tetapi kata itu tidak hanya terjadi dari morfem bebas saja, melainkan juga dari bagian-bagian lain yang membentuk kalimat. Bagian-bagian itu dapat merupakan gabungan morfem terikat dengan morfem bebas, atau morfem dasar dengan morfem dasar.

Kata yang membentuk suatu kalimat itu dapat ditinjau dari dua segi: dari bentuk dan jenis katanya. Dalam makalah ini akan membahas dari segi bentuk saja karena jenis kata tidak mempengaruhi proses adaptasi secara langsung, menurut bentuknya kata dibagi atas :

  1. Kata dasar: Dalam bahasa Indonesia, juga dalm bahasa-bahasa Nusantara lainnya, kata dasar umumnya terdiri dari dua buah suku kata dan tidak mengenal gugus konsonan.

  2. Kata berafiks: yang dimaksud dengan kata berafiks ialah gabungan anatara kata dasar dengan afiks. Afiks, yang merupakan morfem terikat, dalam bahasa Indonesia dibagi lima

a. Prefiks (awalan)

b. Infiks (sisipan)

c. Sufiks (akhiran)

d. Konfikse.

e. Gabungan dari dua atau lebih dari keempat bentuk diatas.

Semua morfem bebas dapat memperoleh salah satu bentuk terikat. Bentuk dari kata yang mendapat afiks ini biasanya tidak berubah, ditambahkan langsung pada morfem bebas atau kata; kalaupun ada, perubahan itu sangat kecil. Perubahan pada umumnya timbul pada kata yang berprefiks me- atau pe-. Yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah :

a. Kata dasar yang mendapat prefiks ini akan mendapat atau mengalami proses nasalisasi

b. Nasal itu harus homorgan dengan fonem awal dari kata dasar tersebut

c. Jika fonem awalnya konsonan bersuara, maka tidak akan luluh; sebaliknya jika merupakan konsonan tidak bersuara, maka akan luluh kecuali fonem /c/. peluluhan ini hanya terjadi pada kata dasar.

3. Kata ulang: bentuk pengulangan bisa terjadi atas pengulangan suku

awal, seluruh kata dasar, pengulangan atas seluruh kata dasar dengan

perubahan pada salah satu bentuknya, dan pengulangan yang berafiks

4. Kata majemuk atau gabungan kata: merupakan gabungan dua buah kata

atau lebih yang membentuk satu kesatuan arti, karena itu tidak dapat

dipecahkan lagi atas bagian-bagian yang lebih kecil tanpa mengubah

pengertiannya. Gabungan itu membentuk suatu pusat dan biasabya

terbentuk menurut hokum D-M.

3.2 Sistem Morfologi Bahasa Belanda

Uaraian ‘kata’ dalam bahasa Belanda pun hanya dibahas pada pebguraian menurut bentuknya, yang terbagi atas:

  1. Kata dasar: ialah kata yang tidak dapat dibagi lagi, dapat berupa satu suku kata atau lebih.

  2. Kata berafiks: ialah kata dasar yang mendapat afiks. Dalam bahasa Belanda, afiks dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Afiks pembentuk kata baru, yang dibentuk dari kata-kata yang sudah ada. Jenis ini dapat dibagi lagi atas; prefiks, sufiks, atau gabungan dari keduanya (dalam bahasa Belanda disebut afleidingsaffixen)

b. Afiks pembentuk atau penunjuk fungsi kata dalam kalimat; merupakan alat untuk menunjukkan fleksi yang membedakan jumlah, kasus, waktu, cara, dll.

c. Kata majemuk: kata majemuk terjadi dari gabungan dua kata yang sudah ada dan selalu terjadi dari dua anggota. Jika gabungan kata itu bersifat endosentris, anggota pertama menentukan yang lain.



3.3 Persamaan Sistem Morfologi Bahsa Indonesia dan Belanda

Menurut bentuknya “kata” dalam kedua bahasa tersebut mempunyai pembagian yang menunjukkan kesamaan. Kata dasar dalam kedua bahasa ini merupakan dasar dari pembentukan kata lainnya, baoik kata berafiks maupun gabungan kata. Kecuali afiks pembentuk fleksi, afiks lainnya dalam bahasa Belanda, seperti juga dalam bahasa Indonesia, dihubungkan satu dengan yang lainnya tanpa mendapat perubahan bentuk.

3.4 Perbedaan Sistem Morfologi Bahasa Indonesia dan Belanda

Seperti juga sistem fonologi kedua bahasa ini, meskipun terdapat cukup banyak persamaan dalam system morfologi, tidaklah berarti bahwa tidak terdapat perbedaan, lagi pula kedua bahasa ini termasuk dalam rumpun bahasa yang berbeda. Perbedaan sistem morfologi kedua bahasa ini antara lain terdapat pada:

  1. Kata dasar: suku kata bahasa Indonesia pada umumnya hanya dua dan tidak mengenal gugus konsonan. Sedangkan kata dalam bahasa Belanda terdiri dari satu suku kata atau lebih dan mengenal sejumlah gugus konsonan.

  2. Kata berafiks: kedua bahasa ini mengenal adanya afiks, tetapi proses adaptasi antara kedua bahasa ini tidak terjadi dalam tataran afiks. Proses adaptasi hanya terjadi atas morfem bebas, sedangkan afiks yang mungkin dapat diserap juga, diadaptasikan sebagai satu kesatuan bentuk.

  3. Kata ulang: dalam bahasa Belanda tidak mengenal adanya pengulangan kata, tidak seperti dalam bahasa Indonesia.

  4. Kata majemuk : kata majemuk dalam bahasa Belanda hanya terjadi dari dua buah kata, sedangkan dalam bahasa Indonesia kata majemuk terjadi dari gabungan dua buah kata atau lebih. Anggota pertama dari kata majemuk yang bersifat endosentris dalam bahasa Belanda menerangkan anggota kedua, sedangkan dalam bahasa Indonesia sebaliknya.

Setelah melihat perbedaan system morfologi kedua bahasa tadi, ada baiknya kita membahas kemungkinan apa saja yang dapat terjadi akibat perbedaan:

  1. Kata ekasuku dalam bahasa Belanda akan diserap sebagai kata dwisuku dengan penambahan yang ada pada umumnya terjadi pada akhir suku kata tanpa peraturan yang tetap. Seandainya kata ekasuku tadi mempunyai gugus konsonan, maka akan mendapat suara bakti antara gugus konsonan tadi. Sebaliknya, kata dalam bahasa Belanda bersuku banyak yang diadaptasikan ke dalam bahasa Indonesia seolah-olah dipadukan karena mengalami perubahan yang disebut gejala haplologi. Haplology adalah suatu proses di mana sebuah kata kehilangan suku kata di tengah-tengah kata tersebut.

  2. Kata dalam bahasa Belanda, baik berupa bentuk dasar maupun bentuk berafiks diserap ke dalam bahasa Indonesia sebagai bentuk dasar, tidak sebagai bentuk jadian/berafiks. Maka jika ingin diberi imbuhan, kata tersebut akan mendapat perlakuan yang sama dengan kata Indonesia lainnya. Misalnya: bila sebuah kata mendapat prefiks me-, maka akan mendapat nasal homorgan.

  3. Tidak semua gabungan kata atau kata majemuk dalam bahasa Belanda diserap sebagai kata majemuk pula, ada sejumlah kata yang diserap sebagai kata dasar. Jika gabungan kata itu masih dirasakan sebagai kata majemuk, ia akan disesuaikan dengan kaidah kata majemuk Indonesia. Yaitu: jika kata majemuk itu bersifat endosentris, maka ia terbentuk menurut hukum D-M.

4. Adaptasi Morfologis

Penyerapan suatu kata tidak hanya terjadi dalam tataran fonologis, tetapi juga terjadi dalam tataran morfologis. Jika penyesuaian itu terjadi berdasarkan struktur morfologi suatu bahasa, maka hal tersebutlah yang dikatakan sebagai adaptasi morfologis. Suatu morfem daalm bahasa sumber, baik morfem bebas maupun morfem terikat, akan disesuaikan dengan struktur morfologis bahasa pemungut.

Struktur morfologis bahasa pemungut meliputi bentuk-bentuk terikat dan struktur kata dasar. Penyesuaian unsur-unsur tersebut ditinjau sebagai satu kesatuan bentuk. Namun, tak dapat disangkal bahwa penyesuaian ini tidak dapat dipisahkan dari adaptasi fonologis; lafal tetap menjadi unsur penentu dalam suatu adaptasi morfologis. Bahkan banyak unsur bahasa Belanda yang polimorfemis berubah bentuk menjadi monomorfemis dalam bahasa Indonesia. Bentuk polimorfem ini bisa terjadi dari morfem dasar dengan morfem terikat, atau dari dua buah morfem dasar atau lebih.

Bentuk serapan akan disesuaikan dengan kaidah bahasa pemungut. Jika sebuah bentuk serapan tidak menyalahi kaidah yang erlaku dalam bahasa pemungut, baik kaidah fonologis maupun morfologisnya, maka bentuk tersebut dikatakan mengalami adaptasi zero atau nol, artinya ia tidak mengelami suatu perubahan.

Di samping itu, dapat pula kita tmukan beberapa bentuk yang diserap berdasarkan analogi. Penyerapan jenis ini dilakukan baik berdasarkan bentuk yang sudah ada dalam bahasanya sendiri, maupun bentuk yang diserap dari bahasa asing.

4. 1 Adaptasi Polimorfemis

Penyerapan unsur-unsur bahasa Belanda yang terjadi dari beberapa morfem, dapat dibagi dua:

  1. Penyerapan morfem dasar dengan morfem terikat

  2. Penyerapan dua morfem dasar atau lebih

4. 1. 1 Penyerapan morfem dasar dengan morfem terikat

Dalam menyerap unsur polimorfemis Belanda yang terjadi dari morfem dasar dengan morfem terikat, dalam hal ini afiks, morfem terikat Bahasa Belanda ini tidak dikenal sebagai afiks dalam bahasa Indonesia, melainkan sebagai bagian dari morfem dasar serapan. Banyak unsure serapan polimorfemis kemudian berubah menjadi unsure morfofonemis dalam bahasa Indonesia. Penyesuaian tersebut adalah sebagai berikut:

1. Sufiks bahasa Belanda –aal menjadi al dalam bahasa Indonesia, karena BI memang tidak mengenal vokal tegang.

Contoh:

Doctoraal ­­ –> doktoral

Koloniaal­­ –> colonial

Normal­­ –> normal

Verbaal­­ –> verbal

2. Sufiks bahasa Belanda –age menjadi ase dalam bahasa Indonesia dan merupakan bagian dari kata dasar serapan.

Contoh:

Etalage­­ –> etalase

Percentage­­ –> persentase

Camourflage­­ –> kamuflase

Spionage­­ –> spionase

Sebelum unsur-unsur Barat mempengaruhi bahasa Indonesia, pepet tidak pernah menduduki posisi akhir1. Namun, sekarang bentuk sejenis ini cukup banyak kita temukan, baik dalam suku akhir terbuka maupun yang tertutup. Di samping bentuk-bentuk di atas, ada yang diadaptasikan secara berbeda. Setelah diselidiki ternyata dalam bahasa sumber bentuk ini pun merupakan bentuk dasar. Mungkin atas dasar itulah bentuk-bentuk tersebut diadaptasikan berbeda dari yang lain, contoh:

Bagage­­ –> bagasi

Garage­­ –> garasi

3. Sufiks bahasa Belanda –air yang juga merupakan bentuk pungut dari bahasa Perancis, diadaptasikan sesuai dengan cara morfem tadi dilafalkan, yaitu /er/, contoh:

Arbitrair­­ –> arbitrer

Autotrair­­ –> otoriter

Complementair­­ –> komplementer

Honorair­­ –> honorer

4. Sufiks bahasa Belanda –ant menjadi an dalam bahasa Indonesia, konsonan pada akhir gugus konsonan pascavokal sering menghilang, contoh:

Consonant­­ –> konsonan

Restaurant­­ –> restoran

Transmigrant­­ –>­­ transmigran

Variant­­ –> varian

5. Sufiks bahasa Belanda –eel menjadi al dalam bahasa Indonesia, contoh:

Formeel­­ –> formal

Functioneel­­ –> fungsional

Rationeel­­ –> rasional

Structureel­­ –> struktural2

Commercieel­­ –> komersial

Sentimenteel­­ –> sentimental

Potentieel­­ –> potensial

Principieel­­ –> prinsipial

6. Sufiks pembentuk verba bahasa Belanda –eren dalam bahasa Indonesia kehilangan suku akhirnya dan kemudian diadaptasikan sebagai ir, contoh:

Blokeren blokir

Parkeren parkir

Solderen soldir

Taxeren taksir

Tidak semua kata bahasa Belanda bersufiks –eren dapat diadaptasikan sebagai ir. Menurut S. Tjokronegoro (dalam “Tjukupkah Saudara Membina Bahasa Kesatuan Kita?, Jakarta, 1968, hal. 45) kata bersufiks –eren akan diadaptasikan menjadi ir bila:

  1. Kata nama dalam bahasa Belanda tidak mungkin atau sukar diIndonesiakan;

  2. Verba bahasa Belanda lebih dikenal orang Indonesia daripada kata namanya.

7. Sufiks bahasa Belanda –eur dalam bahasa Indonesia menjadi dua bentuk yang berbeda: ir dan ur, contoh:

Chauffeur sopir

Controleur kontrolir

Formateur formatir

Importeur importer

Conducteur kondektur

Directeur direktur

Gouverneur gubernur

Redacteur redaktur

Kedua bentuk ini diadaptasikan ke dalam bahasa Indonesia dalam waktu yang berbeda, seperti halnya kesepadanan bunyi fonem-fonem bahas berkerabat pun menyatakan bahwa tiap zaman mempunyai korespondensi sendiri; dua fonem atau bentuk yang berbeda tidak akan berkorespondensi dalam satu waktu atau dalam waktu yang bersamaan.

Korespondensi fonemis merupakan salah satu cara untuk membandingkan dua buah bahasa atau lebih. Kedua bahasa tadi dikatakan mempunyai fonem yang sepadan jika bisa ditemukan rekurensi dank o-okurensi karena perubahan bunyi terjadi secara teratur. T. Bynon mengatakan bahwa korespondensi yang teratur antara unsure atau segmen yang terjadi karena perubahan fonetis yang teratur, dapat ditemukan dalam 3 keadaan, yaitu:

  1. Perkembangan suatu kata (di dalam bahasa yang sama).

  2. Korespondensi bahasa-bahasa berkerabat

  3. Kata pungut dan bentuk-bentuk utama dalam bahasa sumber

Berdasarkan kategori di atas dapat dibuat suatu hipotesa bahwa ada dua masa korespondensi fonemis, yaitu:

  1. Masa –eur berkorespondensi dengan ir

  2. Masa –eur berkorespondensi dengan ur

Dari data yang terkumpul dapat disimpulkan bahwa bentuk yang berubah menjadi ur ada padanannya dengan sufiks –or dalam bahasa Inggris. Rupanya waktu itu pengaruh bahasa Inggris sudah masuk ke dalam bahasa Indonesia. Bentuk bersufiks –eur yang tidak ada padanannya dengan bentuk dalam bahasa Inggris atau tidak ditemukan dalam bahasa Inggris, diadaptasikan menjadi ir. Mengingat baangsa Indonesia dijajah oleh Belanda selama hampir tiga ratus lima puluh tahun, berarti selama itu pula bahasa Belanda mempengaruhi bahasa Indonesia, sedangkan bahasa Inggris lebih banyak mempengaruhi bahasa Indonesia setelah Indonesia merdeka. Oleh karena itu dapat kami simpulkan bahwa penyesuaian –eur menjadi ir terjadi lebih dahulu dari ur.

8. Sufiks Belanda –(t)ief diadaptasikan sebagai (t)if dalam bahasa Indonesia, sebagaimana bunyinya dilafalkan, hanya ejaannya saja yang disesuaikan dengan kaidah yang berlaku. Seperti jenis adaptasi atas bentuk terikat lainnya, bentuk serapan ini pun diadaptasi sebagai bentuk monomorfemis, contoh:

Alternatief alternatif

Effectief efektif

Inclusief inklusif

Progressief progresif

9. Tidak berbeda dari sufiks (t)ief, sufiks –iek/-ica dalam bahasa Belanda juga diadaptasikan sebagaimana ia dilafalkan dengan penyesuaian ejaan, menjadi ik/ika, contoh:

Artistiek artistik

Fanatiek fanatik

Phonetiek fonetik

Tchniek teknik

Harmonica harmonica

Mechanica mekanika

Mathematica matematika

Physica fisika

10. Sufiks bahasa Belanda –isch diadaptasikan menjadi is dalam bahasa Indonesia, contoh:

Economisch ekonomis

Egoistisch egoistis

Politisch politis

Realistisch realistis

11. Sufiks bahasa Belanda –ist diadaptasikan menjadi is dalam bahasa Indonesia, seperti sufiks –ant yang kehilangan konsonan hambat /t/ yang terdapat pada akhir gugus konsonan pascavokal. Seandainya morfem terikat –ist ini diserap sebagai morfem, maka ia ini akan berhomonim dengan bentuk adaptasi –isch, contoh:

Artist artis

Componist komponis

Morphinist morfinis

Pianist pianis

12. Agak berbeda dari sufiks-sufiks lain, sufiks –logie diadaptasikan ke dalam bahasa Indonesia berdasarkan ejaan dengan penyesuaian bentuk dan lafal, menjadi logi, contoh:

Antropologie antropologi

Morphologie morfologi

Planologie planologi

Sociologie sosiologi

13. Sufiks pengecil (deminutif) bahasa Belanda –je diadaptasikan ke dalam bahasa Indonesia sebagai I, tetapi kata yang bersufiks ini tidak diserap sebagai bentuk pengecil, melainkan sebagaimana benda yang dimaksud, contoh:

Bakje baki

Petje peci

Potje poci

Schuitje sekoci

Variasi dari bentuk ini adalah –the yang terbentuk jika fonem akhir dari kata dasarnya bukan konsonan hambat. Ada pula yang diserap dalam bentuk jamak –tjes, yang diadaptasikan sebagai cis. Ada kemungkinan bahwa kata-kata tersebut diserap dalam bentuk jamak karena benda tersebut pada umumnya diambil dalam bentuk jamak. Bentuk serapan dalam bahasa Indonesia tidak diterima sebagai bentuk jamak, melainkan sebagai bentuk tunggal meskipun hampir tidak pernah diambil dalam bentuk tunggal, contoh:

Laatje laci

Boontjes buncis

Kaartjes karcis

14. Sistem fonologi bahasa Indonesia tidak mengenal adanya vokal tegang, karena itu sufiks bahasa Belanda –loog diadaptasikan sebagai log, contoh:

Dialoog dialog

Proloog prolog

Bioloog biolog

Psycholoog psikolog

15. Sufiks bahasa Belanda –teit diadaptasikan menjadi tas dalam bahasa Indonesia, contoh:

Universiteit universitas

16. Sufiks bahasa Belanda –(is) (a) tie dalam bahasa Indonesia diadaptasikan sebagai (is) (a) si sebagaimana dilafalkan, contoh:

Assurantie asuransi

Imigratie imigrasi

Isolatie isolasi

Specialisatie spesialisasi

17. Bahasa Indonesia tidak mengenal konsonan beraspirasi dan vocal tegang, karena itu sufiks bahasa Belanda –theek diadaptasikan sebagai tek, contoh:

Apotheek apotek

Bibliotheek bibliotek

Dischoteek diskotek

Hipotheek hipotek

18. Sufiks bahasa Belanda –uur diadaptasikan ke dalam bahasa Indonesia sebagai ur karena bahasa Indonesia tidak mengenal vokal tegang, contoh:

Architectuur arsitektur

Caricatuur karikatur

Miniature miniatur

Prematuur prematur

19. Prefiks ver-, begitu juga dengan voor-, sama-sama diadaptasikan ke dalam bahasa Indonesia sebagai per. Seperti sufiks lainnya, prefix ini pun tidak diserap sebagai prefiks melainkan sebagai bagian dari bentuk dasar, contoh:

Verponding perponding

Versnelling persneling

Voorschoot persekot

Voorloper pelopor

20. Selain afiks tersebut, masih ada lagi jenis afiks lain yang mempunyai kemiripan lafal dan tidak menyalahi kaidah morfologis bahasa Indonesia. Sebagian besar afiks ini diadaptasikan secara utuh terutama karena tidak menyalahi kaidah fonologis bahasa Indonesia, contohnya: bio-, anti-, tela-, intra-, -isme, -or.

4.1. 2 Penyerapan dua morfem dasar atau lebih

Penyerapan unsur polimorfemis bahasa Belanda tidak hanya terjadi pada morfem dasar dengan morfem terikat, melainkan juga pada dua morfem dasar atau lebih yang biasa disebut sebagai kata majemuk. Penyesuaian ini pun tidak dapat dipisahkan dari adaptasi fonologis.

Kata majemuk akan mengalami penyesuaian yang berbeda dari yang pembahasan sebelumnya. Penyesuaian ini memenag tidak terlepas sama sekali dari adaptasi fonologis, tetapi ada kalanya struktur morfologisnya tidak sesuai. Dari contoh-contoh dia atas terlihat bahwa kata asing yang terdiri dari beberapa morfem, setelah disesuaikan ke dalam bahasa Indonesia akan berbentuk sebuah morfem saja tanpa dapat menunjukkan di mana batas morfem tadi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan struktur morfologis.

Unsur monomorfemis yang ada sebagai adaptasi dari unsur polimorfemis bahasa Belanda terjadi karena kita tidak menyerap morfem terikat, sedangkan dalam mengadaptasikan kata majemuk hal ini mungkin terjadi karena segmennya terlalu panjang. Jadi penyesuaian ini mengikuti struktur kata dasar bahasa Indonesia yang pada umumnya terdiri atas dua suku kata:

Dommekracht dongkrak

Kurketrekker kotrek

Tafellaken taplak

Nyata bahwa penyesuaian tersebut di atas tidak didasarkan pada patokan bahwa suatu morfem dalam bahasa sumber harus berbentuk morfem pula dalam bahasa pemungut. Ini pun tidak berarti bahwa semua kata majemuk akan mengikuti penyesuaian seperti ini; semua gabungan kata yang tidak disesuaikan atas dasar struktur morfologisnya, tetapi akan mengikuti proses adaptasi fonologis, contoh:

Plakzegel plaksegel

Postwisse poswesel

Vulpen pulpen

Vrachtauto prahoto

Dalam bab sebelumnya sudah dikatakan bahwa gabungan kata yang masih dirasakan sebagai kata majemuk dan bersifat endosentris, dalam bahasa Indonesia akan terbentuk menurut hUkum D-M. Kata majemuk bahasa Belanda yang bersifat endosentris tidak terbentuk menurut hokum D-M; karena jika diserap ke dalam bahasa Indonesia, akan mengikuti susunan kata majemuk bahasa Indonesia, contoh:

Benzinepomp pompa bensin

Bushalte halte bis

Administratiebureau biroadministrasi

Operatiekamer kamar operasi

Postkaart kartu pos

4.2 Pungutan Utuh

Dari sekian banyak kata bahasa Belanda yang diserap terdapat sejumlah kata yang dipungut ke dalam bahasa Indonesia secara utuh. Artinya, bentuknya dalam bahasa Belanda dan bahasa Indonesia sama. Pungutan ini disebut sebagai pungutan utuh. Ada tiga alasan mengapa suatu bentuk asing mengalami perubahas dalam proses penyerapannya, yaitu:

  1. Tidak menyalahi kaidah yang berlaku

  2. Merupakan istilah umum atau ilmiah

  3. Menghindari homonym

Pungutan itu pun masih dapat dibedakan lagi atas pungutan yang tepat sama baik lafal maupun tulisannya, dan pungutan yang sama ejaannya saja, lafalnya berbeda.

4.2. 1 Pungutan Tepat Sama

Yang dimaksud dengan pungutan tepat sama adalah jenis pungutan yang bentuk maupun lafalnya dipungut tanpa ada perubahan sama sekali. Contoh fonem bahasa Belanda yang mempunyai kesamaan cirri dengan sejumlah fonem bahasa Indonesia, baik vocal maupun konsonan.

  1. Sebagian besar pungutan utuh itu diserap secara tepat sama karena tidak menyalahi kaidah yang berlaku, lafalnya pun tidak menyimpang, misalnya:

Asbak

Beton

Dynamo

Email

Filter

Halte

kabinet

Lampion

Moderator

Neon

Opera

Pasta

Radio

Saldo

Table

Wortel

2. Sejumlah istilah umum atau ilmiah yang diserap ke dalam bahasa Indonesia, jumlahnya relatif sedikit, contohnya:

Ad interim

Café

Eufimisme

Fahrenheit

Hymne

Kobalt

Loge

Merk

Diafragma

Parfum

Quo vadis

Sport

Taxi

Volt

Xerox

4.2.2 Dalam bab sebelumnya telah dibahas bahwa ada beberapa fonem bahasa Belanda yang tidak dikenal dalam bahasa Indonesia. Di pihak lain grafemnya bukanlah hal yang asing; dengan kata lain fonemnya tidak mempunyai kesamaan cirri, sedangkan grafemnya sama.

Dalam hal ini yang berbeda hanyalah lafalnya. Fonem yang dimaksud ialah: /x/, /ü/,/۸

Yang dieja sebagai g, u, dan ui.

1. Grafem g bahasa Belanda selalu dilafalkan /_x_/, sedangkan dalam bahasa Indonesia dilafalkan g, seperti terlihat dalam contoh;

Giro xiro  giro

Gratis xratis  gratis

Brigade brixade  brigade

Radiogram radioxram  radiogram

2. Grafem u, sebagai vokal tidak tegak yang hanya terdapat dalam suku tertutup, dalam bahasa Belanda dilafalkan sebagai ۸

4.3. Analogi

Pemungutan unsur-unsur dari bahasa asing tidak selalu terjadi secara langsung. Adakalanya pembentukan suatu kata didasarkan atas peniruan unsure yang pernah didengar atau memang unsur yang sudah dikenal. Pembentukan berdasarkan contoh seperti ini disebut analogi. Pernis mengatakan bahwa dalam setiap bahasa akan timbul kata-kata, baik kata dasar maupun kata jadian, dan susunan kalimat menurut suatu contoh. Hal inilah yang menjadikan analogi sebagai suatu factor yang sangat penting dalam bahasa.

Pelajaran bahasa, baik bagi anak kecil maupun orang dewasa berpangkal pada analogi, bahkan dalam setiap bahasa dapat ditemukan perubahan berdasarkan berdasarkan analogi dapat dibagi menjadi:

  1. Analogi bunyi: penyesuaian berdasarkan bunyi yang dikenal; bentuk hiperkorek pada umumnya didasarkan pada analogi bunyi.

  2. Analogi bentuk: pembentukan suatu kata berdasarkan bentuk yang ada, baik bentuk asli maupun bentuk asing.

  3. Analogi sintaksis: pembentukan struktur kalimat berdasarkan contoh struktur kalimat yang ada; dalam bahasa Indonesia sering berupa penggunaan kata depan atau kata penghubung berdasarkan struktur kalimat bahasa Belanda.

Dalam pembentukan kata, analogi merupakan factor yang sangat menentukan. Bukan saja kata baru dibentuk berdasarkan contoh atau pengaruh yang sudah ada, tetapi juga unsure asli yang dibentuk berdasarkan bentuk asing, sehingga bisa disebut sebagai bentuk pungut terjemah. Jadi, analogi dapat dianggap sebagai salah satu cara yang paling utama,dan bisa mengubah suatu bahasa. Proses pembentukan kata-kata baru berdasarkan perubahan analogi dari bahasa Belanda biasanya mengikuti analogi bentuk dan analogi sintaksis.

4.3.1 Analogi Bentuk

Pada umumnya perubahan berkisar pada perubahan bentuk yang berlandaskan bunyi atau lafal.

  1. Analogi yang dibentuk berdasarkan unsur-unsur asli biasanya kata atau istilah asing yang sudah tidak dirasakan asing lagi. Kata adaptasi misalnya, dalam bahasa Belanda hanya mempunyai hubungan dengan bentuk-bentuk seperti adaptatie dan adapteren. Dalam bahasa Indonesia, berdasarkan analogi atas pembentukan unsure-unsur asli, dibentuklah kata-kata seperti adaptasi, mengadaptir, disamping mengadaptasikan, diadaptir, di samping diadaptasikan, pengadaptasian, dan lain-lain. Bentuk-bentuk asing diserap sebagai unsur yang utuh yang kemudian dianggap sebagai kata dalam bahasa Indonesia sehingga mendapat afiks seperti kata-kata lainnya.

  2. Analogi berdasarkan bentuk-bentuk asing ialah pembentukan beberapa kata baru berdasrkan bentuk-bentuk asing, terutama melalui morfem terikat atau afiks.

Dari bentuk-bentuk yang diadaptasikan dapat dilihat bahwa beberapa kata dalam bahasa Indonesia dibentuk dengan afiks berdasarkan contoh-contoh yang sudah ada. Jadi, dapat dikatakan bahwa ada beberapa afiks yang diadaptasikan melalui analogi, diantaranya adalah:

  1. Berdasarkan bentuk-bentuk seperti artis, komunis, dan lain-lain, terbentuklah kata-kata seperti pancasilais, marhaenis yang lebih menekankan pengertian sebagai pengikut atau penganut. Sesuai dengan bentuk analogi yang lain seperti yang dikatakan oleh Badudu, bahwa analogi dengan unsure-unsur asing perlu dibatasi agar tidak mudah digunakan sekehendak hati.

  2. Dari bentuk-bentuk seperti fanatisme, komunisme, dan lain-lain, terbentuklah banditisme, bebekisme, marhaenisme, sukuisme.

  3. Mengikuti pola kolonisasi dan stabilisasi terbentuklah istilah seperti neonisasi, kuningisasi, dan lain-lain.

4.3.2 Analogi berdasarkan Asas Pungut Terjemah

Berdasarkan bentuk asing, dapat dibuat suatu bentukan baru. Bentuk asing tersebut digunakan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan unsur-unsur asli yang mempunyai pengertian yang sama, sehingga disebut sebagai bentuk pungut terjemah. Badudu menyebut bentuk seperti di atas sebagai hasil dari swadaya bahasa. Beberapa di antaranya:

  1. Istilah Belanda “ontevreden” berarti tidak puas. Sufiks bahasa Belanda “heid” yang membentuk kata sifat menjadi kata nama, dianggap sebagai bentuk yang sejajar/sepadan dengan konfiks “ke-an” dalam bahasa Indonesia sehingga “ontevredenheid” menjadi ketidakpuasan. Melalui bentuk pungut terjemah masih terlihat bentuk ketidakhadiran, ketidakmampuan, ketidaktahuan, ketidaksempurnaan, dan lain-lain.

  2. Di samping bentuk di atas masih ada satu bentuk lain yang secara produktif dibentuk secara analogi berdasarkan asas pungut terjemah ini. Istilah Belanda “misverstand” berarti salah paham. Istilah lain yang diserap berdasarkan asas ini ialah: salah hitung, salah langkah, salah cetak, dan lain sebagainya.


Catatan kaki:

1. “Santun Bahasa No. 28, “Kompas, 1969”

2. Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia, Pedoman Umum Pembentukan Istilah (Jakarta, 1975), hal. 36)


0 komentar:

To Use A Smiley In Your Comment, Simply Add The Characters Beside Your Choosen Smiley To The Comment:
:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =)) Grab Smily Gadget

Posting Komentar